Jakarta (ANTARA Lampung) - Mantan Dirjen Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri Djohermansyah Djohan menilai putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang membatalkan pasal mengenai politik dinasti dalam UU Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pilkada jadi seperti batu sandungan dalam demokrasi.
"Upaya untuk memperbaiki demokrasi dengan membersihkan praktik politik dinasti, tapi tersandung di MK," kata Djohermansyah Djohan pada diskusi dialektika "MK Legalkan Politik Dinasti" di Gedung MPR/DPR/DPD RI, Jakarta, Kamis (9/7).
Menurut Djohermansyah, berdasarkan data Kementrian Dalam Negeri sampai saat ini sudah ada praktik politik dinasti di 61 daerah atau 11 persen dari seluruh daerah otonom di Indonesia.
Praktik politik dinasti, menurut dia, pada saat perubahan dari era orde baru ke era reformasi dikenal istilah nepotisme, dimana kepala daerah menempatkan kerabat keluarganya, baik pada jabatan-jabatan di pemerintah daerah, DPRD, maupun pada jabatan publik lainnya di daerah.
"Dalam UU Pilkada, bukan melarang praktik politik dinasti, tapi hanya membatasi, yakni kepala daerah yang sudah menduduki jabatan selama dua periode, tidak dapat mengusung anggota keluarganya," katanya.
Guru besar pada Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) ini menjelaskan, kerabat keluarga yang dimaksudkan dalam UU Pilkada adalah anggota keluarga berdasarkan hubungan darah atau anggota keluarga berdasarkan hubungan perkawinan.
Dalam UU Pilkada, kata dia, mengatur kepala daerah yang sudah menduduki jabatan dua periode dapat mengusung anggota keluarganya setelah ada jeda satu periode atau pada lima tahun kemudian.
Sebelumnya, Majelis Hakim MK melalui sidang di Gedung MK, Jakarta, Rabu (8/7) memutuskan membatalkan pasal 7 huruf r tentang pembatasan keluarga incumbent untuk maju dalam pilkada, dengan mengabulkan gugatan dari Adnan Purichta Ichsan.
Hakim Ketua MK Arief Hidayat saat membacakan amar putusan sidang mengatakan, bahwa pasal 7 huruf r dalam UU Pilkada bertentangan dengan pasal 28 (i) ayat 2 UUD NRI 1945 serta bertentangan dengan hak konstitusional dan hak untuk dipilih dalam pemerintahan.
"Upaya untuk memperbaiki demokrasi dengan membersihkan praktik politik dinasti, tapi tersandung di MK," kata Djohermansyah Djohan pada diskusi dialektika "MK Legalkan Politik Dinasti" di Gedung MPR/DPR/DPD RI, Jakarta, Kamis (9/7).
Menurut Djohermansyah, berdasarkan data Kementrian Dalam Negeri sampai saat ini sudah ada praktik politik dinasti di 61 daerah atau 11 persen dari seluruh daerah otonom di Indonesia.
Praktik politik dinasti, menurut dia, pada saat perubahan dari era orde baru ke era reformasi dikenal istilah nepotisme, dimana kepala daerah menempatkan kerabat keluarganya, baik pada jabatan-jabatan di pemerintah daerah, DPRD, maupun pada jabatan publik lainnya di daerah.
"Dalam UU Pilkada, bukan melarang praktik politik dinasti, tapi hanya membatasi, yakni kepala daerah yang sudah menduduki jabatan selama dua periode, tidak dapat mengusung anggota keluarganya," katanya.
Guru besar pada Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) ini menjelaskan, kerabat keluarga yang dimaksudkan dalam UU Pilkada adalah anggota keluarga berdasarkan hubungan darah atau anggota keluarga berdasarkan hubungan perkawinan.
Dalam UU Pilkada, kata dia, mengatur kepala daerah yang sudah menduduki jabatan dua periode dapat mengusung anggota keluarganya setelah ada jeda satu periode atau pada lima tahun kemudian.
Sebelumnya, Majelis Hakim MK melalui sidang di Gedung MK, Jakarta, Rabu (8/7) memutuskan membatalkan pasal 7 huruf r tentang pembatasan keluarga incumbent untuk maju dalam pilkada, dengan mengabulkan gugatan dari Adnan Purichta Ichsan.
Hakim Ketua MK Arief Hidayat saat membacakan amar putusan sidang mengatakan, bahwa pasal 7 huruf r dalam UU Pilkada bertentangan dengan pasal 28 (i) ayat 2 UUD NRI 1945 serta bertentangan dengan hak konstitusional dan hak untuk dipilih dalam pemerintahan.