Jakarta (ANTARA) - Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Lalola Easter menyampaikan, berdasarkan pemantauan pihaknya, ada empat modus yang paling banyak digunakan koruptor dalam tindak pidana korupsi di Indonesia pada tahun 2021.
“Ada empat modus kasus korupsi yang paling banyak muncul di tahun 2021. Pertama, penyalahgunaan anggaran menjadi modus yang paling banyak dilakukan oleh para pelaku korupsi. Kedua adalah kegiatan atau proyek fiktif. Yang ketiga, modusnya adalah penggelapan uang. Lalu yang keempat, adalah penggelembungan harga (mark up),” ujar Lalola.
Ia mengemukakan hal tersebut saat menjadi pemapar dalam Peluncuran Laporan Tren Penindakan Korupsi Tahun 2021 ICW yang disiarkan langsung di kanal YouTube Sahabat ICW, sebagaimana dipantau di Jakarta, Senin.
Baca juga: ICW sebut kinerja penindakan kasus korupsi pada tahun 2021 capai 24 persen
Keempat modus tersebut, ujar Lalola melanjutkan, adalah modus yang paling banyak ditemukan dalam kasus korupsi yang bersangkutan dengan pengadaan barang/jasa dan pengelolaan anggaran pemerintah.
“Kedua sektor ini memang dari tahun ke tahun konsisten menjadi titik yang paling rawan terjadi korupsi atau menjadi sektor yang paling banyak ditindak oleh aparat penegak hukum terkait dengan penindakan kasus korupsi,” kata dia.
Meskipun begitu, Lalola mengatakan, temuan ICW tersebut belum sepenuhnya merepresentasikan keadaan sebenarnya karena keterbatasan mereka dalam melakukan pemantauan.
Dia mengatakan keempat modus yang ditemukan oleh ICW itu berdasarkan pemantauan terhadap berbagai pemberitaan dan situs web resmi milik institusi penegak hukum, yakni Kejaksaan RI, Kepolisian RI, dan KPK yang memiliki informasi yang representatif.
Namun, menurut Lalola, tidak semua institusi, terutama Kejaksaan dan Kepolisian di tingkat daerah menghadirkan sumber informasi yang representatif kepada publik.
Selanjutnya, Lalola juga menyampaikan terkait dengan modus korupsi terbaru yang perlu diwaspadai oleh institusi penegak hukum. Pertama kali, ICW menemukan modus tersebut pada tahun 2020, yakni modus manipulasi saham.
“Ini adalah salah satu modus yang muncul karena dua kasus yang menarik perhatian publik. Dua kasus itu memiliki potensi kerugian negara yang cukup besar dan melibatkan institusi yang penting. Di tahun 2020, ada kasus korupsi PT Asuransi Jiwasraya, kemudian di tahun 2021 ada kasus korupsi PT Asabri. Bahkan, di kasus Asabri ada potensi kerugian negara mencapai Rp22,78 triliun,” jelas Lalola.
Dalam perkembangan modus itu, ia mengatakan, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi (PPATK) menemukan transaksi mencurigakan, yakni transaksi menggunakan mata uang kripto.
“Ini menjadi poin yang belum banyak dibicarakan. Akan tetapi, saat melihat perkembangan mata uang kripto ini sangat pesat di beberapa tahun belakang, tentu ini patut menjadi perhatian bagi aparat penegak hukum ataupun otoritas keuangan dan perbankan. Mereka harus mewaspadai bahwa mata uang kripto bisa menjadi semacam bentuk baru menukarkan hasil kejahatan korupsi,” ujar Lalola.
Untuk mengatasi persoalan modus baru tersebut, ICW mendorong aparat penegak hukum agar meningkatkan kapasitasnya dalam mengikuti perubahan modus dan bentuk transaksi yang berpotensi berujung pada kejahatan, baik itu korupsi, pencucian uang, maupun pengelabuan pajak.
“Ada empat modus kasus korupsi yang paling banyak muncul di tahun 2021. Pertama, penyalahgunaan anggaran menjadi modus yang paling banyak dilakukan oleh para pelaku korupsi. Kedua adalah kegiatan atau proyek fiktif. Yang ketiga, modusnya adalah penggelapan uang. Lalu yang keempat, adalah penggelembungan harga (mark up),” ujar Lalola.
Ia mengemukakan hal tersebut saat menjadi pemapar dalam Peluncuran Laporan Tren Penindakan Korupsi Tahun 2021 ICW yang disiarkan langsung di kanal YouTube Sahabat ICW, sebagaimana dipantau di Jakarta, Senin.
Baca juga: ICW sebut kinerja penindakan kasus korupsi pada tahun 2021 capai 24 persen
Keempat modus tersebut, ujar Lalola melanjutkan, adalah modus yang paling banyak ditemukan dalam kasus korupsi yang bersangkutan dengan pengadaan barang/jasa dan pengelolaan anggaran pemerintah.
“Kedua sektor ini memang dari tahun ke tahun konsisten menjadi titik yang paling rawan terjadi korupsi atau menjadi sektor yang paling banyak ditindak oleh aparat penegak hukum terkait dengan penindakan kasus korupsi,” kata dia.
Meskipun begitu, Lalola mengatakan, temuan ICW tersebut belum sepenuhnya merepresentasikan keadaan sebenarnya karena keterbatasan mereka dalam melakukan pemantauan.
Dia mengatakan keempat modus yang ditemukan oleh ICW itu berdasarkan pemantauan terhadap berbagai pemberitaan dan situs web resmi milik institusi penegak hukum, yakni Kejaksaan RI, Kepolisian RI, dan KPK yang memiliki informasi yang representatif.
Namun, menurut Lalola, tidak semua institusi, terutama Kejaksaan dan Kepolisian di tingkat daerah menghadirkan sumber informasi yang representatif kepada publik.
Selanjutnya, Lalola juga menyampaikan terkait dengan modus korupsi terbaru yang perlu diwaspadai oleh institusi penegak hukum. Pertama kali, ICW menemukan modus tersebut pada tahun 2020, yakni modus manipulasi saham.
“Ini adalah salah satu modus yang muncul karena dua kasus yang menarik perhatian publik. Dua kasus itu memiliki potensi kerugian negara yang cukup besar dan melibatkan institusi yang penting. Di tahun 2020, ada kasus korupsi PT Asuransi Jiwasraya, kemudian di tahun 2021 ada kasus korupsi PT Asabri. Bahkan, di kasus Asabri ada potensi kerugian negara mencapai Rp22,78 triliun,” jelas Lalola.
Dalam perkembangan modus itu, ia mengatakan, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi (PPATK) menemukan transaksi mencurigakan, yakni transaksi menggunakan mata uang kripto.
“Ini menjadi poin yang belum banyak dibicarakan. Akan tetapi, saat melihat perkembangan mata uang kripto ini sangat pesat di beberapa tahun belakang, tentu ini patut menjadi perhatian bagi aparat penegak hukum ataupun otoritas keuangan dan perbankan. Mereka harus mewaspadai bahwa mata uang kripto bisa menjadi semacam bentuk baru menukarkan hasil kejahatan korupsi,” ujar Lalola.
Untuk mengatasi persoalan modus baru tersebut, ICW mendorong aparat penegak hukum agar meningkatkan kapasitasnya dalam mengikuti perubahan modus dan bentuk transaksi yang berpotensi berujung pada kejahatan, baik itu korupsi, pencucian uang, maupun pengelabuan pajak.