Jakarta (ANTARA) - Direktur Eksekutif Lembaga Analisa Konstitusi dan Negara Tohadi mengatakan Pemilihan Presiden 2019 yang diikuti oleh dua pasangan capres-cawapres hanya berlangsung satu putaran, sehingga peraih suara terbanyak tampil sebagai pemenang.
"Jadi, tidak benar itu informasi dalam broadcast yang beredar melalui whatsapp bahwa hasil Pilpres 17 April 2019 tidak ada yang keluar sebagai pemenang," kata Tohadi, di Jakarta, Minggu.
Memang, lanjut Tohadi, pasal 6A ayat (3) UUD 1945 mensyaratkan pemenang pilpres harus memperoleh lebih dari 50 persen dari jumlah suara dengan sedikitnya 20 persen suara di setiap provinsi yang tersebar pada lebih dari setengah jumlah provinsi.
"Tapi itu hanya berlaku jika lebih dari dua pasangan capres," kata Tohadi yang mengampu mata kuliah hukum tata negara di beberapa perguruan tinggi itu pula.
Tohadi menyebutkan pasal 6A ayat (4) UUD 1945 menyatakan, "Dalam hal tidak ada pasangan calon presiden dan wakil presiden terpilih, dua pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan umum dipilih oleh rakyat secara langsung dan pasangan yang memperoleh suara rakyat terbanyak dilantik sebagai presiden dan wakil presiden".
Menurut Tohadi, ketentuan pasal 6A ayat (3) UUD 1945 itu kemudian diadopsi dalam pasal 416 ayat (1) UU 7/2017 tentang Pemilu, sebagai landasan Pilpres 2019.
Ketentuan pasal 416 ayat (1) UU 7/2017 sama dengan ketentuan dalam UU Pemilu sebelumnya, yaitu pasal 159 ayat (1) UU 42/2008 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden.
Ketentuan pasal 159 ayat (1) UU 42/2008 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden sudah ditafsirkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) melalui Putusan MK No.: 50/PUU-XII/2014 tanggal 3 Juli 2014.
Mahkamah menafsirkan bahwa ketentuan itu harus dimaknai apabila terdapat lebih dari dua pasangan calon presiden dan wakil presiden.
"Artinya, jika hanya ada dua pasangan calon presiden dan wakil presiden, maka pasangan calon presiden dan wakil presiden yang terpilih adalah pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak," kata Tohadi menegaskan pula.
"Jadi, tidak benar itu informasi dalam broadcast yang beredar melalui whatsapp bahwa hasil Pilpres 17 April 2019 tidak ada yang keluar sebagai pemenang," kata Tohadi, di Jakarta, Minggu.
Memang, lanjut Tohadi, pasal 6A ayat (3) UUD 1945 mensyaratkan pemenang pilpres harus memperoleh lebih dari 50 persen dari jumlah suara dengan sedikitnya 20 persen suara di setiap provinsi yang tersebar pada lebih dari setengah jumlah provinsi.
"Tapi itu hanya berlaku jika lebih dari dua pasangan capres," kata Tohadi yang mengampu mata kuliah hukum tata negara di beberapa perguruan tinggi itu pula.
Tohadi menyebutkan pasal 6A ayat (4) UUD 1945 menyatakan, "Dalam hal tidak ada pasangan calon presiden dan wakil presiden terpilih, dua pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan umum dipilih oleh rakyat secara langsung dan pasangan yang memperoleh suara rakyat terbanyak dilantik sebagai presiden dan wakil presiden".
Menurut Tohadi, ketentuan pasal 6A ayat (3) UUD 1945 itu kemudian diadopsi dalam pasal 416 ayat (1) UU 7/2017 tentang Pemilu, sebagai landasan Pilpres 2019.
Ketentuan pasal 416 ayat (1) UU 7/2017 sama dengan ketentuan dalam UU Pemilu sebelumnya, yaitu pasal 159 ayat (1) UU 42/2008 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden.
Ketentuan pasal 159 ayat (1) UU 42/2008 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden sudah ditafsirkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) melalui Putusan MK No.: 50/PUU-XII/2014 tanggal 3 Juli 2014.
Mahkamah menafsirkan bahwa ketentuan itu harus dimaknai apabila terdapat lebih dari dua pasangan calon presiden dan wakil presiden.
"Artinya, jika hanya ada dua pasangan calon presiden dan wakil presiden, maka pasangan calon presiden dan wakil presiden yang terpilih adalah pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak," kata Tohadi menegaskan pula.