Bandarlampung (ANTARA) - Praktisi hukum dari Ketua Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Nasional Sopian Sitepu menilai kebijakan Pemerintah Provinsi (Pemprov) Lampung terkait larangan pengisian BBM bagi seluruh kendaraan yang tidak membayar pajak telah melanggar Hak Asasi Manusia (HAM) .
"Pada prinsipnya kebutuhan yang mendasar itu adalah hak bagi masyarakat. Apabila itu dibatasi, itu tidak boleh, bahkan pemerintah seharusnya mencukupi kebutuhan dasar masyarakat seperti beras termasuk bahan bakar ini. Jadi bahan bakar ini juga kebutuhan dasar masyarakat, apabila dihambat atau dibatasi itu sama saja melanggar HAM," katanya di Bandarlampung, Selasa.
Menurut dia, jika alasannya untuk meningkatkan pajak, seharusnya pemerintah dapat memfokuskan kepada pengusaha menengah ke atas untuk memastikan bahwa mereka membayar pajak.
Namun, kata dia, bukan difokuskan kepada pengendara khususnya sepeda motor atau rakyat kecil yang untuk kebutuhan makan pun sangat sulit.
"Mereka kelas kecil yang makan saja susah. Kalau itu difokuskan kepada mereka, berarti pemerintah telah melakukan pelanggaran HAM dan melanggar hak masyarakat kecil yang sangat diskriminatif sifatnya," kata dia.
Ia menjelaskan dalam persoalan tersebut seharusnya pemerintah mendudukkan suatu aturan pada posisi yang sebenarnya atau profesional.
"Sebagai warga negara tentunya berkewajiban membayar pajak, namun seharusnya tidak dikaitkan dengan hal-hal yang dikaitkan dengan pelayanan," ujarnya.
Dalam aturan tersebut, kata Sopian, diibaratkan bahwa bagi masyarakat yang tidak membayar pajak artinya tidak diperbolehkan lagi untuk melintasi jalan yang biasa dilalui.
"Kita tahu azas bahwa pembayaran pajak tidak adanya suatu kondisi yang diciptakan bahwa dihubungkan dengan pelayanan. Artinya orang yang tidak membayar pajak berarti dihambat pelayanannya, bahkan dia yang tidak membayar pajak tidak dibenarkan untuk melintasi jalan," katanya.
Terkait aturan tersebut, menurut dia, apakah SPBU sendiri berkewajiban untuk mengkaitkan penjualan bensin dengan orang yang tidak membayar pajak.
"Hal ini justru dapat menimbulkan gejolak hukum dan objek SPBU sendiri dan pemerintah dalam hal ini Pemprov Lampung atau Pemda akan menjadi pihak tergugat.
Selain itu juga, kata dia, objek hukum lainnya akan tertuju pada si pemungut pajak karena tidak ada payung hukum.
Dalam kebijakan tersebut, kata Sopian, pihaknya membuka aduan bagi masyarakat yang mengeluhkan adanya kebijakan tersebut karena sebagai kantor hukum, pihaknya mempunyai kewajiban untuk melayani masyarakat
"Sebagai kantor hukum kami mempunyai kewajiban untuk masyarakat yang melapor ke kami untuk meninjau kebijakan itu. Jadi kami siap," tutupnya.
Sebelumnya, Pemprov Lampung telah mengeluarkan surat terkait pendataan kendaraan mati pajak atau penunggak pajak di SPBU di wilayah Provinsi Lampung.
Instruksi tersebut tertuang dalam Surat Nomor: 973/4476/VI.03/2023 yang ditandatangani oleh Sekda Provinsi Lampung, Fahrizal Darminto pada 19 Oktober 2023.
Pendataan objek pajak kendaraan bermotor di SPBU ini berdasarkan Peraturan Daerah Nomor 2 tahun 2011 tentang pajak daerah; juga LHP BPK RI Perwakilan Provinsi Lampung Nomor: 19.B/ LHP/ XVIII.BLP/ 05/ 2023 tanggal 8 Mei 2023.
"Pada prinsipnya kebutuhan yang mendasar itu adalah hak bagi masyarakat. Apabila itu dibatasi, itu tidak boleh, bahkan pemerintah seharusnya mencukupi kebutuhan dasar masyarakat seperti beras termasuk bahan bakar ini. Jadi bahan bakar ini juga kebutuhan dasar masyarakat, apabila dihambat atau dibatasi itu sama saja melanggar HAM," katanya di Bandarlampung, Selasa.
Menurut dia, jika alasannya untuk meningkatkan pajak, seharusnya pemerintah dapat memfokuskan kepada pengusaha menengah ke atas untuk memastikan bahwa mereka membayar pajak.
Namun, kata dia, bukan difokuskan kepada pengendara khususnya sepeda motor atau rakyat kecil yang untuk kebutuhan makan pun sangat sulit.
"Mereka kelas kecil yang makan saja susah. Kalau itu difokuskan kepada mereka, berarti pemerintah telah melakukan pelanggaran HAM dan melanggar hak masyarakat kecil yang sangat diskriminatif sifatnya," kata dia.
Ia menjelaskan dalam persoalan tersebut seharusnya pemerintah mendudukkan suatu aturan pada posisi yang sebenarnya atau profesional.
"Sebagai warga negara tentunya berkewajiban membayar pajak, namun seharusnya tidak dikaitkan dengan hal-hal yang dikaitkan dengan pelayanan," ujarnya.
Dalam aturan tersebut, kata Sopian, diibaratkan bahwa bagi masyarakat yang tidak membayar pajak artinya tidak diperbolehkan lagi untuk melintasi jalan yang biasa dilalui.
"Kita tahu azas bahwa pembayaran pajak tidak adanya suatu kondisi yang diciptakan bahwa dihubungkan dengan pelayanan. Artinya orang yang tidak membayar pajak berarti dihambat pelayanannya, bahkan dia yang tidak membayar pajak tidak dibenarkan untuk melintasi jalan," katanya.
Terkait aturan tersebut, menurut dia, apakah SPBU sendiri berkewajiban untuk mengkaitkan penjualan bensin dengan orang yang tidak membayar pajak.
"Hal ini justru dapat menimbulkan gejolak hukum dan objek SPBU sendiri dan pemerintah dalam hal ini Pemprov Lampung atau Pemda akan menjadi pihak tergugat.
Selain itu juga, kata dia, objek hukum lainnya akan tertuju pada si pemungut pajak karena tidak ada payung hukum.
Dalam kebijakan tersebut, kata Sopian, pihaknya membuka aduan bagi masyarakat yang mengeluhkan adanya kebijakan tersebut karena sebagai kantor hukum, pihaknya mempunyai kewajiban untuk melayani masyarakat
"Sebagai kantor hukum kami mempunyai kewajiban untuk masyarakat yang melapor ke kami untuk meninjau kebijakan itu. Jadi kami siap," tutupnya.
Sebelumnya, Pemprov Lampung telah mengeluarkan surat terkait pendataan kendaraan mati pajak atau penunggak pajak di SPBU di wilayah Provinsi Lampung.
Instruksi tersebut tertuang dalam Surat Nomor: 973/4476/VI.03/2023 yang ditandatangani oleh Sekda Provinsi Lampung, Fahrizal Darminto pada 19 Oktober 2023.
Pendataan objek pajak kendaraan bermotor di SPBU ini berdasarkan Peraturan Daerah Nomor 2 tahun 2011 tentang pajak daerah; juga LHP BPK RI Perwakilan Provinsi Lampung Nomor: 19.B/ LHP/ XVIII.BLP/ 05/ 2023 tanggal 8 Mei 2023.