Waykanan (ANTARA) -
Seratusan massa Serikat Pekerja Perkebunan Nusantara (SPPN) VII menggelar aksi damai di halaman Kantor Pengadilan Negeri Blambangan Umpu, Kabupaten Way Kanan, Rabu (22/11).
Massa menuntut Pengadilan Negeri (PN) Blambangan Umpu membatalkan rencana kegiatan konstatering (pengukuran pencocokan), sita, dan eksekusi atas aset lahan milik PTPN VII seluas 320 hektare di Unit Bungamayang atas klaim PT Bumi Madu Mandiri (BMM) yang dijadwalkan berlangsung pada Kamis (23/11).
Kedatangan massa yang merupakan perwakilan karyawan beberapa Unit Kerja PTPN VII Wilayah Lampung itu dipimpin Ketua SPPN VII Sasmika Dwi Suryanto. Hadir pada pengerahan massa itu, Pengurus Pusat SPPN VII, dan beberapa Pengurus Cabang SPPN VII.
Sedangkan I Made Aditya Ardhana bertindak sebagai kordinator lapangan dan Jhon Iwan Kurniawan sebagai orator aksi.
Sebanyak 30 polisi berseragam dan belasan polisi berpakaian sipil dari Polres Way Kanan tampak mengawal massa yang sampai di lokasi Pengadilan Negeri Blambangan Umpu pada pukul 11.00 WIB. Setelah orasi menyampaikan aspirasinya, empat perwakilan massa SPPN VII diminta masuk untuk berunding yang diterima Echo Wardoyo, Hakim yang juga juru bicara Pengadilan Negeri Blambangan Umpu.
Kepada Echo Wardoyo yang didampingi beberapa Panitera Pengadilan Negeri Blambangan Umpu, SPPN VII menyatakan sikap tegas menolak rencana konstatering yang akan dilakukan Pengadilan Negeri Blambangan Umpu.
Aset lahan 320 Ha sampai saat ini masih tercatat dalam laman Portal Aset BUMN sebagai aset negara pada PTPN VII, tempat karyawan yang juga anggota SPPN VII mencari nafkah dan penghidupan.
Kementerian BUMN sebagai pemegang saham tidak pernah melepaskan aset tanah tersebut, apalagi kepada PT Bumi Madu Mandiri. Perkara ini diduga kental keterlibatan mafia tanah, yang saat ini menjadi konsern pemerintah untuk diberantas.
“Logikanya sangat jelas. Hingga saat ini PTPN VII memiliki alas hak yang kuat secara hukum untuk lahan yang akan dieksekusi tersebut. Lahan itu didapat oleh PTP XXXI (sejak 1996 melebur menjadi PTPN VII) pada 1984 melalui mekanisme yang sah. Lahan itu bagian dari lahan seluas 4.650 hektare yang lebih dahulu dikelola namun kemudian diserobot PT BMM. Oleh karena itu, kami akan pertahankan aset lahan tersebut tempat kami bekerja,” kata Made.
Sekjen SPPN VII Yohanes Siagian menolak keputusan Pengadilan Negeri Blambangan Umpu. Ia menuntut Pengadilan Negeri Blambangan Umpu membatalkan rencana konstatering yang direncanakan dan mengembalikan hak kepemilikan lahan kepada PTPN VII.
“Kami hormat dengan keputusan hukum karena Indonesia adalah negara hukum. Namun, dalam konteks ini, kami tidak bisa terima karena kami yakini bahwa hak kami atas lahan itu belum lepas. Lebih dari itu, holding perkebunan nusantara PTPN III (Persero) selaku pemegang saham, telah mengajukan PK (Peninjauan Kembali) atas keputusan PN Blambangan Umpu ini,” tambah dia.
Seratusan massa Serikat Pekerja Perkebunan Nusantara (SPPN) VII menggelar aksi damai di halaman Kantor Pengadilan Negeri Blambangan Umpu, Kabupaten Way Kanan, Rabu (22/11).
Massa menuntut Pengadilan Negeri (PN) Blambangan Umpu membatalkan rencana kegiatan konstatering (pengukuran pencocokan), sita, dan eksekusi atas aset lahan milik PTPN VII seluas 320 hektare di Unit Bungamayang atas klaim PT Bumi Madu Mandiri (BMM) yang dijadwalkan berlangsung pada Kamis (23/11).
Kedatangan massa yang merupakan perwakilan karyawan beberapa Unit Kerja PTPN VII Wilayah Lampung itu dipimpin Ketua SPPN VII Sasmika Dwi Suryanto. Hadir pada pengerahan massa itu, Pengurus Pusat SPPN VII, dan beberapa Pengurus Cabang SPPN VII.
Sedangkan I Made Aditya Ardhana bertindak sebagai kordinator lapangan dan Jhon Iwan Kurniawan sebagai orator aksi.
Sebanyak 30 polisi berseragam dan belasan polisi berpakaian sipil dari Polres Way Kanan tampak mengawal massa yang sampai di lokasi Pengadilan Negeri Blambangan Umpu pada pukul 11.00 WIB. Setelah orasi menyampaikan aspirasinya, empat perwakilan massa SPPN VII diminta masuk untuk berunding yang diterima Echo Wardoyo, Hakim yang juga juru bicara Pengadilan Negeri Blambangan Umpu.
Kepada Echo Wardoyo yang didampingi beberapa Panitera Pengadilan Negeri Blambangan Umpu, SPPN VII menyatakan sikap tegas menolak rencana konstatering yang akan dilakukan Pengadilan Negeri Blambangan Umpu.
Aset lahan 320 Ha sampai saat ini masih tercatat dalam laman Portal Aset BUMN sebagai aset negara pada PTPN VII, tempat karyawan yang juga anggota SPPN VII mencari nafkah dan penghidupan.
Kementerian BUMN sebagai pemegang saham tidak pernah melepaskan aset tanah tersebut, apalagi kepada PT Bumi Madu Mandiri. Perkara ini diduga kental keterlibatan mafia tanah, yang saat ini menjadi konsern pemerintah untuk diberantas.
“Logikanya sangat jelas. Hingga saat ini PTPN VII memiliki alas hak yang kuat secara hukum untuk lahan yang akan dieksekusi tersebut. Lahan itu didapat oleh PTP XXXI (sejak 1996 melebur menjadi PTPN VII) pada 1984 melalui mekanisme yang sah. Lahan itu bagian dari lahan seluas 4.650 hektare yang lebih dahulu dikelola namun kemudian diserobot PT BMM. Oleh karena itu, kami akan pertahankan aset lahan tersebut tempat kami bekerja,” kata Made.
Sekjen SPPN VII Yohanes Siagian menolak keputusan Pengadilan Negeri Blambangan Umpu. Ia menuntut Pengadilan Negeri Blambangan Umpu membatalkan rencana konstatering yang direncanakan dan mengembalikan hak kepemilikan lahan kepada PTPN VII.
“Kami hormat dengan keputusan hukum karena Indonesia adalah negara hukum. Namun, dalam konteks ini, kami tidak bisa terima karena kami yakini bahwa hak kami atas lahan itu belum lepas. Lebih dari itu, holding perkebunan nusantara PTPN III (Persero) selaku pemegang saham, telah mengajukan PK (Peninjauan Kembali) atas keputusan PN Blambangan Umpu ini,” tambah dia.