Jakarta (ANTARA) - Hampir seluruh perusahaan penyedia bantuan sosial (bansos) berupa sembako dalam penanganan COVID-19 di Kementerian Sosial (Kemensos) disebut oleh majelis hakim tidak memenuhi kualifikasi dan tidak layak menjadi vendor.
"Dengan tidak dilakukannya seleksi terhadap calon penyedia bansos, akibatnya hampir seluruh perusahaan yang ditunjuk dalam pengadaan bansos tidak memiliki kualifikasi, sehingga seharusnya tidak layak ditunjuk dalam pengadaan bansos dalam penanganan COVID-19," kata anggota majelis hakim Joko Subagyo dalam sidang pembacaan vonis atas terdakwa mantan Menteri Sosial (Mensos) Juliari Batubara, di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin.
Hakim mengungkapkan bahwa menjelang pengadaan bansos tahap III pada Mei 2020, Kabiro Umum Kemensos saat itu Adi Wahyono dipanggil ke ruangan M Royani selaku Sekretaris Direktorat Jenderal Perlindungan Sosial (Linjamsos) dan di ruang kerjanya sudah ada Ivo Wongkaren di dalam.
"Pada pertemuan tersebut M Royani menyampaikan pelaksanaan bansos di wilayah Bodetabek dilakukan oleh PT Anomali Lumbung Artha dengan Penanggungjawab Ivo Wongkaren," kata hakim.
Beberapa hari kemudian Ivo Wongkaren dan stafnya datang ke ruangan Adi Wahyono untuk memaparkan distribusi bansos sembako, padahal pada waktu itu PT Anomali Lumbung Artha belum ditunjuk sebagai penyedia.
Karena vendor penyedia bansos sembako telah ada di Matheus Joko Santoso, maka tim teknis atas perintah Matheus Joko langsung menyediakan surat PPJB dan surat pesanan kepada masing-masing penyedia.
"Tim teknis tidak lagi melakukan verifikasi atau pemeriksaan dokumen, karena sebagian besar calon penyedia tidak melengkapi dokumen awal pengadaan dan dokumen pengadaan baru dilengkapi setelah penyedia mengajukan pembayaran saat pengadaan selesai dilaksanakan," ujar hakim Joko.
PT Anomali Lumbung Artha yang merupakan titipan Juliari Batubara pun disebut hakim selalu mendapatkan kuota yang sangat besar, dengan total 1.506.900 paket merupakan perusahaan yang bergerak di bidang elektronik.
"Sehingga tidak mempunyai pengalaman yang sejenis. Demikian juga perusahaan yang mempunyai afiliasinya, seperti PT Junatama Foodia Kreasindo yang mempunyai kuota 1.613.000 paket, PT Famindo Meta Komunika yang mempunyai kuota 1.230.000 paket, dan PT Tara Optima Primago yang mendapatkan kuota 250 ribu paket," kata hakim lagi.
Sedangkan perusahaan Dwi Mukti Grup yang merupakan perusahaan Herman Heri yang diklaim Ivo Wongakren sebagai perusahaan penyedia bansos sembako bagi PT Anomali Lumbung Artha dan perusahaan afiliasinya tersebut, merupakan perusahaan yang bergerak di bidang elektronik.
Perusahaan lain, yaitu PT Pertani dan PT Mandala Hamonangan Sude yang merupakan perusahaan titipan Juliari yang berasal dari Muhammad Ihsan Yunus dengan Penanggungjawabnya adalah Agustri Yogasmara yang ditunjuk sebagai penyedia dalam pengadaan bansos.
"Perusahaan itu merupakan perusahaan yang tidak memenuhi persyaratan penyedia, karena Pertani tidak punya kemampuan keuangan, sedangkan PT Mandala Hamonangan Sude tidak punya pengalaman pekerjaan di bidang sejenis, melainkan hanya supplier PT Pertani," ungkap hakim
Sementara PT Tiga Pilar Agro Utama merupakan perusahaan titipan saksi Pepen Nazaruddin selaku Dirjen Linjamsos, tidak punya pengalaman pekerjaan di bidang sejenis
"PT Rajawali Parama Indonesia merupakan perusahaan milik Matheus Joko Santoso yang baru didirikan Agustus 2020, dengan tujuan untuk diikutsertakan dalam pengadaan bansos yang sama sekali tidak punya pengalaman dan tidak punya kemampuan keuangan," ungkap hakim.
Hakim juga membeberkan keterkaitan Herman Hery dan Ihsan Yunus yang diketahui merupakan politikus PDI Perjuangan, partai yang menaungi Juliari Batubara dalam kasus ini. Herman Hery saat ini menjadi Ketua Komisi III DPR, sedangkan Ihsan Yunus tercatat sempat menjadi Wakil Ketua Komisi VIII DPR yang bermitra dengan Kementerian Sosial. Saat kasus Juliari mencuat, fraksi PDIP memindahkan Ihsan Yunus ke Komisi II DPR.
Dalam perkara ini, Menteri Sosial 2019-2020 Juliari Batubara divonis 12 tahun penjara ditambah denda Rp500 juta subsider 6 bulan kurungan, karena terbukti menerima suap Rp32,482 miliar dari 109 perusahaan penyedia bantuan sosial sembako COVID-19 di wilayah Jabodetabek.
Vonis tersebut lebih berat dibanding tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang meminta agar Juliari Batubara divonis 11 tahun penjara ditambah denda Rp500 juta subsider 6 bulan kurungan.
Juliari pun diminta untuk membayar uang pengganti sejumlah Rp14.597.450.000 subsider 2 tahun penjara.
Politikus PDIP tersebut juga dicabut hak untuk dipilih dalam jabatan publik selama 4 tahun sejak selesai menjalani pidana pokok.
Baca juga: Hakim sebut mantan Mensos Juliari Batubara "lempar batu sembunyi tangan"
Baca juga: Juliari Batubara divonis 12 tahun penjara
"Dengan tidak dilakukannya seleksi terhadap calon penyedia bansos, akibatnya hampir seluruh perusahaan yang ditunjuk dalam pengadaan bansos tidak memiliki kualifikasi, sehingga seharusnya tidak layak ditunjuk dalam pengadaan bansos dalam penanganan COVID-19," kata anggota majelis hakim Joko Subagyo dalam sidang pembacaan vonis atas terdakwa mantan Menteri Sosial (Mensos) Juliari Batubara, di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin.
Hakim mengungkapkan bahwa menjelang pengadaan bansos tahap III pada Mei 2020, Kabiro Umum Kemensos saat itu Adi Wahyono dipanggil ke ruangan M Royani selaku Sekretaris Direktorat Jenderal Perlindungan Sosial (Linjamsos) dan di ruang kerjanya sudah ada Ivo Wongkaren di dalam.
"Pada pertemuan tersebut M Royani menyampaikan pelaksanaan bansos di wilayah Bodetabek dilakukan oleh PT Anomali Lumbung Artha dengan Penanggungjawab Ivo Wongkaren," kata hakim.
Beberapa hari kemudian Ivo Wongkaren dan stafnya datang ke ruangan Adi Wahyono untuk memaparkan distribusi bansos sembako, padahal pada waktu itu PT Anomali Lumbung Artha belum ditunjuk sebagai penyedia.
Karena vendor penyedia bansos sembako telah ada di Matheus Joko Santoso, maka tim teknis atas perintah Matheus Joko langsung menyediakan surat PPJB dan surat pesanan kepada masing-masing penyedia.
"Tim teknis tidak lagi melakukan verifikasi atau pemeriksaan dokumen, karena sebagian besar calon penyedia tidak melengkapi dokumen awal pengadaan dan dokumen pengadaan baru dilengkapi setelah penyedia mengajukan pembayaran saat pengadaan selesai dilaksanakan," ujar hakim Joko.
PT Anomali Lumbung Artha yang merupakan titipan Juliari Batubara pun disebut hakim selalu mendapatkan kuota yang sangat besar, dengan total 1.506.900 paket merupakan perusahaan yang bergerak di bidang elektronik.
"Sehingga tidak mempunyai pengalaman yang sejenis. Demikian juga perusahaan yang mempunyai afiliasinya, seperti PT Junatama Foodia Kreasindo yang mempunyai kuota 1.613.000 paket, PT Famindo Meta Komunika yang mempunyai kuota 1.230.000 paket, dan PT Tara Optima Primago yang mendapatkan kuota 250 ribu paket," kata hakim lagi.
Sedangkan perusahaan Dwi Mukti Grup yang merupakan perusahaan Herman Heri yang diklaim Ivo Wongakren sebagai perusahaan penyedia bansos sembako bagi PT Anomali Lumbung Artha dan perusahaan afiliasinya tersebut, merupakan perusahaan yang bergerak di bidang elektronik.
Perusahaan lain, yaitu PT Pertani dan PT Mandala Hamonangan Sude yang merupakan perusahaan titipan Juliari yang berasal dari Muhammad Ihsan Yunus dengan Penanggungjawabnya adalah Agustri Yogasmara yang ditunjuk sebagai penyedia dalam pengadaan bansos.
"Perusahaan itu merupakan perusahaan yang tidak memenuhi persyaratan penyedia, karena Pertani tidak punya kemampuan keuangan, sedangkan PT Mandala Hamonangan Sude tidak punya pengalaman pekerjaan di bidang sejenis, melainkan hanya supplier PT Pertani," ungkap hakim
Sementara PT Tiga Pilar Agro Utama merupakan perusahaan titipan saksi Pepen Nazaruddin selaku Dirjen Linjamsos, tidak punya pengalaman pekerjaan di bidang sejenis
"PT Rajawali Parama Indonesia merupakan perusahaan milik Matheus Joko Santoso yang baru didirikan Agustus 2020, dengan tujuan untuk diikutsertakan dalam pengadaan bansos yang sama sekali tidak punya pengalaman dan tidak punya kemampuan keuangan," ungkap hakim.
Hakim juga membeberkan keterkaitan Herman Hery dan Ihsan Yunus yang diketahui merupakan politikus PDI Perjuangan, partai yang menaungi Juliari Batubara dalam kasus ini. Herman Hery saat ini menjadi Ketua Komisi III DPR, sedangkan Ihsan Yunus tercatat sempat menjadi Wakil Ketua Komisi VIII DPR yang bermitra dengan Kementerian Sosial. Saat kasus Juliari mencuat, fraksi PDIP memindahkan Ihsan Yunus ke Komisi II DPR.
Dalam perkara ini, Menteri Sosial 2019-2020 Juliari Batubara divonis 12 tahun penjara ditambah denda Rp500 juta subsider 6 bulan kurungan, karena terbukti menerima suap Rp32,482 miliar dari 109 perusahaan penyedia bantuan sosial sembako COVID-19 di wilayah Jabodetabek.
Vonis tersebut lebih berat dibanding tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang meminta agar Juliari Batubara divonis 11 tahun penjara ditambah denda Rp500 juta subsider 6 bulan kurungan.
Juliari pun diminta untuk membayar uang pengganti sejumlah Rp14.597.450.000 subsider 2 tahun penjara.
Politikus PDIP tersebut juga dicabut hak untuk dipilih dalam jabatan publik selama 4 tahun sejak selesai menjalani pidana pokok.
Baca juga: Hakim sebut mantan Mensos Juliari Batubara "lempar batu sembunyi tangan"
Baca juga: Juliari Batubara divonis 12 tahun penjara