Jakarta (ANTARA) - Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Nadia Fairuza mengingatkan rencana pemberlakuan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) terhadap instansi pendidikan berpotensi mempengaruhi upaya-upaya pemulihan yang telah dilakukan pemerintah selama ini.
“Dampak pandemi pada sektor pendidikan seharusnya bisa menjadi pertimbangan sebelum pengenaan PPN ini benar-benar diberlakukan,” katanya di Jakarta, Jumat.
Nadia menyatakan rencana pemerintah mengenakan PPN pada sektor pendidikan atau sekolah adalah langkah yang kontraproduktif dan bertentangan dengan upaya memulihkan dampak pandemi pada sektor ini.
Hal tersebut otomatis dapat mengancam upaya-upaya yang sudah dilakukan selama ini untuk memperbaiki dan memajukan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) Indonesia.
Tak hanya itu, Nadia menyebutkan saat ini banyak sekolah terutama swasta berbiaya rendah yang sudah sulit untuk bertahan di tengah pandemi.
Itu terjadi karena sekolah swasta maupun tenaga pendidiknya sangat bergantung kepada pendapatan orang tua murid yang kini dalam kondisi sulit akibat pandemi COVID-19.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) per Februari 2021 menunjukkan terdapat 19,10 juta penduduk usia kerja yang terdampak pandemi COVID-19.
Sebanyak 1,62 juta penduduk di antaranya menganggur akibat pandemi dan sebanyak 1,11 juta orang tidak bekerja karena pandemi.
“Belum lagi mempertimbangkan dampak dari learning loss akibat pandemi pada peserta didik. RUU KUP perlu dikawal prosesnya agar tidak merugikan kepentingan masyarakat,” tegas Nadia.
Sebagai informasi, salah satu poin dalam Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Kelima atas Undang-Undang Nomor 6/1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (RUU KUP) adalah pengenaan PPN pada instansi pendidikan sebesar 12 persen.
Selain pendidikan yang sebelumnya terbebas dari PPN, 10 jenis jasa lainnya juga akan dikeluarkan dari kategori bebas PPN hingga hanya akan tersisa enam jenis jasa yang bebas dari pajak tersebut.
Kelompok jasa lainnya yang juga akan dikenakan PPN dengan adanya perubahan legislasi tersebut adalah jasa pelayanan kesehatan medis, pelayanan sosial, pengiriman surat dengan perangko, jasa keuangan dan jasa asuransi.
“Dampak pandemi pada sektor pendidikan seharusnya bisa menjadi pertimbangan sebelum pengenaan PPN ini benar-benar diberlakukan,” katanya di Jakarta, Jumat.
Nadia menyatakan rencana pemerintah mengenakan PPN pada sektor pendidikan atau sekolah adalah langkah yang kontraproduktif dan bertentangan dengan upaya memulihkan dampak pandemi pada sektor ini.
Menurutnya, rencana ini akan menimbulkan beberapa dampak seperti biaya pendidikan yang semakin tinggi hingga mempersempit akses kepada pendidikan terutama bagi masyarakat miskin.
Terlebih lagi, ia menuturkan Indonesia masih memiliki berbagai permasalahan di sektor pendidikan seperti akses dan mutu yang tidak merata, peningkatan dropout, dan penurunan kemampuan belajar.Hal tersebut otomatis dapat mengancam upaya-upaya yang sudah dilakukan selama ini untuk memperbaiki dan memajukan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) Indonesia.
Tak hanya itu, Nadia menyebutkan saat ini banyak sekolah terutama swasta berbiaya rendah yang sudah sulit untuk bertahan di tengah pandemi.
Itu terjadi karena sekolah swasta maupun tenaga pendidiknya sangat bergantung kepada pendapatan orang tua murid yang kini dalam kondisi sulit akibat pandemi COVID-19.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) per Februari 2021 menunjukkan terdapat 19,10 juta penduduk usia kerja yang terdampak pandemi COVID-19.
Sebanyak 1,62 juta penduduk di antaranya menganggur akibat pandemi dan sebanyak 1,11 juta orang tidak bekerja karena pandemi.
“Belum lagi mempertimbangkan dampak dari learning loss akibat pandemi pada peserta didik. RUU KUP perlu dikawal prosesnya agar tidak merugikan kepentingan masyarakat,” tegas Nadia.
Sebagai informasi, salah satu poin dalam Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Kelima atas Undang-Undang Nomor 6/1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (RUU KUP) adalah pengenaan PPN pada instansi pendidikan sebesar 12 persen.
Selain pendidikan yang sebelumnya terbebas dari PPN, 10 jenis jasa lainnya juga akan dikeluarkan dari kategori bebas PPN hingga hanya akan tersisa enam jenis jasa yang bebas dari pajak tersebut.
Kelompok jasa lainnya yang juga akan dikenakan PPN dengan adanya perubahan legislasi tersebut adalah jasa pelayanan kesehatan medis, pelayanan sosial, pengiriman surat dengan perangko, jasa keuangan dan jasa asuransi.