Jakarta (ANTARA) - Kenaikan harga komoditas liquefield petroleum gas (LPG) akibat konflik geopolitik Rusia-Ukraina menjadi momentum yang tepat bagi pemerintah Indonesia untuk menerbitkan aturan konversi kompor listrik.
Pengamat Kebijakan Publik Agus Pambagyo mengatakan pemerintah dapat memilih kebijakan konversi kompor listrik untuk mengurangi dampak fiskal, sehingga bisa menekan beban fiskal akibat impor LPG.
"Untuk melakukan konversi kompor listrik perlu diperjelas dengan aturan pemerintah. Pasalnya, apabila konversi hanya dilakukan dengan kerelaan maka diprediksi program tersebut sulit diimplementasikan," kata Agus dalam keterangannya di Jakarta, Senin.
"Bahasanya, mengalihkan atau konversi harus dengan paksaan atau melalui peraturan. Kalau sukarela, kapan selesainya?" tambahnya.
Merujuk konversi minyak tanah ke kompor gas diperlukan beleid setingkat Peraturan Presiden. Saat itu, pemerintah menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 104 Tahun 2007 tentang penyediaan, pendistribusian, dan penetapan harga LPG tabung tiga kilogram.
Agus menambahkan beleid setingkat Peraturan Presiden mempermudah implementasi dan koordinasi mengingat pelaksana aturan konversi tidak hanya satu sektor saja.
Konflik geopolitik Rusia dengan Ukraina turut memicu kenaikan harga LPG dunia yang berdampak terhadap perekonomian nasional mengingat Indonesia merupakan negara pengimpor LPG.
Apabila kondisi itu dibiarkan dapat meningkatkan besaran subsidi dalam Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) yang memperlebar defisit neraca perdagangan, sehingga dibutuhkan solusi jangka panjang untuk menyelesaikan masalah tersebut salah satunya melalui konversi kompor LPG ke kompor listrik.
Lebih lanjut Agus menyampaikan bahwa pemerintah dapat melakukan evaluasi dan menerbitkan kebijakan menanggapi kondisi melonjaknya harga LPG melalui pendekatan perhitungan ekonomi.
"Evaluasinya jangan menggunakan perhitungan politis. Kita ketahui bahwa harga migas ada kecenderungan naik dalam beberapa waktu, di situ (mitigasinya) sebenarnya bisa dihitung," jelasnya.
Harga Kontrak Aramco (CPA) yang menjadi acuan harga LPG tercatat mengalami kenaikan hingga mencapai 775 dolar AS per metrik ton pada Februari 2022 dibandingkan dengan harga rata-rata sepanjang 2021, yakni sebesar 637 dolar AS per metrik ton.
Berdasarkan data BPS, nilai impor minyak dan gas bumi (migas) sepanjang 2021 sebesar 25,52 miliar dolar AS atau naik dibandingkan dengan impor migas tahun sebelumnya sebesar 14,25 miliar dolar AS. Dampaknya, defisit neraca perdagangan migas pada 2021 melebar hingga 13,25 miliar dolar AS.
Senada dengan Agus, Direktur Eksekutif Energy Watch Mamit Setiawan mengatakan kenaikan harga LPG menjadi momentum untuk mendorong penggunaan kompor listrik di masyarakat.
"Saya kira peluang terjadinya migrasi di pengguna LPG nonsubsidi ke kompor listrik dengan adanya penyesuaian harga LPG sangat memungkinkan. Hal ini juga akan membantu PLN dalam mendorong terjadinya peningkatan konsumsi listrik rumah tangga," pungkas Mamit.
Pengamat Kebijakan Publik Agus Pambagyo mengatakan pemerintah dapat memilih kebijakan konversi kompor listrik untuk mengurangi dampak fiskal, sehingga bisa menekan beban fiskal akibat impor LPG.
"Untuk melakukan konversi kompor listrik perlu diperjelas dengan aturan pemerintah. Pasalnya, apabila konversi hanya dilakukan dengan kerelaan maka diprediksi program tersebut sulit diimplementasikan," kata Agus dalam keterangannya di Jakarta, Senin.
"Bahasanya, mengalihkan atau konversi harus dengan paksaan atau melalui peraturan. Kalau sukarela, kapan selesainya?" tambahnya.
Merujuk konversi minyak tanah ke kompor gas diperlukan beleid setingkat Peraturan Presiden. Saat itu, pemerintah menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 104 Tahun 2007 tentang penyediaan, pendistribusian, dan penetapan harga LPG tabung tiga kilogram.
Agus menambahkan beleid setingkat Peraturan Presiden mempermudah implementasi dan koordinasi mengingat pelaksana aturan konversi tidak hanya satu sektor saja.
Konflik geopolitik Rusia dengan Ukraina turut memicu kenaikan harga LPG dunia yang berdampak terhadap perekonomian nasional mengingat Indonesia merupakan negara pengimpor LPG.
Apabila kondisi itu dibiarkan dapat meningkatkan besaran subsidi dalam Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) yang memperlebar defisit neraca perdagangan, sehingga dibutuhkan solusi jangka panjang untuk menyelesaikan masalah tersebut salah satunya melalui konversi kompor LPG ke kompor listrik.
Lebih lanjut Agus menyampaikan bahwa pemerintah dapat melakukan evaluasi dan menerbitkan kebijakan menanggapi kondisi melonjaknya harga LPG melalui pendekatan perhitungan ekonomi.
"Evaluasinya jangan menggunakan perhitungan politis. Kita ketahui bahwa harga migas ada kecenderungan naik dalam beberapa waktu, di situ (mitigasinya) sebenarnya bisa dihitung," jelasnya.
Harga Kontrak Aramco (CPA) yang menjadi acuan harga LPG tercatat mengalami kenaikan hingga mencapai 775 dolar AS per metrik ton pada Februari 2022 dibandingkan dengan harga rata-rata sepanjang 2021, yakni sebesar 637 dolar AS per metrik ton.
Berdasarkan data BPS, nilai impor minyak dan gas bumi (migas) sepanjang 2021 sebesar 25,52 miliar dolar AS atau naik dibandingkan dengan impor migas tahun sebelumnya sebesar 14,25 miliar dolar AS. Dampaknya, defisit neraca perdagangan migas pada 2021 melebar hingga 13,25 miliar dolar AS.
Senada dengan Agus, Direktur Eksekutif Energy Watch Mamit Setiawan mengatakan kenaikan harga LPG menjadi momentum untuk mendorong penggunaan kompor listrik di masyarakat.
"Saya kira peluang terjadinya migrasi di pengguna LPG nonsubsidi ke kompor listrik dengan adanya penyesuaian harga LPG sangat memungkinkan. Hal ini juga akan membantu PLN dalam mendorong terjadinya peningkatan konsumsi listrik rumah tangga," pungkas Mamit.