Jakarta (ANTARA) - Pusat Pelaporan Analisis dan Transaksi Keuangan (PPATK) menargetkan revisi peraturan terkait teknologi finansial (fintech) wajib lapor akan selesai tahun 2020 untuk memitigasi risiko penyalahgunaan teknologi itu dalam Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU).
"Dia (fintech) punya kewajiban sebagai pihak pelapor sama dengan penyedia jasa keuangan lainnya," kata Kepala PPATK Kiagus Ahmad Badaruddin dalam refleksi akhir tahun di Jakarta, Jumat.
Menurut dia, fintech yang berpotensi disalahgunakan itu yakni layanan pinjam meminjam dalam jaringan dan layanan urun dana melalui penawaran saham (equity crowd funding).
Selain berkewajiban melaporkan keuangan kepada PPATK, fintech tersebut juga diminta menerapkan prinsip mengenali pengguna jasa.
Saat ini, aturan fintech wajib lapor kepada PPATK masih belum termasuk dalam regulasi sesuai pasal 17 ayat 1 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan TPPU.
Selain itu, Peraturan Pemerintah Nomor 43 tahun 2015 tentang pihak pelapor dalam pencegahan dan pemberantasan TPPU.
Sebelumnya, PPATK melakukan pembahasan initial draf Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2015 tersebut.
PPATK melibatkan Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Kementerian Koperasi dan UKM, Kementerian Perdagangan, dan asosiasi penyelenggara fintech.
Pihaknya, lanjut dia, juga mengajukan permohonan izin prakarsa atas penyusunan rancangan peraturan pemerintah kepada Sekretariat Negara.
"Apa yang dikenakan terhadap pihak pelapor lainnya seperti perbankan, maka Fintech dan pihak penyelenggara kripto berkewajiban patuh menyampaikan laporan," katanya.
OJK mencatat sampai 30 September 2019 total jumlah penyelenggara fintech terdaftar dan berizin adalah sebanyak 127 perusahaan.
Sedangkan aset kripto diatur dalam Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 99 tahun 2018 tentang Kebijakan Umum Penyelenggaraan Perdagangan Berjangka Aset Kripto. Dalam peraturan itu, aset kripto ditetapkan sebagai komoditi yang dapat dijadikan subyek kontrak berjangka yang diperdagangkan di bursa berjangka.
"Dia (fintech) punya kewajiban sebagai pihak pelapor sama dengan penyedia jasa keuangan lainnya," kata Kepala PPATK Kiagus Ahmad Badaruddin dalam refleksi akhir tahun di Jakarta, Jumat.
Menurut dia, fintech yang berpotensi disalahgunakan itu yakni layanan pinjam meminjam dalam jaringan dan layanan urun dana melalui penawaran saham (equity crowd funding).
Selain berkewajiban melaporkan keuangan kepada PPATK, fintech tersebut juga diminta menerapkan prinsip mengenali pengguna jasa.
Saat ini, aturan fintech wajib lapor kepada PPATK masih belum termasuk dalam regulasi sesuai pasal 17 ayat 1 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan TPPU.
Selain itu, Peraturan Pemerintah Nomor 43 tahun 2015 tentang pihak pelapor dalam pencegahan dan pemberantasan TPPU.
Sebelumnya, PPATK melakukan pembahasan initial draf Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2015 tersebut.
PPATK melibatkan Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Kementerian Koperasi dan UKM, Kementerian Perdagangan, dan asosiasi penyelenggara fintech.
Pihaknya, lanjut dia, juga mengajukan permohonan izin prakarsa atas penyusunan rancangan peraturan pemerintah kepada Sekretariat Negara.
"Apa yang dikenakan terhadap pihak pelapor lainnya seperti perbankan, maka Fintech dan pihak penyelenggara kripto berkewajiban patuh menyampaikan laporan," katanya.
OJK mencatat sampai 30 September 2019 total jumlah penyelenggara fintech terdaftar dan berizin adalah sebanyak 127 perusahaan.
Sedangkan aset kripto diatur dalam Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 99 tahun 2018 tentang Kebijakan Umum Penyelenggaraan Perdagangan Berjangka Aset Kripto. Dalam peraturan itu, aset kripto ditetapkan sebagai komoditi yang dapat dijadikan subyek kontrak berjangka yang diperdagangkan di bursa berjangka.