Jakarta (ANTARA) - Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional(PPN)/Kepala Bappenas Suharso Monoarfa menyebutkan pemindahan ibu kota negara Indonesia dari Jakarta ke Kalimantan Timur bukan merupakan perkara sepele.
“Ini bukan proyek. Orang kadang bilangnya itu This is a big project and a lot of opportunity, tapi saya kira enggak begitu,” katanya dalam acara Lokakarya Penerapan Omnibus Law dalam Pelaksanaan Kebijakan Pemindahan Ibu Kota Negara di Jakarta, Jumat.
Suharso menuturkan bahwa ada yang lebih penting dari sekedar pandangan orang tentang besarnya proyek dan kesempatan bisnis, yaitu sejarah terbentuknya DKI Jakarta yang saat ini telah berusia 492 tahun.
“Semua itu ikutannya (proyek dan kesempatan bisnis), tetapi yang terpenting adalah kita memindahkan ibu kota negara yang tentu akan kita kenang 100 hingga 400 tahun yang akan datang,” ujar Suharso Monoarfa.
Ia melanjutkan pemindahan ibu kota negara juga tidak hanya sekedar memindahkan status ibu kota dari Jakarta ke Kalimantan Timur, melainkan juga memindahkan lembaga legislatif yaitu Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD).
“DPR RI juga pindah jadi gedung itu yang indah sekali, gedung kura-kura salah satu arsitek Indonesia yang hebat dan diakui dunia,” ujar Suharso Monoarfa.
Menurutnya, gedung-gedung yang megah dan indah di Jakarta menjadi tantangan tersendiri bagi pemerintah untuk bisa membangun hal serupa, bahkan lebih baik di wilayah ibu kota negara yang baru.
“Jadi tantangannya kalau kita mau bangun kembali gedung itu harus jauh lebih baik dan lebih cantik lagi. Kan itu tantangannya,” ujar Suharso Monoarfa.
Sementara itu Suharso mengatakan bahwa langkah pertama yang harus dilakukan oleh pemerintah dalam melakukan pemindahan ibu kota negara adalah dengan memastikan kedudukan legal untuk ibu kota negara sehingga jelas.
Hal tersebut dapat dilakukan dengan mengubah Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1956 tentang Pembentukan Daerah-Daerah Otonom Provinsi Kalimantan Barat Kalimatan, Selatan, dan Kalimantan Timur karena menyangkut batas-batas wilayah.
“Modal pertama yang harus kita pastikan adalah kedudukan legalnya. Saya bukan ahli hukum tapi sekali-sekali ngerjain UU biar enggak dikerjain UU,” kata Suharso Monoarfa.
Setelah itu pemerintah perlu membentuk undang-undang tentang pembentukan tata negara di Kutai Kartanegara dan Penajem Paser Utara serta merevisi UU lain seperti terkait Aparatur Sipil Negara (ASN) serta UU Pemerintahan DKI Jakarta.
“Jadi banyak sekali UU yang harus diubah atau setidaknya disinkronisasikan jadi satu UU ibu kota negara. Kita itu sekali jalan memperbaiki berbagai UU,” ujarnya.
Ia pun mengatakan pihaknya telah merombak 43 regulasi dalam rangka menyiapkan landasan hukum bagi pembangunan ibu kota negara melalui metode Omnibus Law, sehingga diharapkan mampu memperlancar proses pemindahan ibu kota yang akan dimulai pada 2024.
“Presiden mengingatkan kita bahwa 2024 harus sudah dilakukan pemindahan inti pemerintahan sehingga landasan hukumnya harus dilakukan salah satu dilakukannya Omnibus Law," ujar Suharso Monoarfa.
“Ini bukan proyek. Orang kadang bilangnya itu This is a big project and a lot of opportunity, tapi saya kira enggak begitu,” katanya dalam acara Lokakarya Penerapan Omnibus Law dalam Pelaksanaan Kebijakan Pemindahan Ibu Kota Negara di Jakarta, Jumat.
Suharso menuturkan bahwa ada yang lebih penting dari sekedar pandangan orang tentang besarnya proyek dan kesempatan bisnis, yaitu sejarah terbentuknya DKI Jakarta yang saat ini telah berusia 492 tahun.
“Semua itu ikutannya (proyek dan kesempatan bisnis), tetapi yang terpenting adalah kita memindahkan ibu kota negara yang tentu akan kita kenang 100 hingga 400 tahun yang akan datang,” ujar Suharso Monoarfa.
Ia melanjutkan pemindahan ibu kota negara juga tidak hanya sekedar memindahkan status ibu kota dari Jakarta ke Kalimantan Timur, melainkan juga memindahkan lembaga legislatif yaitu Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD).
“DPR RI juga pindah jadi gedung itu yang indah sekali, gedung kura-kura salah satu arsitek Indonesia yang hebat dan diakui dunia,” ujar Suharso Monoarfa.
Menurutnya, gedung-gedung yang megah dan indah di Jakarta menjadi tantangan tersendiri bagi pemerintah untuk bisa membangun hal serupa, bahkan lebih baik di wilayah ibu kota negara yang baru.
“Jadi tantangannya kalau kita mau bangun kembali gedung itu harus jauh lebih baik dan lebih cantik lagi. Kan itu tantangannya,” ujar Suharso Monoarfa.
Sementara itu Suharso mengatakan bahwa langkah pertama yang harus dilakukan oleh pemerintah dalam melakukan pemindahan ibu kota negara adalah dengan memastikan kedudukan legal untuk ibu kota negara sehingga jelas.
Hal tersebut dapat dilakukan dengan mengubah Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1956 tentang Pembentukan Daerah-Daerah Otonom Provinsi Kalimantan Barat Kalimatan, Selatan, dan Kalimantan Timur karena menyangkut batas-batas wilayah.
“Modal pertama yang harus kita pastikan adalah kedudukan legalnya. Saya bukan ahli hukum tapi sekali-sekali ngerjain UU biar enggak dikerjain UU,” kata Suharso Monoarfa.
Setelah itu pemerintah perlu membentuk undang-undang tentang pembentukan tata negara di Kutai Kartanegara dan Penajem Paser Utara serta merevisi UU lain seperti terkait Aparatur Sipil Negara (ASN) serta UU Pemerintahan DKI Jakarta.
“Jadi banyak sekali UU yang harus diubah atau setidaknya disinkronisasikan jadi satu UU ibu kota negara. Kita itu sekali jalan memperbaiki berbagai UU,” ujarnya.
Ia pun mengatakan pihaknya telah merombak 43 regulasi dalam rangka menyiapkan landasan hukum bagi pembangunan ibu kota negara melalui metode Omnibus Law, sehingga diharapkan mampu memperlancar proses pemindahan ibu kota yang akan dimulai pada 2024.
“Presiden mengingatkan kita bahwa 2024 harus sudah dilakukan pemindahan inti pemerintahan sehingga landasan hukumnya harus dilakukan salah satu dilakukannya Omnibus Law," ujar Suharso Monoarfa.