Bandarlampung (ANTARA Lampung) - Seperti kita ketahui bersama tanggal 23 Juli diperingati setiap tahun sebagai Hari Anak Nasional. Di Indonesia sendiri, Hari Anak Nasional diperingati setiap 23 Juli berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 1984 tanggal 19 Juli 1984. Peringatan Hari Anak Nasional (HAN) sendiri berawal dari sebuah gagasan maju yang berkeinginan untuk melihat anak-anak, sebagai aset kemajuan bangsa,yang bergembira, bermain dan ceria.
Peringatan HAN sendiri merupakan momentum untuk terus berefleksi dan mengajak seluruh komponen untuk melaksanakan kewajiban dan tanggung jawabnya sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 yaitu tentang Perlindungan Anak.Konstitusionalitas hak anak sendiri telah dijamin dalam konstitusi. UUD RI 1945 menjamin hak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
Meski demikian harus diakui bahwa UUD RI 1945 belum sepenuhnya mengakomodasi norma dan prinsip hak anak yang menjadi semangat Konvensi Hak Anak (KHA). Keempat prinsip KHA sendiri meliputi hak untuk diperlakukan sama (non-diskriminasi), hak untuk hidup, kelangsungan hidup dan perkembangan, keputusan berdasarkan kepentingan terbaik anak dan menghormati pandangan anak (partisipasi). Dua dari 4 prinsip KHA tersebut yakni prinsip kepentingan terbaik bagi anak dan prinsip menghormati pandangan anak belum terakomodasi dalam konstitusi kita.
Dewasa ini banyak tempat dan kesempatan kita masih melihat anak-anak dilibatkan dalam kampanye politik baik dalam Pemilu maupun Pilkada. Padahal menurut Undang Undang Perlindungan Anak, penyalahgunaan anak dalam kampanye Pemilu melanggar hak anak. Ada banyak pertimbangan mengapa anak dilarang dilibatkan dalam kegiatan politik, mulai dari persoalan psikologis, kenyamanan, hingga alasan terampasnya waktu anak untuk mengisi waktu luang secara berkualitas.
Tak jarang juga kita melihat anak-anak dilibatkan dalam berbagai demonstrasi yang sesungguhnya tidak terkait langsung dengan kepentingan anak itu sendiri. Hal ini tentu saja mengundang keprihatinan berbagai kalangan terutama para pemerhati dan pejuang hak-hak anak. Terlebih bila kita mengacu pada mengacu pada Undang Undang Perlindungan Anak dimana setiap anak berhak memperoleh perlindungan dan penyalahgunaan dalam kegiatan politik.
Beberapa waktu lalu kita membaca berita demonstrasi yang dilakukan sebuah lembaga di suatu kabupaten yang mendesak kepala daerahnya untuk memberikan penjelasan terkait anak yang diasuhnya. Selain membawa poster-poster bergambar anak yang dimintakan kejelasan statusnya tersebut, para pendemo bahkan mendesak untuk melakukan tes DNA terhadap anak tersebut.
Penulis memandang pelibatan anak dan isu anak dalam demonstrasi tersebut sesungguhnya tidak tepat. Benar bahwa demonstrasi merupakan hak setiap warga negara untuk menyampaikan pendapat.Bagaimanapun setiap warga negara memiliki hak untuk menyampaikan pendapat sesuai dengan koridor undang-undang. Namun, jika sampai melibatkan anak maka hal tersebut tentu saja adalah hal yang keliru.
Dari berbagai pemberitaan yang muncul penulis sendiri belum melihat relevansi maupun korelasi tuntutan demonstrasi tersebut dalam kaitannya dengan kinerja kepala daerah tersebut. Tentu akan lain halnya jika keberadaan anak tersebut menganggu kinerja kepala daerah dalam menjalankan tugas-tugasnya yang berdampak pada pelayanan publik atau pemenuhan hak-hak yang semestinya diterima oleh warga.
Penulis juga tidak melihat urgensi dan kepentingan para pendemo mendesak untuk melakukan tes DNA tersebut. Penggunaan isu anak dalam konteks ini nampaknya lebih bernuansa politis dibandingan demonstrasi warga mendesak perbaikan kinerja atau pelayanan publik lainnya yang lazim dilakukan.
Akan lebih baik jika demonstrasi yang dilakukan mendesak kepala daerah untuk memenuhi hak-hak anak secara umum di daerah yang dipimpinnya. Hal tersebut jauh lebih masuk akal karena menyangkut persoalan kewenangan, komitmen dan tanggung jawab kepala daerah dalam pemenuhan hak-hak anak ataupun hak-hak warga secara lebih luas sebagaimana diamanatkan konstitusi dan berbagai peraturan perundang-undangan.
Bagaimanapun melibatkan anak dalam persoalan politik praktis yang belum tentu dipahaminya selain tidak etis juga berdampak buruk bagi psikologis dan mental anak baik dalam waktu terbatas maupun berkelanjutan.
(Bambang Suhada, Pengajar di Universitas Muhammadiyah Metro)
Peringatan HAN sendiri merupakan momentum untuk terus berefleksi dan mengajak seluruh komponen untuk melaksanakan kewajiban dan tanggung jawabnya sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 yaitu tentang Perlindungan Anak.Konstitusionalitas hak anak sendiri telah dijamin dalam konstitusi. UUD RI 1945 menjamin hak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
Meski demikian harus diakui bahwa UUD RI 1945 belum sepenuhnya mengakomodasi norma dan prinsip hak anak yang menjadi semangat Konvensi Hak Anak (KHA). Keempat prinsip KHA sendiri meliputi hak untuk diperlakukan sama (non-diskriminasi), hak untuk hidup, kelangsungan hidup dan perkembangan, keputusan berdasarkan kepentingan terbaik anak dan menghormati pandangan anak (partisipasi). Dua dari 4 prinsip KHA tersebut yakni prinsip kepentingan terbaik bagi anak dan prinsip menghormati pandangan anak belum terakomodasi dalam konstitusi kita.
Dewasa ini banyak tempat dan kesempatan kita masih melihat anak-anak dilibatkan dalam kampanye politik baik dalam Pemilu maupun Pilkada. Padahal menurut Undang Undang Perlindungan Anak, penyalahgunaan anak dalam kampanye Pemilu melanggar hak anak. Ada banyak pertimbangan mengapa anak dilarang dilibatkan dalam kegiatan politik, mulai dari persoalan psikologis, kenyamanan, hingga alasan terampasnya waktu anak untuk mengisi waktu luang secara berkualitas.
Tak jarang juga kita melihat anak-anak dilibatkan dalam berbagai demonstrasi yang sesungguhnya tidak terkait langsung dengan kepentingan anak itu sendiri. Hal ini tentu saja mengundang keprihatinan berbagai kalangan terutama para pemerhati dan pejuang hak-hak anak. Terlebih bila kita mengacu pada mengacu pada Undang Undang Perlindungan Anak dimana setiap anak berhak memperoleh perlindungan dan penyalahgunaan dalam kegiatan politik.
Beberapa waktu lalu kita membaca berita demonstrasi yang dilakukan sebuah lembaga di suatu kabupaten yang mendesak kepala daerahnya untuk memberikan penjelasan terkait anak yang diasuhnya. Selain membawa poster-poster bergambar anak yang dimintakan kejelasan statusnya tersebut, para pendemo bahkan mendesak untuk melakukan tes DNA terhadap anak tersebut.
Penulis memandang pelibatan anak dan isu anak dalam demonstrasi tersebut sesungguhnya tidak tepat. Benar bahwa demonstrasi merupakan hak setiap warga negara untuk menyampaikan pendapat.Bagaimanapun setiap warga negara memiliki hak untuk menyampaikan pendapat sesuai dengan koridor undang-undang. Namun, jika sampai melibatkan anak maka hal tersebut tentu saja adalah hal yang keliru.
Dari berbagai pemberitaan yang muncul penulis sendiri belum melihat relevansi maupun korelasi tuntutan demonstrasi tersebut dalam kaitannya dengan kinerja kepala daerah tersebut. Tentu akan lain halnya jika keberadaan anak tersebut menganggu kinerja kepala daerah dalam menjalankan tugas-tugasnya yang berdampak pada pelayanan publik atau pemenuhan hak-hak yang semestinya diterima oleh warga.
Penulis juga tidak melihat urgensi dan kepentingan para pendemo mendesak untuk melakukan tes DNA tersebut. Penggunaan isu anak dalam konteks ini nampaknya lebih bernuansa politis dibandingan demonstrasi warga mendesak perbaikan kinerja atau pelayanan publik lainnya yang lazim dilakukan.
Akan lebih baik jika demonstrasi yang dilakukan mendesak kepala daerah untuk memenuhi hak-hak anak secara umum di daerah yang dipimpinnya. Hal tersebut jauh lebih masuk akal karena menyangkut persoalan kewenangan, komitmen dan tanggung jawab kepala daerah dalam pemenuhan hak-hak anak ataupun hak-hak warga secara lebih luas sebagaimana diamanatkan konstitusi dan berbagai peraturan perundang-undangan.
Bagaimanapun melibatkan anak dalam persoalan politik praktis yang belum tentu dipahaminya selain tidak etis juga berdampak buruk bagi psikologis dan mental anak baik dalam waktu terbatas maupun berkelanjutan.
(Bambang Suhada, Pengajar di Universitas Muhammadiyah Metro)