Yogyakarta (ANTARA) - Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) Yudian Wahyudi menekankan pentingnya sosialisasi Salam Pancasila sebagai salam pemersatu kebangsaan yang menjadi tugas dan fungsi lembaganya dalam membangun harmoni antarumat beragama.

Yudian dalam keterangan tertulis yang diterima, di Yogyakarta, Sabtu, mengatakan bahwa sejarah dan latar belakang Salam Pancasila diadopsi dari Salam Merdeka Bung Karno (Presiden Soekarno) yang dikumandangkannya pada awal kemerdekaan.

"Salam ini sejatinya dikenalkan Presiden Pertama RI Soekarno pada 1945. Bung Karno bilang kita ini kemajemukannya berlapis-lapis. Supaya tidak repot dengan hal-hal sensitif, maka perlu ada salam pemersatu kebangsaan," katanya.

Menurut dia, salam yang bisa merangkum semua yang tidak menimbulkan perbedaan itu bentuk gerakannya yaitu mengangkat tangan kanan lima jari di atas pundak sedikit. Ini maksudnya mengamalkan kelima sila Pancasila dan harus ditanggung dan menjadi kewajiban bersama-sama rakyat Indonesia.

Kemudian, setiap jemari tidak berpisah, pengertiannya adalah antara sila satu dengan yang lainnya saling menyatu dan menopang.

Selain pentingnya mensosialisasikan Salam Pancasila, Kepala BPIP juga menyinggung soal konsensus dalam berbangsa dan bernegara. Menurut dia, legitimasi kebangsaan tertinggi bukan muncul dari suatu kelompok tertentu, tetapi ada di kebersamaan dan persahabatan.

"Artinya, konsensus merupakan sumber hukum tertinggi yang mengatur kehidupan. Untuk agama, konsensusnya adalah kitab suci masing-masing. Karena ini dalam kehidupan bernegara, maka konsensusnya termaktub dalam UUD 1945. UUD 45 itu isinya nilai-nilai keagamaan yang sudah disepakati bersama, tapi bahasanya memakai bahasa hukum," katanya pula.

Oleh karena itu, Yudian selalu menegaskan bahwa tidak ada toleransi tanpa konsensus. Karena, nanti masing-masing standarnya berbeda. "Masing-masing nanti punya warna antara kelompok yang satu dengan yang lainnya," kata Yudian.

Sebagai wadah ide-ide dan pandangan dari para tokoh agama, BPIP bekerja sama dengan UIN Sunan Kalijaga (Suka) Yogyakarta mengadakan dialog kebangsaan antarumat beragama bertema "Pembangunan Narasi Persatuan dalam Kebinekaan dan Moderasi Beragama antar Tokoh Agama se-Indonesia" di Yogyakarta akhir Maret 2022.

"Dialog tersebut juga diharapkan mampu mencetuskan deklarasi tentang keindonesiaan, khususnya etika dalam bermedia sosial. Hasil deklarasi ini bisa disampaikan ke internal masing-masing organisasi kemasyarakatan," katanya pula.

Rektor UIN Suka Prof Al Makin mengatakan, Dialog Kebangsaan itu didasarkan pada kajian UIN selama bertahun-tahun tentang hubungan persahabatan antarumat beragama maupun internal beragama bahwa persahabatan di kalangan remaja, anak, dan para mahasiwa umumnya didasari kesamaan iman, kedaerahan, dan aliran.

"Jarang sekali persahabatan didasari lintas organisasi dan lintas iman," kata Rektor.

Al Makin mengatakan bahwa ukuran moderasi beragama itu sederhana. Yakni, seberapa banyak teman yang tidak berbahasa sama, tidak berorganisasi sama, dan tidak sama cara beribadahnya, namun selalu ditingkatkan persahabatan di antara yang berbeda-beda agama, kepercayaan, etnis, golongan dan seterusnya.

"Mari kita sosialisasikan di masyarakat dan media sosial bahwa kita semua bersahabat, berkawan, dan bersaudara. Saya kira ini sangat diperlukan dalam konteks keindonesiaan yang sangat kaya," katanya lagi.

Selain itu, dia mengatakan bahwa masyarakat harus kembali ke akar keindonesiaan, yang memiliki empat hal, yakni keadilan, moderasi, kebajikan, dan persahabatan. Menurutnya, kembali ke akar jati diri bangsa Indonesia itu sebenarnya sudah dilakukan oleh para pendiri bangsa.

Misalnya, Soekarno, Mohammad Hatta, H Agus Salim, M Yamin hingga Sutan Sjahrir sudah mempelajari jati diri bangsa Indonesia sebelum proklamasi. Karena itu, Rektor UIN Suka juga mengapresiasi langkah BPIP dalam menjaga dan mengawal nilai-nilai Pancasila, dan terus menggali nilai-nilai Pancasila dalam masyarakat.

Pewarta : Hery Sidik
Editor : Budisantoso Budiman
Copyright © ANTARA 2024