Jakarta (ANTARA) - Dokter spesialis paru dari Departemen Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI)-RSUP Persahabatan dr Sita Laksmi Andarini, Ph.D, Sp.P(K) mengatakan, efek buruk rokok baru akan dirasakan dalam waktu 10 hingga 20 tahun ke depan.
"Efeknya tidak dirasakan sekarang, tapi dirasakan 10 hingga 20 tahun ke depan," kata Sita yang merupakan Ketua Bidang Hubungan Luar Negeri Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) itu saat bertemu media di Jakarta, Rabu, bertepatan dengan Hari Tanpa Tembakau Sedunia.
Sita menjelaskan, tembakau yang ada dalam rokok berbahaya sebab mengandung nikotin yang bersifat adiktif dan tar yang bersifat karsinogenik atau memicu kanker.
"Nikotin masuk (ke tubuh), dihisap, masuk ke dalam peredaran darah dan masuk ke otak, di situ ada reseptor, kemudian meningkatkan dopamin. Kalau dopamin naik, orang yang merokok merasa enak, nyaman, bisa tidur. Begitu dopamin turun, langsung dia gelisah, marah-marah," jelas Sita.
"Makanya orang merokok itu susah berhenti karena ketergantungan nikotin," imbuh dia.
Sita juga mengatakan, asap rokok mengandung 4.000 zat kimia, dengan 60 di antaranya merupakan karsinogenik. Oleh karena itu, orang yang merokok memiliki risiko lebih tinggi terkena kanker paru atau meninggalkan akibat kanker tersebut, dibandingkan orang yang tidak merokok.
Di Indonesia sendiri, berdasarkan data Global Cancer Observatory (GLOBOCAN) tahun 2021, kanker paru merupakan jenis kanker terbanyak ketiga dan penyebab nomor satu kematian akibat kanker.
Selain membahayakan perokok aktif, Sita mengingatkan asap rokok juga berbahaya bagi orang lain, baik yang sengaja maupun tidak sengaja menghirupnya. Asap rokok tersebut dikenal dengan istilah secondhand smoke (SHS).
Lebih lanjut, kata Sita, residu asap rokok yang menempel di permukaan seperti baju, sofa, dan benda-benda lainnya alias third-hand smoke juga berbahaya.
"Risiko perokok aktif mengalami kanker paru adalah 13,6 kali lipat dibandingkan yang tidak merokok, sedangkan perokok pasif risikonya adalah empat kali lipat," tutur Sita.
Untuk itu, Sita pun menganjurkan agar menghentikan kebiasaan merokok sebagai salah satu upaya pencegahan kanker paru.
"Efeknya tidak dirasakan sekarang, tapi dirasakan 10 hingga 20 tahun ke depan," kata Sita yang merupakan Ketua Bidang Hubungan Luar Negeri Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) itu saat bertemu media di Jakarta, Rabu, bertepatan dengan Hari Tanpa Tembakau Sedunia.
Sita menjelaskan, tembakau yang ada dalam rokok berbahaya sebab mengandung nikotin yang bersifat adiktif dan tar yang bersifat karsinogenik atau memicu kanker.
"Nikotin masuk (ke tubuh), dihisap, masuk ke dalam peredaran darah dan masuk ke otak, di situ ada reseptor, kemudian meningkatkan dopamin. Kalau dopamin naik, orang yang merokok merasa enak, nyaman, bisa tidur. Begitu dopamin turun, langsung dia gelisah, marah-marah," jelas Sita.
"Makanya orang merokok itu susah berhenti karena ketergantungan nikotin," imbuh dia.
Sita juga mengatakan, asap rokok mengandung 4.000 zat kimia, dengan 60 di antaranya merupakan karsinogenik. Oleh karena itu, orang yang merokok memiliki risiko lebih tinggi terkena kanker paru atau meninggalkan akibat kanker tersebut, dibandingkan orang yang tidak merokok.
Di Indonesia sendiri, berdasarkan data Global Cancer Observatory (GLOBOCAN) tahun 2021, kanker paru merupakan jenis kanker terbanyak ketiga dan penyebab nomor satu kematian akibat kanker.
Selain membahayakan perokok aktif, Sita mengingatkan asap rokok juga berbahaya bagi orang lain, baik yang sengaja maupun tidak sengaja menghirupnya. Asap rokok tersebut dikenal dengan istilah secondhand smoke (SHS).
Lebih lanjut, kata Sita, residu asap rokok yang menempel di permukaan seperti baju, sofa, dan benda-benda lainnya alias third-hand smoke juga berbahaya.
"Risiko perokok aktif mengalami kanker paru adalah 13,6 kali lipat dibandingkan yang tidak merokok, sedangkan perokok pasif risikonya adalah empat kali lipat," tutur Sita.
Untuk itu, Sita pun menganjurkan agar menghentikan kebiasaan merokok sebagai salah satu upaya pencegahan kanker paru.