Bandarlampung (ANTARA) - Kementerian Perindustrian meminta ada solusi terkait untuk mencegah kerugian negara akibat demurrage, karena adanya sekitar 26.425 peti kemas yang masih tertahan di Pelabuhan Tanjung Priok dan Tanjung Perak.
"Kebijakan yang tepat itu harus berdasarkan data yang akurat, cepat," kata Juru Bicara Kementerian Perindustrian Febri Hendri Antoni Arif dalam pernyataan di Bandarlampung, Jumat.
Menurut dia, pihaknya telah meminta data terkait isi 26.415 kontainer yang sempat tertahan tersebut kepada Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan, mengingat data tersebut penting guna melindungi industri dalam negeri.
Namun, otoritas kepabeanan baru melampirkan data untuk 12.994 kontainer atau 49,2 persen dari total peti kemas yang tertahan.
Ia memastikan, sebagian kontainer itu bermasalah karena tidak dilengkapi dengan informasi kode Harmonized System (HS) delapan digit yang wajib disampaikan oleh importir atau dalam dokumen impor, terutama apabila peti kemasnya sudah masuk dalam wilayah pabean domestik.
Dari peti kemas yang tertahan tersebut, sebanyak 1.600 diantaranya diduga merupakan beras impor, dengan nilai demurrage sebesar Rp294,5 miliar.
Sementara itu, Ekonom Konstitusi Defiyan Cori menilai pengadaan beras impor tidak seharusnya tertahan karena hal teknis di Pelabuhan, apalagi komoditas tersebut dibutuhkan untuk penguatan ketahanan pangan di masyarakat.
"Jika memang demurrage terkait komoditas beras impor yang dilakukan atas jaminan pemerintah, maka seharusnya denda tidak diberlakukan apalagi alasan bersandar lebih lama di pelabuhan disebabkan oleh hal-hal teknis pelabuhan," ujarnya.
Menurut dia, demurrage akan dikenakan apabila agen pelayaran menemukan bukti formal bahwa penyewa kapal tidak bisa memberikan bukti kuat terkait komoditas impor tersebut.
"Apabila komoditas beras impor itu merupakan permintaan pemerintah, maka pemerintah harus menanggung beban denda tersebut supaya tidak menjadi tambahan biaya pembentuk harga pokok penjualan sebagai pembentuk harga beras di dalam negeri yang dibeli masyarakat," katanya.
Sebelumnya, Studi Demokrasi Rakyat (SDR) melaporkan Perum Bulog dan Bapanas kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada Rabu (3/7), atas dugaan penggelembungan harga beras impor dari Vietnam serta kerugian negara akibat demurrage di Pelabuhan.
Meski demikian, belum ada perkembangan lanjutan terkait penanganan kasus tersebut, karena penyelidikan yang dilakukan oleh KPK masih bersifat rahasia.
Dugaan kerugian demurrage senilai Rp294,5 miliar muncul karena impor terhambat oleh dokumen pengadaan impor yang tidak layak dan lengkap, sehingga menimbulkan biaya denda peti kemas di sejumlah wilayah kepabeanan tempat masuknya beras impor.
"Kebijakan yang tepat itu harus berdasarkan data yang akurat, cepat," kata Juru Bicara Kementerian Perindustrian Febri Hendri Antoni Arif dalam pernyataan di Bandarlampung, Jumat.
Menurut dia, pihaknya telah meminta data terkait isi 26.415 kontainer yang sempat tertahan tersebut kepada Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan, mengingat data tersebut penting guna melindungi industri dalam negeri.
Namun, otoritas kepabeanan baru melampirkan data untuk 12.994 kontainer atau 49,2 persen dari total peti kemas yang tertahan.
Ia memastikan, sebagian kontainer itu bermasalah karena tidak dilengkapi dengan informasi kode Harmonized System (HS) delapan digit yang wajib disampaikan oleh importir atau dalam dokumen impor, terutama apabila peti kemasnya sudah masuk dalam wilayah pabean domestik.
Dari peti kemas yang tertahan tersebut, sebanyak 1.600 diantaranya diduga merupakan beras impor, dengan nilai demurrage sebesar Rp294,5 miliar.
Sementara itu, Ekonom Konstitusi Defiyan Cori menilai pengadaan beras impor tidak seharusnya tertahan karena hal teknis di Pelabuhan, apalagi komoditas tersebut dibutuhkan untuk penguatan ketahanan pangan di masyarakat.
"Jika memang demurrage terkait komoditas beras impor yang dilakukan atas jaminan pemerintah, maka seharusnya denda tidak diberlakukan apalagi alasan bersandar lebih lama di pelabuhan disebabkan oleh hal-hal teknis pelabuhan," ujarnya.
Menurut dia, demurrage akan dikenakan apabila agen pelayaran menemukan bukti formal bahwa penyewa kapal tidak bisa memberikan bukti kuat terkait komoditas impor tersebut.
"Apabila komoditas beras impor itu merupakan permintaan pemerintah, maka pemerintah harus menanggung beban denda tersebut supaya tidak menjadi tambahan biaya pembentuk harga pokok penjualan sebagai pembentuk harga beras di dalam negeri yang dibeli masyarakat," katanya.
Sebelumnya, Studi Demokrasi Rakyat (SDR) melaporkan Perum Bulog dan Bapanas kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada Rabu (3/7), atas dugaan penggelembungan harga beras impor dari Vietnam serta kerugian negara akibat demurrage di Pelabuhan.
Meski demikian, belum ada perkembangan lanjutan terkait penanganan kasus tersebut, karena penyelidikan yang dilakukan oleh KPK masih bersifat rahasia.
Dugaan kerugian demurrage senilai Rp294,5 miliar muncul karena impor terhambat oleh dokumen pengadaan impor yang tidak layak dan lengkap, sehingga menimbulkan biaya denda peti kemas di sejumlah wilayah kepabeanan tempat masuknya beras impor.