Bangkok (ANTARA) - Jumlah wisatawan mancanegara MICE (Meeting, Incentive, Convention & Exhibition) yang berkunjung ke Indonesia masih sangat kecil, sehingga perlu dukungan semua pemangku kepentingan agar bisa meningkat jauh lebih besar lagi.
Wakil Ketua Tim Percepatan Pengembangan Wisata MICE, Wisnu Budi Sulaeman di Bangkok, Rabu mengatakan, di Kemenpar belum ada divisi khusus yang menangani bidang MICE ini.
"Harusnya ada bidang khusus yang menangani wisata MICE ini dalam satu payung," kata Wisnu Budi Sulaeman.
Menurut dia, masih kecilnya persentase wisman MICE (di bawah 3 persen) dibandingkan wisman plesiran lantaran masih minimnya dukungan dari pemangku kepentingan baik dari pemerintah pusat, pemerintah daerah maupun para pemodal besar yang berani masuk ke bidang MICE.
Saat ini, kata dia, Kemenpar dalam memasarkan wisata MICE masih terpencar-pencar sehingga kurang efektif.
Dia mengaku sudah bertemu dengan Bappenas, dan Bappenas menyatakan akan mendorong wisata MICE, dan akan diberikan dana lebih. "Tapi dengan syarat Kemenpar harus membentuk divisi khusus MICE dan minimal dipimpin oleh eselon dua," kata Wisnu Budi Sulaeman..
Selain itu dukungan pemerintah daerah juga masih kurang terutama dari segi.pemahaman wisata MICE maupun dukungan fasilitas kotanya.
Ia berpendapat bahwa saat ini hanya ada tujuh kota yang lumayan siap melaksanakan wisata MICE karena dukungan aksesibilitas (penerbangan langsung keluar negeri) maupun dukungan fasilitas kotanya.
Ke tujuh kota itu antara lain di Jakarta, Medan, Bandung, Surabaya, Makassar, Bali dan Jogya. "Ini aset Indonesia untuk wisata MICE," kata Wisnu.
Wisnu juga mengakui bahwa kesiapan SDM untuk menopang dan mendorong wisata MICE masih kurang. Dia menambahkan penghasilan devisa dari wisata MICE ini besarnya sekitar 3 sampai 7 kali lipat dibandingkan wisata plesiran atau leisure.
Dia mencontohkan ketika gelaran IMF dan Bank Dunia di Bali tahun lalu, Indonesia mendapat devisa yang lumayan besar. "Pemerintah hanya butuh Rp900 miliar untuk mendanai kegiatan internasional tersebut, tapi penghasilan devisa yang diperoleh sebesar Rp3 triliun," katanya.
Untuk itu, ujar dia, ke depannya harus ada perubahan mindset atau paradigma dari para pemangku kepentingan, tidak lagi hanya terpaku kepada wisatawan biasa.
Demikian juga dengan tupoksi pelayanan wisatanya, lanjutnya, harus berubah dan mengakomodir wisata MICE yang pengeluaran wisatanya sangat besar.
Wakil Ketua Tim Percepatan Pengembangan Wisata MICE, Wisnu Budi Sulaeman di Bangkok, Rabu mengatakan, di Kemenpar belum ada divisi khusus yang menangani bidang MICE ini.
"Harusnya ada bidang khusus yang menangani wisata MICE ini dalam satu payung," kata Wisnu Budi Sulaeman.
Menurut dia, masih kecilnya persentase wisman MICE (di bawah 3 persen) dibandingkan wisman plesiran lantaran masih minimnya dukungan dari pemangku kepentingan baik dari pemerintah pusat, pemerintah daerah maupun para pemodal besar yang berani masuk ke bidang MICE.
Saat ini, kata dia, Kemenpar dalam memasarkan wisata MICE masih terpencar-pencar sehingga kurang efektif.
Dia mengaku sudah bertemu dengan Bappenas, dan Bappenas menyatakan akan mendorong wisata MICE, dan akan diberikan dana lebih. "Tapi dengan syarat Kemenpar harus membentuk divisi khusus MICE dan minimal dipimpin oleh eselon dua," kata Wisnu Budi Sulaeman..
Selain itu dukungan pemerintah daerah juga masih kurang terutama dari segi.pemahaman wisata MICE maupun dukungan fasilitas kotanya.
Ia berpendapat bahwa saat ini hanya ada tujuh kota yang lumayan siap melaksanakan wisata MICE karena dukungan aksesibilitas (penerbangan langsung keluar negeri) maupun dukungan fasilitas kotanya.
Ke tujuh kota itu antara lain di Jakarta, Medan, Bandung, Surabaya, Makassar, Bali dan Jogya. "Ini aset Indonesia untuk wisata MICE," kata Wisnu.
Wisnu juga mengakui bahwa kesiapan SDM untuk menopang dan mendorong wisata MICE masih kurang. Dia menambahkan penghasilan devisa dari wisata MICE ini besarnya sekitar 3 sampai 7 kali lipat dibandingkan wisata plesiran atau leisure.
Dia mencontohkan ketika gelaran IMF dan Bank Dunia di Bali tahun lalu, Indonesia mendapat devisa yang lumayan besar. "Pemerintah hanya butuh Rp900 miliar untuk mendanai kegiatan internasional tersebut, tapi penghasilan devisa yang diperoleh sebesar Rp3 triliun," katanya.
Untuk itu, ujar dia, ke depannya harus ada perubahan mindset atau paradigma dari para pemangku kepentingan, tidak lagi hanya terpaku kepada wisatawan biasa.
Demikian juga dengan tupoksi pelayanan wisatanya, lanjutnya, harus berubah dan mengakomodir wisata MICE yang pengeluaran wisatanya sangat besar.