Bantul (ANTARA) - Pengelola desa wisata di Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, didorong untuk bisa mengenali segmentasi pasar pariwisata yang bisa disasar guna menjaga eksistensi dan perkembangan destinasi di perdesaan itu.
"Kuncinya memang di SDM (sumber daya manusia) pengelola, karena orang membuat (desa wisata) itu harus mengetahui pasar dan bisa berkomunikasi dengan pasar," kata Ketua Koperasi Noto Wono Mangunan, koperasi yang mewadahi desa-desa wisata Mangunan Bantul, Purwo Harsono di Bantul, Minggu.
Menurut dia, SDM pengelola yang menguasai segmen pasar wisata penting sebagai strategi mempertahankan eksistensi desa wisata atau mengantisipasi penurunan tingkat kunjungan akibat merasa bosan karena potensi yang dijual tidak sesuai dengan keinginan wisatawan atau kurang bervariasi.
"Terkadang ketika membuat (desa wisata) dan tidak melihat bagaimana segmen pasar itu (desa wisata) menjadi tidak laku karena bosen, makanya perlu memahami segmen pasar itu sendiri dan bagaimana memenuhi harapan wisatawan," katanya.
Di Mangunan ini misalnya untuk 'home stay' dibuat dua arah, ada yang berkamar, ada komunal. Kalau komunal segmen pasar jelas mahasiswa kemudian organisasi sosial kemasyarakatan untuk pertemuan dan sebagainya, jadi multi fungsi," katanya.
Ipung sapaan akrabnya ini menyebutkan di Mangunan ada enam desa wisata, yaitu Desa Wisata Kaki Langit Mangunan, Desa Wisata Songgolangit Sukarame, Desa Wisata Napak Tilas Sultan Agung Cempluk, Desa Wisata Gua Gajah di Lemah Abang, Desa Wisata Kediwung dan Desa Wisata Kera Ekor Panjang di Kanigoro.
"Selama ini yang memang saya kelola langsung saya buat konsep di Desa Wisata Kaki Langit itu kalau menurut saya masih sehat-sehat saja, tamunya juga masih ada terus, kemudian aktivitas lain seperti Jetama (Jep Wisata Mangunan) juga jalan, kuliner tiap Sabtu-Minggu jalan," katanya.
Dia mengatakan, desa-desa wisata di Mangunan yang menjual potensi alam berupa lereng perbukitan dan hutan pinus tersebut mulai dikembangkan sejak Januari 2015 dan terus berkembang baik dari wisatawan maupun pertumbuhan perekonomian masyarakat dari kegiatan wisata itu.
"Saya buat pada Januari 2015 dan kemudian saya memulai register (mendaftar) ke kabupaten setelah ada SK (Surat Keputusan) Lurah. Kalau mulai ramai dan menggeliat itu pada 2016, tapi kelihatan nyata aktivitas itu mulai 2017," katanya.
"Kuncinya memang di SDM (sumber daya manusia) pengelola, karena orang membuat (desa wisata) itu harus mengetahui pasar dan bisa berkomunikasi dengan pasar," kata Ketua Koperasi Noto Wono Mangunan, koperasi yang mewadahi desa-desa wisata Mangunan Bantul, Purwo Harsono di Bantul, Minggu.
Menurut dia, SDM pengelola yang menguasai segmen pasar wisata penting sebagai strategi mempertahankan eksistensi desa wisata atau mengantisipasi penurunan tingkat kunjungan akibat merasa bosan karena potensi yang dijual tidak sesuai dengan keinginan wisatawan atau kurang bervariasi.
"Terkadang ketika membuat (desa wisata) dan tidak melihat bagaimana segmen pasar itu (desa wisata) menjadi tidak laku karena bosen, makanya perlu memahami segmen pasar itu sendiri dan bagaimana memenuhi harapan wisatawan," katanya.
Di Mangunan ini misalnya untuk 'home stay' dibuat dua arah, ada yang berkamar, ada komunal. Kalau komunal segmen pasar jelas mahasiswa kemudian organisasi sosial kemasyarakatan untuk pertemuan dan sebagainya, jadi multi fungsi," katanya.
Ipung sapaan akrabnya ini menyebutkan di Mangunan ada enam desa wisata, yaitu Desa Wisata Kaki Langit Mangunan, Desa Wisata Songgolangit Sukarame, Desa Wisata Napak Tilas Sultan Agung Cempluk, Desa Wisata Gua Gajah di Lemah Abang, Desa Wisata Kediwung dan Desa Wisata Kera Ekor Panjang di Kanigoro.
"Selama ini yang memang saya kelola langsung saya buat konsep di Desa Wisata Kaki Langit itu kalau menurut saya masih sehat-sehat saja, tamunya juga masih ada terus, kemudian aktivitas lain seperti Jetama (Jep Wisata Mangunan) juga jalan, kuliner tiap Sabtu-Minggu jalan," katanya.
Dia mengatakan, desa-desa wisata di Mangunan yang menjual potensi alam berupa lereng perbukitan dan hutan pinus tersebut mulai dikembangkan sejak Januari 2015 dan terus berkembang baik dari wisatawan maupun pertumbuhan perekonomian masyarakat dari kegiatan wisata itu.
"Saya buat pada Januari 2015 dan kemudian saya memulai register (mendaftar) ke kabupaten setelah ada SK (Surat Keputusan) Lurah. Kalau mulai ramai dan menggeliat itu pada 2016, tapi kelihatan nyata aktivitas itu mulai 2017," katanya.