Pasuruan (ANTARA Lampung) - Indonesia bisa menjadi penengah bagi terciptanya perdamaian Saudi Arabia dan Iran yang kini tengah bertikai, demikian saran yang disampaikan Anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) KH Hasyim Muzadi.
"Sangat baik kalau Indonesia ikut berusaha mendorong perdamaian Saudi--Iran," kata KH Hasyim kepada pers di Pasuruan Jawa Timur, Kamis.
Mantan Ketua Umum PBNU itu mengemukakan keterangan tersebut terkait putusnya hubungan diplomatik Saudi - Iran di tengah pertikaian menyusul diberlakukannya hukuman mati terhadap ulama Syiah terkemuka di Arab Saudi, Sheikh Nimr al-Nimr.
KH Hasyim berpendapat, perlunya Indonesia menjadi penengah konflik Saudi--Iran adalah sesuai dengan amanat Pembukaan UUD 1945 yang menekankan pentingnya Indonesia untuk ikut menyelenggarakan perdamaian dunia.
Tetapi ia juga menekankan bahwa upaya yang lebih pokok adalah perlunya Indonesia mengatur langkah kongkrit guna mengamankan Indonesia sendiri dari kemungkinan dampak pertikaian Saudi dengan Iran.
Saudi dan Iran mewakili dua kutub ideologi, yakni Wahaby/Sunny dan Syiah yang masing-masing kutub mempunyai pendukung trans nasional.
Negeri seperti Sudan, Kuwait, Malaysia, dan Brunei akan segera mendukung Saudi karena negara-negara tersebut melarang syiah ada di negaranya masing-masing. Sedangkan Irak, Syria, Lebanon, dan Yaman mungkin mendukung Iran.
Di sisi lain, di Indonesia, dua aliran ideologi itu memiliki banyak aktivis dan jaringan, sehingga hal yang diperlukan adalah bagaimana agar Indonesia tidak menjadi "ring" pertempuran dua kepentingan itu.
Selama pertentangan ideologi (Wahabi--Syiah) masih dalam kerangka wacana, dampaknya akan terbatas pada pertentangan "psycho social", namun apabila bersentuhan dengan politik, apalagi menjadi bagian dari pertentangan global dan campur tangan negara-negara besar, eskalasinya bisa menjadi lain.
"Jadi tidak lagi bisa disebut semata-mata masalah ideologi, tetapi memang bermula dari ideologi, dan perang terbuka bisa terjadi di Indonesia seperti di Iraq dan Syria kalau kita tidak waspada," kata KH Hasyim.
Oleh karena itu, menurut Pengasuh Ponpes Al-Hikam Malang dan Depok itu Indonesia harus memperkuat ideologi Pancasila yang sekarang mulai "remang-remang".
"Penegakan Pancasila tidak cukup dengan himbauan, namun harus dengan sistem kenegaraan yang menjamin tegaknya Pancasila serta dukungan rakyat melalui visi keagamaan yang bersinergi dengan Pancasila dan dianut mayoritas bangsa Indonesia, yakni ahlusunah waljamaah," ujarnya.
Ahlussunah waljamaah yang selama ini dianut NU dan Muhammadiyah dan Ormas Islam lainnya telah terbukti dapat mempersatukan Indonesia sepanjang sejarah.
Oleh karena itu pula, menurut KH Hasyim, NU dan Muhammadiyah harus dijaga agar tidak disusupi atau digerogoti ideologi non ahlussunah wal jamaah yang pasti akan memecah belah dan pada gilirannya akan merusak NKRI.
"Sedangkan untuk pertikaian Saudi--Iran, negara yang bisa menyelesaikannya adalah Amerika dan Rusia, dalam konteks PBB, dan tentu Indonesia ikut mendorong. Namun selebihnya kita perkuat Indonesia sendiri," kata anggota Wantimpres itu.(Ant)
"Sangat baik kalau Indonesia ikut berusaha mendorong perdamaian Saudi--Iran," kata KH Hasyim kepada pers di Pasuruan Jawa Timur, Kamis.
Mantan Ketua Umum PBNU itu mengemukakan keterangan tersebut terkait putusnya hubungan diplomatik Saudi - Iran di tengah pertikaian menyusul diberlakukannya hukuman mati terhadap ulama Syiah terkemuka di Arab Saudi, Sheikh Nimr al-Nimr.
KH Hasyim berpendapat, perlunya Indonesia menjadi penengah konflik Saudi--Iran adalah sesuai dengan amanat Pembukaan UUD 1945 yang menekankan pentingnya Indonesia untuk ikut menyelenggarakan perdamaian dunia.
Tetapi ia juga menekankan bahwa upaya yang lebih pokok adalah perlunya Indonesia mengatur langkah kongkrit guna mengamankan Indonesia sendiri dari kemungkinan dampak pertikaian Saudi dengan Iran.
Saudi dan Iran mewakili dua kutub ideologi, yakni Wahaby/Sunny dan Syiah yang masing-masing kutub mempunyai pendukung trans nasional.
Negeri seperti Sudan, Kuwait, Malaysia, dan Brunei akan segera mendukung Saudi karena negara-negara tersebut melarang syiah ada di negaranya masing-masing. Sedangkan Irak, Syria, Lebanon, dan Yaman mungkin mendukung Iran.
Di sisi lain, di Indonesia, dua aliran ideologi itu memiliki banyak aktivis dan jaringan, sehingga hal yang diperlukan adalah bagaimana agar Indonesia tidak menjadi "ring" pertempuran dua kepentingan itu.
Selama pertentangan ideologi (Wahabi--Syiah) masih dalam kerangka wacana, dampaknya akan terbatas pada pertentangan "psycho social", namun apabila bersentuhan dengan politik, apalagi menjadi bagian dari pertentangan global dan campur tangan negara-negara besar, eskalasinya bisa menjadi lain.
"Jadi tidak lagi bisa disebut semata-mata masalah ideologi, tetapi memang bermula dari ideologi, dan perang terbuka bisa terjadi di Indonesia seperti di Iraq dan Syria kalau kita tidak waspada," kata KH Hasyim.
Oleh karena itu, menurut Pengasuh Ponpes Al-Hikam Malang dan Depok itu Indonesia harus memperkuat ideologi Pancasila yang sekarang mulai "remang-remang".
"Penegakan Pancasila tidak cukup dengan himbauan, namun harus dengan sistem kenegaraan yang menjamin tegaknya Pancasila serta dukungan rakyat melalui visi keagamaan yang bersinergi dengan Pancasila dan dianut mayoritas bangsa Indonesia, yakni ahlusunah waljamaah," ujarnya.
Ahlussunah waljamaah yang selama ini dianut NU dan Muhammadiyah dan Ormas Islam lainnya telah terbukti dapat mempersatukan Indonesia sepanjang sejarah.
Oleh karena itu pula, menurut KH Hasyim, NU dan Muhammadiyah harus dijaga agar tidak disusupi atau digerogoti ideologi non ahlussunah wal jamaah yang pasti akan memecah belah dan pada gilirannya akan merusak NKRI.
"Sedangkan untuk pertikaian Saudi--Iran, negara yang bisa menyelesaikannya adalah Amerika dan Rusia, dalam konteks PBB, dan tentu Indonesia ikut mendorong. Namun selebihnya kita perkuat Indonesia sendiri," kata anggota Wantimpres itu.(Ant)