Lampung Timur (ANTARA) - Pusat Telaah dan Informasi Regional (Pattiro) berkolaborasi dengan Yayasan Konservasi Way Seputih (YKWS) mengadakan diskusi terfokus mengenai identifikasi bencana alam, kerentanan dan kapasitas komunitas dalam menghadapi perubahan iklim di Balai Dusun II Desa Tulus Rejo, Kab. Lampung Timur, Kamis (7/4).

 YKWS dalam keterangannya menyebutkan kegiatan ini merupakan bagian dari Program VICRA (Voice of Inclusiveness Climate Resilience Action) atau suara untuk perubahan iklim yang inklusif.

Program VICRA bertujuan untuk menciptakan ruang bagi petani yang rentan dan memungkinkan mereka untuk berpartisipasi dan mengadvokasi posisi mereka dalam aksi ketahanan iklim. 

Program VICRA juga mendorong adanya partisipasi dari kaum perempuan, difabel, dan anak-anak sebagai wujud dari kesetaraan gender dan inklusi sosial.

“Dampak perubahan iklim di sektor pertanian pasti mempengaruhi kehidupan semua pihak, termasuk juga para perempuan, anak-anak, dan kaum difabel yang lebih rentan terhadap krisis yang diakibatkan oleh dampak perubahan iklim ini,” kata Isyanto, Koordinator Program VICRA.

Menurutnya, sebagaimana kita ketahui bahwa pertanian merupakan sektor paling terdampak oleh adanya perubahan iklim.

Hal ini karena aktivitas pertanian sangat bergantung pada cuaca seperti curah hujan hingga kelembapan udara. Sehingga pemetaan bencana alam sebagai dampak perubahan iklim penting dilakukan untuk mengukur kapasitas dan kerentanan komunitas dalam menghadapi fenomena tersebut.

“Cuaca saat ini tidak menentu, perubahan iklim sudah nyata kita rasakan. Musim tanam yang dulunya bisa diprediksi, sekarang bisa tiba-tiba hujan tiba-tiba panas terik. Hal ini juga mempengaruhi sektor pertanian khusus pada produksi padi yang imbasnya pada ketahanan pangan kita,” kata Isyanto.

Diskusi yang diikuti oleh Kepala Desa Tulusrejo beserta jajarannya, Gapoktan Sido Lestari, Kelompok Wanita Tani, Penyuluh Pertanian Lapangan, anggota tim penggerak PKK, Karang Taruna, dan ibu rumah tangga ini menyatakan bahwa kekeringan dan serangan hama penyakit merupakan potensi bencana yang paling banyak merugikan pertanian.

“Hama tanaman banyak disebabkan oleh tikus, wereng, dan belalang. Ini biasanya muncul dalam jumlah banyak setelah terjadi kemarau panjang,”ungkap Tri Wahono selaku Ketua Gapoktan Sido Lestari. 

Menurutnya, serangan tikus dan hama lainnya tersebut bahkan dapat merugikan petani hanya dalam waktu satu malam. Tak tanggung-tanggung, dampaknya bahkan sampai merusak 12 hektar, tidak hanya pada tanaman padi tetapi juga pada tanaman lain seperti jagung.

Selain itu, serangan hama yang muncul setelah kemarau panjang, Desa Tulusrejo juga rentan terhadap bencana kekeringan. 

Menurut Kepala Desa Tulusrejo, Hartono, kekeringan terjadi karena suplai air tidak sebanding dengan luas areal pertanian yang harus diairi. 

“Sebetulnya airnya ada, tetapi debitnya kecil. Sehingga tidak sampai di beberapa area pertanian. Ketika sampai di ujung, debitnya sudah kecil sekali,” tuturnya.

Selain karena debit air yang kecil, kekeringan juga dipengaruhi oleh sarana irigasi dimana saluran yang ada merupakan sarana tersier atau tidak permanen sehingga air akan terserap ke dalam tanah di sepanjang jalan alirannya.

Bencana akibat dampak perubahan iklim yang dirasakan oleh warga juga terdiri dari banjir, angin kencang, puting beliung, dan pohon tumbang. Intensitas bencana-bencana tersebut memang tidak signifikan dalam mempengaruhi produksi padi namun menjadi referensi penting dalam menyuarakan aksi perubahan iklim.

“Saya mengapresiasi warga Tulusrejo dimana kapasitasnya dalam hal mengidentifikasi bencana-bencana akibat perubahan iklim ini sudah sangat baik. Untuk penanganannya kita memang butuh pelatihan terus dalam upaya beradaptasi dengan dampak perubahan iklim ini,” tutup Isyanto.

Pewarta : Muklasin
Editor : Agus Wira Sukarta
Copyright © ANTARA 2024