Bandarlampung (ANTARA) - Guru Besar Institut Pertanian Bogor (IPB) Rokhmin Dahuri mengharapkan kasus beras impor tertahan di pelabuhan dan menimbulkan biaya denda impor atau demurrage tidak terulang kembali.

Menurut dia, kasus tersebut terjadi karena adanya ketidakmampuan pejabat terkait dalam melaksanakan tata kelola pengadaan impor atau kelalaian maupun adanya unsur kesengajaan.

"Harusnya minimal tahu manajemen logistik. Kalau sudah tahu ada impor," katanya dalam pernyataan di Bandarlampung, Jumat.

Ia menilai kasus tersebut aneh lantaran beras yang diimpor oleh lembaga resmi malah tertahan di Pelabuhan karena ketidaklengkapan dokumen, sehingga justru menimbulkan demurrage

Oleh karena itu, ia mengharapkan para aparat penegak hukum bisa mengusut dugaan kasus tersebut, mengingat denda impor tetap merupakan beban yang harus dibayarkan oleh negara.

"Kalau melihat sistem ekonomi, itu kan (asuransi) uang negara juga. Seolah-olah Bulog tidak rugi. Tapi asuransi yang rugi," ujar Rokhmin.

Sebelumnya, Studi Demokrasi Rakyat (SDR) melaporkan Perum Bulog dan Bapanas kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada Rabu (3/7), atas dugaan penggelembungan harga beras impor dari Vietnam serta kerugian negara akibat demurrage di Pelabuhan.

Meski demikian, belum ada perkembangan lanjutan terkait penanganan kasus tersebut, karena penyelidikan yang dilakukan oleh KPK masih bersifat rahasia.

Dugaan kerugian demurrage senilai Rp294,5 miliar muncul karena impor terhambat oleh dokumen pengadaan impor yang tidak layak dan lengkap, sehingga menimbulkan biaya denda peti kemas di sejumlah wilayah kepabeanan tempat masuknya beras impor.

Sementara itu, Kementerian Perindustrian mencatat adanya sekitar 26.425 peti kemas yang masih tertahan di Pelabuhan Tanjung Priok dan Tanjung Perak. Dari peti kemas tersebut, sebanyak 1.600 diantaranya diduga merupakan beras impor.
 

Pewarta : Satyagraha
Editor : Agus Wira Sukarta
Copyright © ANTARA 2024