Lampung Timur (ANTARA Lampung) - Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia Kabupaten Lampung Timur meminta Kementerian Kelautan dan Perikanan di bawah kepemimpinan Susi Pudjiastuti memberikan solusi bagi nelayan dengan memberikan alat tangkap pengganti sebagai imbas pemberlakuan Permen No. 2 Tahun 2015 tentang pelarangan penggunaan pukat hela dan tarik.
Wakil Ketua Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) Lampung Timur Muhamad Asep, di Lampung Timur, Rabu (13/4), mengatakan pemerintah melalui Kementerian Kelautan dan Perikanan saat ini belum memberikan solusi bagi nelayan atas diterapkannya Permen KKP No. 2 Tahun 2015 tentang Larangan Penggunaan Alat Penangkapan Ikan Pukat Hela (Trawls) dan Pukat Tarik (Seine Nets) di Wilayah Pengelolaan Perikanan RI itu.
"Seharusnya pemerintah memberikan alat tangkap pengganti bagi nelayan yang terkena dampak Permen No. 2 Tahun 2015 itu, sebagai pengganti jaring trawl yang nelayan pakai selama ini," ujarnya.
Menurut dia, jika Permen No. 2/2015 itu langsung diterapkan tanpa pengganti dari pemerintah, dampaknya akan banyak nelayan yang masih belum siap jika harus berganti dengan alat tangkap yang baru karena dibutuhkan biaya yang cukup besar beralih ke alat tangkap lain tersebut.
Dia mengemukakan, pelarangan penggunaan jaring trawl tanpa memberikan penggantinya akan memberatkan nelayan dan akan mematikan langsung ekonomi keluarga nelayan tersebut.
Selama ini, menurutnya lagi, meskipun jaring trawl dilarang tapi penggunaan jaring trawl di Kabupaten Lampung Timur telah memberikan dampak ekonomi positif yang besar bagi masyarakat di sekitarnya.
Dia mencontohkan bagaimana nelayan jaring trawl memberikan lapangan pekerjaan bagi masyarakat setempat.
Menurutnya, jika satu kapal motor nelayan berisi empat anak buah kapal (ABK), dengan jumlah 145 kapal motor dapat mempekerjakan sedikitnya 580 orang pekerja.
"Pertanyaanya jika penggunaan jaring trawl itu dilarang, lantas 580 orang ini mau bekerja di mana," ujarnya.
Kemudian, lanjut dia, nelayan jaring trawl juga memberikan sumbangan ekonomi yang besar bagi pelaku ekonomi sekitarnya.
"Belum lagi bagi ekonomi masyarakat sekitar, hitungan kami sekali melaut setiap kapal nelayan ini harus mengeluarkan biaya sekitar Rp15 juta untuk memenuhi kebutuhan BBM, garam, es balok, dan biaya makan mereka, sehingga ketika nelayan melaut dua kali dalam sebulan berarti perlu biaya Rp30 juta jika dikalikan 145 kapal maka biaya yang dikeluarkan nelayan adalah Rp4,35 miliar," katanya.
Asep menyatakan, jika penggunaan pukat hela dan pukat tarik dilarang, para nelayan dan pelaku ekonomi di sekitarnya pun akan kehilangan pendapatan mereka.
"Ini juga berimbas bagi masa depan pendidikan anak-anak nelayan, belum lagi nelayan yang bermitra dengan bank dan para pembeli hasil tangkapan nelayan ini, semua akan kehilangan pendapatannya jika dilarang," katanya.
Dia berharap pemerintah melalui Kementerian Kelautan dan Perikanan dapat memberikan solusi atas pemberlakuan permen tersebut dengan memberikan alat tangkap penggantinya.
"Berharap kepada pemerintah agar bisa memberikan alat tangkap pengganti bagi nelayan agar penghasilan menjadi lebih baik dari alat tangkap nelayan yang sudah dipakai selama ini," katanya.
Wakil Ketua Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) Lampung Timur Muhamad Asep, di Lampung Timur, Rabu (13/4), mengatakan pemerintah melalui Kementerian Kelautan dan Perikanan saat ini belum memberikan solusi bagi nelayan atas diterapkannya Permen KKP No. 2 Tahun 2015 tentang Larangan Penggunaan Alat Penangkapan Ikan Pukat Hela (Trawls) dan Pukat Tarik (Seine Nets) di Wilayah Pengelolaan Perikanan RI itu.
"Seharusnya pemerintah memberikan alat tangkap pengganti bagi nelayan yang terkena dampak Permen No. 2 Tahun 2015 itu, sebagai pengganti jaring trawl yang nelayan pakai selama ini," ujarnya.
Menurut dia, jika Permen No. 2/2015 itu langsung diterapkan tanpa pengganti dari pemerintah, dampaknya akan banyak nelayan yang masih belum siap jika harus berganti dengan alat tangkap yang baru karena dibutuhkan biaya yang cukup besar beralih ke alat tangkap lain tersebut.
Dia mengemukakan, pelarangan penggunaan jaring trawl tanpa memberikan penggantinya akan memberatkan nelayan dan akan mematikan langsung ekonomi keluarga nelayan tersebut.
Selama ini, menurutnya lagi, meskipun jaring trawl dilarang tapi penggunaan jaring trawl di Kabupaten Lampung Timur telah memberikan dampak ekonomi positif yang besar bagi masyarakat di sekitarnya.
Dia mencontohkan bagaimana nelayan jaring trawl memberikan lapangan pekerjaan bagi masyarakat setempat.
Menurutnya, jika satu kapal motor nelayan berisi empat anak buah kapal (ABK), dengan jumlah 145 kapal motor dapat mempekerjakan sedikitnya 580 orang pekerja.
"Pertanyaanya jika penggunaan jaring trawl itu dilarang, lantas 580 orang ini mau bekerja di mana," ujarnya.
Kemudian, lanjut dia, nelayan jaring trawl juga memberikan sumbangan ekonomi yang besar bagi pelaku ekonomi sekitarnya.
"Belum lagi bagi ekonomi masyarakat sekitar, hitungan kami sekali melaut setiap kapal nelayan ini harus mengeluarkan biaya sekitar Rp15 juta untuk memenuhi kebutuhan BBM, garam, es balok, dan biaya makan mereka, sehingga ketika nelayan melaut dua kali dalam sebulan berarti perlu biaya Rp30 juta jika dikalikan 145 kapal maka biaya yang dikeluarkan nelayan adalah Rp4,35 miliar," katanya.
Asep menyatakan, jika penggunaan pukat hela dan pukat tarik dilarang, para nelayan dan pelaku ekonomi di sekitarnya pun akan kehilangan pendapatan mereka.
"Ini juga berimbas bagi masa depan pendidikan anak-anak nelayan, belum lagi nelayan yang bermitra dengan bank dan para pembeli hasil tangkapan nelayan ini, semua akan kehilangan pendapatannya jika dilarang," katanya.
Dia berharap pemerintah melalui Kementerian Kelautan dan Perikanan dapat memberikan solusi atas pemberlakuan permen tersebut dengan memberikan alat tangkap penggantinya.
"Berharap kepada pemerintah agar bisa memberikan alat tangkap pengganti bagi nelayan agar penghasilan menjadi lebih baik dari alat tangkap nelayan yang sudah dipakai selama ini," katanya.