Jakarta (ANTARA) - Pakar Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Muslim Indonesia, Makassar, Dr Fahri Bachmid SH MH, mengatakan pemerintah perlu formulasi hukum khusus terkait wacana pemulangan 600 orang mantan anggota ISIS asal Indonesia.
Fahri Bachmid, dalam keterangan tertulis yang diterima, Minggu, mengatakan pemulangan WNI eks anggota ISIS yang menuai polemik tersebut perlu ditinjau dalam konteks konstitusi dan perundang-undangan yang berlaku.
Menurut dia, setiap orang bebas memilih dan menentukan kewarganegarannya karena telah diatur dalam ketentuan pasal 28E ayat (1) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Pasal 28E ayat (1) tersebut menegaskan ”Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali, sehingga setiap orang secara konstitusional bebas memilih kewarganegaraannya.
"Dengan demikian untuk menyikapi soal ini tidak terlepas dari dimensi hak asasi manusia yang telah dijamin oleh konstitusi (UUD NRI Tahun 1945).
Menurut dia, memang terdapat sedikit kompleksitas dari sisi teknis yuridis jika menggunakan instrumen UU Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia yang mendasarkan pada ketentuan pasal 23 poin d yang menyebutkan bahwa WNI kehilangan kewarganegaraannya jika yang bersangkutan “masuk dalam dinas tentara asing tanpa izin terlebih dahulu dari presiden”.
Sementara, poin F yang menyebutkan bahwa “Secara sukarela mengangkat sumpah atau menyatakan janji setia kepada negara asing atau bagian dari negara asing tersebut”.
"Ini tentu membutuhkan kajian dan pendalaman dari segi teori, doktrin, serta kaidah hukum internasional sepanjang berkaitan dengan eksistensi dan kedudukan ISIS sebagai subjek hukum internasional," katanya.
Secara normatif macam subjek hukum internasional terdiri dari a. Negara berdaulat; b. Gabungan negara negara; c. Tahta suci vatikan; d. Orgainsasi internasional,baik yang bilateral,regional maupun multilateral; e. Palang merah internasional; f. Individu yang mempunyai kriteria tertentu; g. Pemberontak (Belligerent) atau pihak yang bersengketa; h. Penjahat perang (Genocide).
Dengan demikiam subjek hukum internasional terdapat kelompok pemberontak, disebutkan Fahri, itupun terbagi kedalam dua kategori, yaitu “Insurgent” dan Belligerent” dan ISIS termasuk dalam kelompok Belligerent.
Namun, lanjut Fahri, menjadi sulit secara hukum jika eks-ISIS itu dikualifisir sebagai warganegara yang telah secara sukarela mengangkat sumpah/janji setia kepada negara asing/bagian dari negara asing tersebut sebagaimana diatur dalam kaidah ketentuan pasal 23 point f UU No.12/2006.
"Karena secara konseptual maupun hukum internasional ISIS tidak dapat dikategorikam sebagai negara, karena tidak memenuhi unsur-unsur negara, sehingga ISIS merupakan subjek hukum bukan negara (non-state entities).
Hal ini harus dimatangkan dan perlu dikaji secara mendalam dan hati hati, agar ketika membangun konstruksi hukum sekaitan dengan larangan mereka untuk masuk kembali ke indonesia tetap sejalan dengan argumentasi yang berbasis legal-konstitusional, dan tidak melawan hukum, kata Fahri Bacmid.
Dia menjelaskan bahwa berdasarkan Konvensi Montevideo Tahun 1933 Tentang Hak dan Kewajiban Negara yang ditandatangani pada 26 Desember 1933, yang mengkodifikasi teori deklaratif kenegaraan disebutkan syarat hukum berdirinya sebuah negara yang harus dipenuhi secara mutlak, yaitu: a. Memiliki rakyat; b. Wilayah; c. Pemerintahan; d. Kemampuan berhubungan dengan negara lain; e. Pengakuan kedaulatan dari negara lain
"Berdasarkan hal tersebut maka secara faktual ISIS tidak mempunyai hubungan diplomatik dengan negara lain apalagi mendapat pengakuan kedaulatan dari negara lain, sehingga secara hipotetis disimpulkan bahwa ISIS adalah sebuah negara menjadi gugur," kata Fahri Bachmid.
Dia mengatakan WNI eks-ISIS ini secara hukum telah “stateless” (tanpa kewarganegaraan). Jika suatu waktu atas dasar hak konstitusional dan kemanusiaan Pemerintah Indonesia memutuskan untuk mereka dipulangkan ke tanah air, menurut dia, beberapa instrumen dan payung hukum yang berkaitan dengan Pelaksanaan UU RI No. 12/2006 Tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia perlu disiapkan untuk mengatur tentang proses identifikasi.
Misalnya, identifikasi mana WNI yang menjadi pelaku aktif (kombatan), mana yang sekedar korban, mana yang levelnya “verry dengerous” karena sangat radikal dan ekstrim sampai pada level yang resikonya sangat kecil? proses assesment, deradikalisasi pengaturan "leading sector"-nya, apakah dibawah tanggung jawab BNPT atau siapa.
"Yang paling penting adalah tingkat penerimaan masyarakat setempat,yang tentunya melibatkan Pemerintah daerah karena mengatur tentang tanggung jawab dan sebagainya,
"Hal hal ini yang harus dikaji secara cermat dan komprehensif oleh pemerintah," jelasnya.
Setelah semua proses itu dilalui baru selanjutnya mereka diwajibkan untuk menjalani proses administrasi Pewarganegaraan sebagaimana diatur dalam ketentuan pasal 8 sampai dengan pasal 16 UU No. 12/2006 yang mana pasal 16 mengatur tentang Sumpah atau Pernyataan Janji Setia kepada Negara Republik Indonesia.
Fahri Bachmid, dalam keterangan tertulis yang diterima, Minggu, mengatakan pemulangan WNI eks anggota ISIS yang menuai polemik tersebut perlu ditinjau dalam konteks konstitusi dan perundang-undangan yang berlaku.
Menurut dia, setiap orang bebas memilih dan menentukan kewarganegarannya karena telah diatur dalam ketentuan pasal 28E ayat (1) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Pasal 28E ayat (1) tersebut menegaskan ”Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali, sehingga setiap orang secara konstitusional bebas memilih kewarganegaraannya.
"Dengan demikian untuk menyikapi soal ini tidak terlepas dari dimensi hak asasi manusia yang telah dijamin oleh konstitusi (UUD NRI Tahun 1945).
Menurut dia, memang terdapat sedikit kompleksitas dari sisi teknis yuridis jika menggunakan instrumen UU Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia yang mendasarkan pada ketentuan pasal 23 poin d yang menyebutkan bahwa WNI kehilangan kewarganegaraannya jika yang bersangkutan “masuk dalam dinas tentara asing tanpa izin terlebih dahulu dari presiden”.
Sementara, poin F yang menyebutkan bahwa “Secara sukarela mengangkat sumpah atau menyatakan janji setia kepada negara asing atau bagian dari negara asing tersebut”.
"Ini tentu membutuhkan kajian dan pendalaman dari segi teori, doktrin, serta kaidah hukum internasional sepanjang berkaitan dengan eksistensi dan kedudukan ISIS sebagai subjek hukum internasional," katanya.
Secara normatif macam subjek hukum internasional terdiri dari a. Negara berdaulat; b. Gabungan negara negara; c. Tahta suci vatikan; d. Orgainsasi internasional,baik yang bilateral,regional maupun multilateral; e. Palang merah internasional; f. Individu yang mempunyai kriteria tertentu; g. Pemberontak (Belligerent) atau pihak yang bersengketa; h. Penjahat perang (Genocide).
Dengan demikiam subjek hukum internasional terdapat kelompok pemberontak, disebutkan Fahri, itupun terbagi kedalam dua kategori, yaitu “Insurgent” dan Belligerent” dan ISIS termasuk dalam kelompok Belligerent.
Namun, lanjut Fahri, menjadi sulit secara hukum jika eks-ISIS itu dikualifisir sebagai warganegara yang telah secara sukarela mengangkat sumpah/janji setia kepada negara asing/bagian dari negara asing tersebut sebagaimana diatur dalam kaidah ketentuan pasal 23 point f UU No.12/2006.
"Karena secara konseptual maupun hukum internasional ISIS tidak dapat dikategorikam sebagai negara, karena tidak memenuhi unsur-unsur negara, sehingga ISIS merupakan subjek hukum bukan negara (non-state entities).
Hal ini harus dimatangkan dan perlu dikaji secara mendalam dan hati hati, agar ketika membangun konstruksi hukum sekaitan dengan larangan mereka untuk masuk kembali ke indonesia tetap sejalan dengan argumentasi yang berbasis legal-konstitusional, dan tidak melawan hukum, kata Fahri Bacmid.
Dia menjelaskan bahwa berdasarkan Konvensi Montevideo Tahun 1933 Tentang Hak dan Kewajiban Negara yang ditandatangani pada 26 Desember 1933, yang mengkodifikasi teori deklaratif kenegaraan disebutkan syarat hukum berdirinya sebuah negara yang harus dipenuhi secara mutlak, yaitu: a. Memiliki rakyat; b. Wilayah; c. Pemerintahan; d. Kemampuan berhubungan dengan negara lain; e. Pengakuan kedaulatan dari negara lain
"Berdasarkan hal tersebut maka secara faktual ISIS tidak mempunyai hubungan diplomatik dengan negara lain apalagi mendapat pengakuan kedaulatan dari negara lain, sehingga secara hipotetis disimpulkan bahwa ISIS adalah sebuah negara menjadi gugur," kata Fahri Bachmid.
Dia mengatakan WNI eks-ISIS ini secara hukum telah “stateless” (tanpa kewarganegaraan). Jika suatu waktu atas dasar hak konstitusional dan kemanusiaan Pemerintah Indonesia memutuskan untuk mereka dipulangkan ke tanah air, menurut dia, beberapa instrumen dan payung hukum yang berkaitan dengan Pelaksanaan UU RI No. 12/2006 Tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia perlu disiapkan untuk mengatur tentang proses identifikasi.
Misalnya, identifikasi mana WNI yang menjadi pelaku aktif (kombatan), mana yang sekedar korban, mana yang levelnya “verry dengerous” karena sangat radikal dan ekstrim sampai pada level yang resikonya sangat kecil? proses assesment, deradikalisasi pengaturan "leading sector"-nya, apakah dibawah tanggung jawab BNPT atau siapa.
"Yang paling penting adalah tingkat penerimaan masyarakat setempat,yang tentunya melibatkan Pemerintah daerah karena mengatur tentang tanggung jawab dan sebagainya,
"Hal hal ini yang harus dikaji secara cermat dan komprehensif oleh pemerintah," jelasnya.
Setelah semua proses itu dilalui baru selanjutnya mereka diwajibkan untuk menjalani proses administrasi Pewarganegaraan sebagaimana diatur dalam ketentuan pasal 8 sampai dengan pasal 16 UU No. 12/2006 yang mana pasal 16 mengatur tentang Sumpah atau Pernyataan Janji Setia kepada Negara Republik Indonesia.