Mekkah (ANTARA) - Bagi sebagian besar jamaah Indonesia, Hajar Aswad masihlah ibarat bintang dalam rangkaian ibadah haji.
Meski menciumnya adalah sunnah, namun kebanggaan tersendiri bisa dibawa jamaah pulang tatkala berhasil menyimpan kisah menyentuh bahkan mencium batu hitam tersebut.
Jamak di kalangan masyarakat Tanah Air, saat pulang berhaji justru yang ditanyakan adalah sudahkah mencium Hajar Aswad dan bukan kebanggaan pada rukun dan wajib hajinya.
Maka, batas mencium batu yang terletak di salah satu sudut Kakbah itu kadang menjadi melampaui sesuatu yang tak seharusnya.
Jamaah asal Jakarta, Dharmono, misalnya, sesaat setelah usai melakukan umrah wajib mengabarkan kebanggaannya bisa melakukan sunnah mencium Hajar Aswad.
Tak berbeda dengannya, banyak jamaah lain memiliki tujuan serupa bahkan dua calon haji Indonesia terluka pada Senin, 22 Juli 2019 karena berusaha melakukannya.
Seorang ibu, anggota jamaah dari Palembang, kehilangan uang hingga puluhan juta lantaran ingin mencium Hajar Aswad dengan cara membayar jasa penolong di lingkungan Masjidil Haram.
Fakta ini menjadi fenomena yang memprihatinkan manakala ibadah sunnah justru dikejar sebegitu rupa namun ibadah wajib dan rukun kehilangan esensi.
Haji adalah wukuf, maka kesehatan dan keamanan untuk pelaksanaannya lebih besar manfaatnya ketimbang mengejar sunnah, namun penuh dengan kemudharatan.
Terluka
Kepala Daerah Kerja Mekkah PPIH 2019 Subhan Cholid semakin prihatin tatkala memperoleh laporan beberapa anggota jamaah haji yang terluka ketika berusaha mencium batu berwarna hitam itu.
Dia mengimbau jamaah untuk tidak memaksakan diri mencium Hajar Aswad. “Saat melaksanakan ibadah, perhatikan juga keamanan diri. Ukur kemampuan fisik, jangan sampai karena ingin mengejar sunnahnya, malah menjadi mudharat,” kata Subhan Cholid.
Konsultan ibadah Daerah Kerja (Daker) Mekkah KH Ahmad Wazir menyebutkan bahwa mencium Hajar Aswad bisa menjadi haram hukumnya jika tidak mempertimbangkan aspek-aspek mudharat, kesehatan, dan keamanannya.
Ahmad Wazir yang juga pengelola Pondok Pesantren Denanyar Jombang Jawa Timur itu mengisahkan pada zaman Nabi, boleh jadi populasi penduduk masih sedikit sehingga tidak ada kesulitan untuk mencium batu Hajar Aswad.
Namun, dalam konteks sekarang, hal itu menjadi sulit karena semua orang berlomba ingin mendekat dan mencium Hajar Aswad.
Menurut dia, tentu di satu sisi mengejar sunnah ada sisi baiknya, tapi di sisi lain harus mempertimbangkan aspek-aspek mudharat, mempertimbangkan aspek kesehatan, dan keamanan.
Ia menekankan dalam Islam juga menjaga kesehatan, keamanan, sangat dikedepankan sehingga intinya, kalau sampai mengejar sunnah, mencium Hajar Aswad dengan cara-cara tidak terpuji menjadi haram hukumnya.
Namun, ia kembali menekankan bahwa ada solusi, kalau yang dikejar afdholiah atau keutamaan, toh masih ada tempat-tempat yang bisa dikunjungi dan dilakukan ibadah di dalamnya yang juga masih utama.
“Dalam kondisi tidak memungkinkan sampai ke hajar aswad karena ramai dan padat (crowded), dan lain sebagainya cukup melambaikan tangan dan dicium, itu juga tidak mengurangi pahalanya,” katanya.
Hukum bagi perempuan
Di sisi lain, jamaah perempuan yang memaksakan diri berdesakan dengan laki-laki untuk mencium Hajar Aswad, disebut oleh Konsultan Ibadah Daerah Kerja Mekkah KH DR Ahmad Kartono sebagai tindakan yang justru haram dilakukan.
Oleh karena itu, ia menyarankan kepada jamaah perempuan untuk melihat situasi dan kondisi jika ingin menjalankan sunnah mencium batu tersebut.
Menurut dia, lebih utama mengerjakan sesuatu yang menjadi wajib dan rukun dalam berhaji ketimbang mengejar yang sunnah namun mendapatkan lebih banyak mudharatnya.
“Jika ada keinginan untuk mencium Hajar Aswad adalah harus lihat situasi dan jaga kesehatan diri sendiri adalah wajib daripada kita jatuh dalam kebinasaan,” katanya.
Di sisi lain ada pula orang yang rela membayar jasa orang lain untuk bisa membantu mencium Hajar Aswad dan jasa tersebut memang banyak ditawarkan oleh oknum-oknum di Masjidil Haram.
Kartono menyebut hal itu sebagai pelanggaran karena tidak ada ketentuan dan adabnya dalam Islam.
“Ini pelanggaran seseorang yang menjajakan jasanya untuk mencari orang yang ingin mencium Hajar Aswad kemudian harus bayar, tidak ada ketentuan tentang itu bahwa adab dan tata kramanya tidak ada, orang dalam situasi semestinya sedang khusyuk beribadah tapi dipengaruhi dengan cara-cara lain malah membayar, ini suatu pelanggaran dalam pelaksanaan ibadah,” katanya.
Hajar Aswad hanya satu dari sekian banyak amaliah sunnah, seyogyanya tidak menjadi batas dan ukuran kebanggaan dalam beribadah haji.
Hajar Aswad, menurut Wikipedia, merupakan sebuah Nabi Ibrahim.
Dahulu kala batu ini memiliki sinar yang terang dan dapat menerangi seluruh jazirah Arab. Namun, semakin lama sinarnya semakin meredup dan hingga akhirnya sekarang berwarna hitam.
Batu ini memiliki aroma yang unik dan ini merupakan aroma tawaf.*
Meski menciumnya adalah sunnah, namun kebanggaan tersendiri bisa dibawa jamaah pulang tatkala berhasil menyimpan kisah menyentuh bahkan mencium batu hitam tersebut.
Jamak di kalangan masyarakat Tanah Air, saat pulang berhaji justru yang ditanyakan adalah sudahkah mencium Hajar Aswad dan bukan kebanggaan pada rukun dan wajib hajinya.
Maka, batas mencium batu yang terletak di salah satu sudut Kakbah itu kadang menjadi melampaui sesuatu yang tak seharusnya.
Jamaah asal Jakarta, Dharmono, misalnya, sesaat setelah usai melakukan umrah wajib mengabarkan kebanggaannya bisa melakukan sunnah mencium Hajar Aswad.
Tak berbeda dengannya, banyak jamaah lain memiliki tujuan serupa bahkan dua calon haji Indonesia terluka pada Senin, 22 Juli 2019 karena berusaha melakukannya.
Seorang ibu, anggota jamaah dari Palembang, kehilangan uang hingga puluhan juta lantaran ingin mencium Hajar Aswad dengan cara membayar jasa penolong di lingkungan Masjidil Haram.
Fakta ini menjadi fenomena yang memprihatinkan manakala ibadah sunnah justru dikejar sebegitu rupa namun ibadah wajib dan rukun kehilangan esensi.
Haji adalah wukuf, maka kesehatan dan keamanan untuk pelaksanaannya lebih besar manfaatnya ketimbang mengejar sunnah, namun penuh dengan kemudharatan.
Terluka
Kepala Daerah Kerja Mekkah PPIH 2019 Subhan Cholid semakin prihatin tatkala memperoleh laporan beberapa anggota jamaah haji yang terluka ketika berusaha mencium batu berwarna hitam itu.
Dia mengimbau jamaah untuk tidak memaksakan diri mencium Hajar Aswad. “Saat melaksanakan ibadah, perhatikan juga keamanan diri. Ukur kemampuan fisik, jangan sampai karena ingin mengejar sunnahnya, malah menjadi mudharat,” kata Subhan Cholid.
Konsultan ibadah Daerah Kerja (Daker) Mekkah KH Ahmad Wazir menyebutkan bahwa mencium Hajar Aswad bisa menjadi haram hukumnya jika tidak mempertimbangkan aspek-aspek mudharat, kesehatan, dan keamanannya.
Ahmad Wazir yang juga pengelola Pondok Pesantren Denanyar Jombang Jawa Timur itu mengisahkan pada zaman Nabi, boleh jadi populasi penduduk masih sedikit sehingga tidak ada kesulitan untuk mencium batu Hajar Aswad.
Namun, dalam konteks sekarang, hal itu menjadi sulit karena semua orang berlomba ingin mendekat dan mencium Hajar Aswad.
Menurut dia, tentu di satu sisi mengejar sunnah ada sisi baiknya, tapi di sisi lain harus mempertimbangkan aspek-aspek mudharat, mempertimbangkan aspek kesehatan, dan keamanan.
Ia menekankan dalam Islam juga menjaga kesehatan, keamanan, sangat dikedepankan sehingga intinya, kalau sampai mengejar sunnah, mencium Hajar Aswad dengan cara-cara tidak terpuji menjadi haram hukumnya.
Namun, ia kembali menekankan bahwa ada solusi, kalau yang dikejar afdholiah atau keutamaan, toh masih ada tempat-tempat yang bisa dikunjungi dan dilakukan ibadah di dalamnya yang juga masih utama.
“Dalam kondisi tidak memungkinkan sampai ke hajar aswad karena ramai dan padat (crowded), dan lain sebagainya cukup melambaikan tangan dan dicium, itu juga tidak mengurangi pahalanya,” katanya.
Hukum bagi perempuan
Di sisi lain, jamaah perempuan yang memaksakan diri berdesakan dengan laki-laki untuk mencium Hajar Aswad, disebut oleh Konsultan Ibadah Daerah Kerja Mekkah KH DR Ahmad Kartono sebagai tindakan yang justru haram dilakukan.
Oleh karena itu, ia menyarankan kepada jamaah perempuan untuk melihat situasi dan kondisi jika ingin menjalankan sunnah mencium batu tersebut.
Menurut dia, lebih utama mengerjakan sesuatu yang menjadi wajib dan rukun dalam berhaji ketimbang mengejar yang sunnah namun mendapatkan lebih banyak mudharatnya.
“Jika ada keinginan untuk mencium Hajar Aswad adalah harus lihat situasi dan jaga kesehatan diri sendiri adalah wajib daripada kita jatuh dalam kebinasaan,” katanya.
Di sisi lain ada pula orang yang rela membayar jasa orang lain untuk bisa membantu mencium Hajar Aswad dan jasa tersebut memang banyak ditawarkan oleh oknum-oknum di Masjidil Haram.
Kartono menyebut hal itu sebagai pelanggaran karena tidak ada ketentuan dan adabnya dalam Islam.
“Ini pelanggaran seseorang yang menjajakan jasanya untuk mencari orang yang ingin mencium Hajar Aswad kemudian harus bayar, tidak ada ketentuan tentang itu bahwa adab dan tata kramanya tidak ada, orang dalam situasi semestinya sedang khusyuk beribadah tapi dipengaruhi dengan cara-cara lain malah membayar, ini suatu pelanggaran dalam pelaksanaan ibadah,” katanya.
Hajar Aswad hanya satu dari sekian banyak amaliah sunnah, seyogyanya tidak menjadi batas dan ukuran kebanggaan dalam beribadah haji.
Hajar Aswad, menurut Wikipedia, merupakan sebuah Nabi Ibrahim.
Dahulu kala batu ini memiliki sinar yang terang dan dapat menerangi seluruh jazirah Arab. Namun, semakin lama sinarnya semakin meredup dan hingga akhirnya sekarang berwarna hitam.
Batu ini memiliki aroma yang unik dan ini merupakan aroma tawaf.*