Rantai pasokan agroindustri adalah istilah yang dipopulerkan para ahli untuk menggambarkan aktivitas produksi hingga distribusi, membawa produk pertanian dari lahan sampai ke meja konsumen.
Di Provinsi Lampung, rantai pasokan agroindistri ini relatif masih kosong karena pelaku rantai pasokan ubi jalar baru sebatas dari petani, pedagang pengumpul, pengecer, lalu konsumen ubi jalar segar.
Ubi jalar segar oleh masyarakat diolah biasa, misalnya direbus, kukus, bakar, dan goreng, atau dibuat kolak, nogosari, getuk, dan kripik.
Belum tampak pelaku pengolahan ubi jalar lebih lanjut, terutama pengolahan menjadi pati dan tepung.
Pengolahan ubi jalar menjadi tepung dapat dilakukan melalui pabrik pengolahan yang bahan bakunya dikumpulkan dari pemasok atau pedagang pengumpul.
Produk jadi berupa pati dan tepung dipasok oleh pabrik ke beberapa distributor sehingga rantai pasokan merupakan suatu jaringan yang saling terkait, yakni pemasok-pabrik-distributor-pengecer-konsumen.
Lalu, bagaimana dengan rantai pasokan agroindustri tepung dan pati ubi jalar di Provinsi Lampung? Tantangan terbesar agroindustri tepung dan pati ubi jalar adalah manufaktur atau pabrik pengolahan.
Sejauh ini belum ditemukan pabrik pengolahan ubi jalar menjadi tepung dan pati di provinsi Lampung, bahkan di Indonesia secara umum masih sulit ditemukan.
Beberapa pabrik pengolahan ubi jalar ada di Kecamatan Dramaga dan Kecamatan Cibungbulang Kabupaten Bogor serta di Kabupaten Kuningan Jawa Barat.
Oleh karena itu, pelaku pengecer dan distributor tepung dan pati ubi jalar juga belum berkembang.
Jika mencermati perkembangan di tengah masyarakat, terdapat potensi "supplier", yaitu petani pembudi daya ubi jalar serta potensi konsumen, yakni masyarakat pengguna tepung, seperti usaha kue, roti, gorengan, dan industri lainnya.
Pemasok potensial bahan baku adalah para petani pembudi daya ubi jalar yang tersebar di kabupaten dan kota di Provinsi Lampung.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Lampung pada bulan Januari hingga Desember 2014, produksi ubi jalar Lampung Utara mencapai 8.964 ton, Lampung Tengah 5.847 ton, Lampung Timur 5.389 ton, Tanggamus 4.960 ton, Lampung Barat 4.252 ton, dan Lampung Selatan mencapai 3.843 ton.
Konsumen Tepung Tepung dan pati ubi jalar bersifat luwes untuk pengembangan produk, lebih tahan disimpan karena kandungan airnya rendah, serta penting sebagai penyedia bahan baku industri.
Produk berbasis tepung dan pati ubi jalar adalah mi, gorengan, sflake, saus, penyalut, serta bahan aneka produk kue dan roti.
Sebagai tepung pengganti, tepung ubi jalar dapat digunakan dengan porsi beragam, misalnya roti (20 persen), kue dan cake (40 sampai dengan 75 persen), cookies dan biskuit (60 s.d. 70 persen), dan flake (55 persen).
Pada produk makanan yang manis, substitusi tepung ubi jalar oranye dapat menghemat penggunaan gula.
Misalnya, kebutuhan pabrik roti seputar Bandar Lampung setara dengan 1 ton terigu maka dibutuhkan tepung ubi jalar 20 persen atau setara 200 kg.
Ini merupakan potensi pasar bagi tepung ubi jalar sebagai tepung substitusi untuk pelaku usaha dan industri makanan.
Tepung dan pati ubi jalar bermanfaat untuk pembuatan sirup glukosa, alkohol, aseton, butanol, asam sitrat, monosodium glutamat (MSG), dan sebagainya.
Tepung dan ubi jalar memiliki beberapa kelebihan yang layak dipertimbangkan, yakni pertama, mengandung senyawa antosianin dan betacarotene yang bermanfaat bagi kesehatan. Kedua, bebas gluten sehingga aman bagi penderitan alergi gluten, terutama anak yang menderita autis. Ketiga, dianjurkan bagi penderita diabetes karena bermanfaat dalam mempertahankan tingkat glukosa darah.
Pengolah Tepung Siapa yang berpotensi mengolah ubi jalar menjadi tepung dan pati selain pelaku industri besar? Pengolahan tepung dan pati ubi jalar relatif mudah dan sederhana, dapat dilakukan oleh industri kecil.
Pertama, kelompok tani pembudi daya ubi jalar sangat berpotensi menjadi pelaku pengolah tepung dan pati ubi jalar karena merekalah yang memiliki bahan baku dan lahannya.
Petani pembudi daya yang sekaligus pengolahnya menjadi tepung dan pati maka akan menerima nilai tambah produk dengan margin yang jauh lebih tinggi.
Di pasar "online" nasional harga tepung ubi jalar Rp19 ribu per kg, bahkan tepung ubi jalar ungu dapat mencapai Rp100 ribu/kg.
Kedua, teknologi pengolahan ubi jalar menjadi tepung dan pati bukanlah teknologi yang rumit. Pengolahannya, yakni pengecilan ukuran, pemisahan ampas (jika yang akan diambil patinya), dan pengeringan.
Banyak petani bahkan yang sudah familier dengan pengolahan singkong menjadi tepung dan pati sehingga dapat diterapkan pada ubi jalar.
Ketiga, berkembangnya pengolah tepung dan pati ubi jalar oleh kelompok tani dapat menjamin pasar bahan mentah.
Banyak sekali kasus hasil pertanian segar di suatu sentra produksi yang karena harganya jatuh, tidak ada kepastian penampungan, oleh petani dibiarkan busuk di ladang.
Keempat, berkembangnya pengolah tepung dan pati ubi jalar oleh kelompok tani pada akhirnya akan menciptakan industri perdesaan.
Model pembangunan perdesaan yang sangat bagus karena menyentuh sumber daya manusia petani dan lahannya, serta interaksi dengan kelembagaan informal masyarakat lokal (gapoktan).
Pelaku lainnya dari petani dan pengolah pada tata niaga ubi jalar adalah pedagang pengumpul, pedagang besar, dan pengecer.
Demikian pula, pada pemasaran yang dilalui produsen tepung dan pati untuk menyalurkan produknya diperlukan distributor, pengecer, hingga ke tingkat konsumen.
Banyaknya pelaku pemasaran bergantung pada panjang dan pendeknya pemasaran yang terlibat.
Pelaku untuk distributor dan pengecer tepung dan pati ubi jalar secara khusus belum tersedia. Hal ini tantangan rantai pasokan tepung dan pati ubi jalar.
Potensi rantai pasokan agroindustri tepung dan pati ubi jalar adalah manufacturer, terutama yang melibatkan petani dan kelembagaan informal.
Tantangan terbesar ini perlu mendapat respons pemodal, pembudi daya, pemerintah, dan lembaga masyarakat.
*) Penulis adalah Guru Besar Teknologi Hasil Pertanian, Fakultas Pertanian Universitas Lampung.
Di Provinsi Lampung, rantai pasokan agroindistri ini relatif masih kosong karena pelaku rantai pasokan ubi jalar baru sebatas dari petani, pedagang pengumpul, pengecer, lalu konsumen ubi jalar segar.
Ubi jalar segar oleh masyarakat diolah biasa, misalnya direbus, kukus, bakar, dan goreng, atau dibuat kolak, nogosari, getuk, dan kripik.
Belum tampak pelaku pengolahan ubi jalar lebih lanjut, terutama pengolahan menjadi pati dan tepung.
Pengolahan ubi jalar menjadi tepung dapat dilakukan melalui pabrik pengolahan yang bahan bakunya dikumpulkan dari pemasok atau pedagang pengumpul.
Produk jadi berupa pati dan tepung dipasok oleh pabrik ke beberapa distributor sehingga rantai pasokan merupakan suatu jaringan yang saling terkait, yakni pemasok-pabrik-distributor-pengecer-konsumen.
Lalu, bagaimana dengan rantai pasokan agroindustri tepung dan pati ubi jalar di Provinsi Lampung? Tantangan terbesar agroindustri tepung dan pati ubi jalar adalah manufaktur atau pabrik pengolahan.
Sejauh ini belum ditemukan pabrik pengolahan ubi jalar menjadi tepung dan pati di provinsi Lampung, bahkan di Indonesia secara umum masih sulit ditemukan.
Beberapa pabrik pengolahan ubi jalar ada di Kecamatan Dramaga dan Kecamatan Cibungbulang Kabupaten Bogor serta di Kabupaten Kuningan Jawa Barat.
Oleh karena itu, pelaku pengecer dan distributor tepung dan pati ubi jalar juga belum berkembang.
Jika mencermati perkembangan di tengah masyarakat, terdapat potensi "supplier", yaitu petani pembudi daya ubi jalar serta potensi konsumen, yakni masyarakat pengguna tepung, seperti usaha kue, roti, gorengan, dan industri lainnya.
Pemasok potensial bahan baku adalah para petani pembudi daya ubi jalar yang tersebar di kabupaten dan kota di Provinsi Lampung.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Lampung pada bulan Januari hingga Desember 2014, produksi ubi jalar Lampung Utara mencapai 8.964 ton, Lampung Tengah 5.847 ton, Lampung Timur 5.389 ton, Tanggamus 4.960 ton, Lampung Barat 4.252 ton, dan Lampung Selatan mencapai 3.843 ton.
Konsumen Tepung Tepung dan pati ubi jalar bersifat luwes untuk pengembangan produk, lebih tahan disimpan karena kandungan airnya rendah, serta penting sebagai penyedia bahan baku industri.
Produk berbasis tepung dan pati ubi jalar adalah mi, gorengan, sflake, saus, penyalut, serta bahan aneka produk kue dan roti.
Sebagai tepung pengganti, tepung ubi jalar dapat digunakan dengan porsi beragam, misalnya roti (20 persen), kue dan cake (40 sampai dengan 75 persen), cookies dan biskuit (60 s.d. 70 persen), dan flake (55 persen).
Pada produk makanan yang manis, substitusi tepung ubi jalar oranye dapat menghemat penggunaan gula.
Misalnya, kebutuhan pabrik roti seputar Bandar Lampung setara dengan 1 ton terigu maka dibutuhkan tepung ubi jalar 20 persen atau setara 200 kg.
Ini merupakan potensi pasar bagi tepung ubi jalar sebagai tepung substitusi untuk pelaku usaha dan industri makanan.
Tepung dan pati ubi jalar bermanfaat untuk pembuatan sirup glukosa, alkohol, aseton, butanol, asam sitrat, monosodium glutamat (MSG), dan sebagainya.
Tepung dan ubi jalar memiliki beberapa kelebihan yang layak dipertimbangkan, yakni pertama, mengandung senyawa antosianin dan betacarotene yang bermanfaat bagi kesehatan. Kedua, bebas gluten sehingga aman bagi penderitan alergi gluten, terutama anak yang menderita autis. Ketiga, dianjurkan bagi penderita diabetes karena bermanfaat dalam mempertahankan tingkat glukosa darah.
Pengolah Tepung Siapa yang berpotensi mengolah ubi jalar menjadi tepung dan pati selain pelaku industri besar? Pengolahan tepung dan pati ubi jalar relatif mudah dan sederhana, dapat dilakukan oleh industri kecil.
Pertama, kelompok tani pembudi daya ubi jalar sangat berpotensi menjadi pelaku pengolah tepung dan pati ubi jalar karena merekalah yang memiliki bahan baku dan lahannya.
Petani pembudi daya yang sekaligus pengolahnya menjadi tepung dan pati maka akan menerima nilai tambah produk dengan margin yang jauh lebih tinggi.
Di pasar "online" nasional harga tepung ubi jalar Rp19 ribu per kg, bahkan tepung ubi jalar ungu dapat mencapai Rp100 ribu/kg.
Kedua, teknologi pengolahan ubi jalar menjadi tepung dan pati bukanlah teknologi yang rumit. Pengolahannya, yakni pengecilan ukuran, pemisahan ampas (jika yang akan diambil patinya), dan pengeringan.
Banyak petani bahkan yang sudah familier dengan pengolahan singkong menjadi tepung dan pati sehingga dapat diterapkan pada ubi jalar.
Ketiga, berkembangnya pengolah tepung dan pati ubi jalar oleh kelompok tani dapat menjamin pasar bahan mentah.
Banyak sekali kasus hasil pertanian segar di suatu sentra produksi yang karena harganya jatuh, tidak ada kepastian penampungan, oleh petani dibiarkan busuk di ladang.
Keempat, berkembangnya pengolah tepung dan pati ubi jalar oleh kelompok tani pada akhirnya akan menciptakan industri perdesaan.
Model pembangunan perdesaan yang sangat bagus karena menyentuh sumber daya manusia petani dan lahannya, serta interaksi dengan kelembagaan informal masyarakat lokal (gapoktan).
Pelaku lainnya dari petani dan pengolah pada tata niaga ubi jalar adalah pedagang pengumpul, pedagang besar, dan pengecer.
Demikian pula, pada pemasaran yang dilalui produsen tepung dan pati untuk menyalurkan produknya diperlukan distributor, pengecer, hingga ke tingkat konsumen.
Banyaknya pelaku pemasaran bergantung pada panjang dan pendeknya pemasaran yang terlibat.
Pelaku untuk distributor dan pengecer tepung dan pati ubi jalar secara khusus belum tersedia. Hal ini tantangan rantai pasokan tepung dan pati ubi jalar.
Potensi rantai pasokan agroindustri tepung dan pati ubi jalar adalah manufacturer, terutama yang melibatkan petani dan kelembagaan informal.
Tantangan terbesar ini perlu mendapat respons pemodal, pembudi daya, pemerintah, dan lembaga masyarakat.
*) Penulis adalah Guru Besar Teknologi Hasil Pertanian, Fakultas Pertanian Universitas Lampung.