Jakarta (ANTARA) - Ketua Umum Partai Gelombang Rakyat (Gelora) Indonesia Anis Matta mengemukakan bahwa Indonesia sebagai negara dengan warga Muslim terbesar bisa menjadikan Jakarta sebagai episentrum pertemuan pejuang Palestina.

Anis Matta dalam keterangan pers diterima di Jakarta, Sabtu, mengatakan hal itu akan membawa efek positif bagi Indonesia di mata negara-negara Islam.

"Pada dasarnya kami setuju dengan solusi dua negara dan itu sikap Indonesia secara umum. Tapi, kalau kami membuat prediksi tentang masa depan negara ini, Indonesia pada dasarnya bisa ikut memelopori perbincangan tentang hal itu," ujarnya.

Pada posisi diplomatik ini, lanjut Anis, Indonesia harusnya bisa menjadi juru damai untuk kekuatan-kekuatan perlawanan yang ada di Palestina, khususnya antara Hamas dan Fatah.

"Kita bisa undang Fatah, undang Hamas, dan kelompok-kelompok lain di Indonesia. Saya kira para pejuang Palestina setuju dengan ajakan itu," ucao dia.

Dia mengatakan, peran Indonesia dalam konflik Palestina-Israel berada dalam dua posisi. Pertama, posisi diplomatik dan posisi kemanusiaan.
 

Menurut dia, pada posisi diplomatik khususnya forum-forum internasional seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Indonesia harus menggugat tentang solusi dua negara (two state nation).

Artinya, menurut Anis Matta, penyelesaian konflik harus berdasarkan prinsip-prinsip yang sudah ditentukan. Solusi dua negara merupakan sikap awal pemerintah Indonesia sejak era Soekarno dalam upaya penyelesaian konflik Palestina-Israel.

Sementara itu Sekretaris Umum PP Muhammadiyah Prof Abdul Mu’ti dalam kesempatan yang sama menyampaikan, Muhammadiyah sejak awal konsisten dengan kemerdekaan Palestina.

"Konflik Palestina-Israel bukan masalah teologi, tapi politik. Walaupun survei SMRC, sebagian besar umat Islam berpendapat masalah Palestina ini masalah umat Islam dengan Yahudi. Tapi Muhammadiyah melihat ini dimensi politik, walaupun dimensi keagamaannya sangat kuat," tutur-nya.

Hal itu lanjut dia karena ada pihak tertentu yang secara politik berusaha menarik ke ranah agama.

Mu’ti menjelaskan, konflik keduanya merupakan benturan antara kelompok fundamentalis di kedua belah pihak. Hamas yang beberapa kali menang Pemilu dianggap sebagai kelompok fundamentalis.

“Netanyahu menang Pemilu berkali-kali, dan PM yang baru lebih fundamentalis. Keduanya tidak setuju Palestina dan Israel menjadi dua negara yang berdaulat. Hamas tidak setuju, hanya setuju ada Palestina yang berdaulat, dan pengganti Netanyahu juga punya pendapat yang sama,” ucap-nya.

Sebelumnya Direktur Eksekutif Moya Institute Hery Sucipto memantik diskusi dengan menyampaikan pernyataan Menteri Luar Negeri (Menlu) Retno Marsudi saat bertemu dengan Perwakilan Tinggi Urusan Luar Negeri dan Keamanan Uni Eropa, Josep Borrell.

Dalam pertemuan itu, Retno menekankan mengenai pentingnya mencegah lingkaran kekerasan dan penyelesaian isu utama, yakni mengakhiri penjajahan Israel atas Palestina berdasarkan solusi dua negara dan parameter-parameter yang telah disepakati di level internasional.
 


Pewarta : Boyke Ledy Watra
Editor : Triono Subagyo
Copyright © ANTARA 2024