Bandarlampung, (ANTARA Lampung) - Sejumlah aktivis dan berbagai kalangan masyarakat menggelar kampanye publik untuk menyelamatkan sumberdaya air di Provinsi Lampung, di Bandarlampung, Minggu.
Kampanye penyelamatan sumberdaya air Lampung dari ancaman krisis air diperkirakan terjadi pada tahun 2020 dipusaktan di Tugu Adipura Bandarlampung itu, merupakan rangkaian kegiatan peringatan Hari Air Sedunia 22 Maret 2015 di Lampung.
Menurut aktivis LSM Mitra Bentala Lampung, Supriyanto, rangkaian peringaran Hari Air itu adalah pada Jumat (20/3) dilakukan pembuatan lubang resapan biopori di sekretariat Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Lampung.
Kegiatan dilanjutkan dengan kampanye publik Hari Air Sedunia pada Minggu, di Tugu Adipura Bandarlampung, pukul 07.00-10.00 WIB.
Dalam kampanye ini melibatkan aktivis LSM, mahasiswa, akademisi, praktisi dan profesional serta berbagai kalangan masyarakat di Lampung, termasuk kader lingkungan se-Bandarlampung, kader biopori, kader sampah pesisir, dan kader kampung hijau, Sekolah Alam Lampung, maupun kalangan jurnalis dan profesional.
Tema yang diusung adalah "Lampung Krisis Air 2020".
Kampanye publik yang dilakukan berupa aksi foto Aku Peduli Air, dan tanda tangan dukungan bagi penyelamatan sumberdaya air di Lampung.
"Perlu dukungan aktif semua pihak dalam upaya perbaikan sumberdaya air dan lingkungan hidup di Lampung, agar dapat terhindar dari krisis air pada 2020 yang saat ini juga sudah mulai dirasakan," ujar Supriyanto pula.
Sejumlah elemen pegiat lingkungan hidup, akademisi dan praktisi di Provinsi Lampung itu menyuarakan imbauan untuk bersama-sama menyelamatkan sumberdaya air, mengingat adanya ancaman terjadi krisis air di Provinsi Lampung pada tahun 2020.
"Momentum Hari Air Sedunia 22 Maret 2015 menjadi saat yang tepat untuk menyuarakan ancaman Lampung Krisis Air 2020, agar mendorong semua pihak menjadi lebih peduli dan kemudian aktif berupaya melindungi sumberdaya air yang tersedia," ujar Bambang Pujiatmoko, aktivis peduli sumberdaya air yang juga Dewan Pembina YKWS Lampung.
Atas nama elemen masyarakat peduli air di Lampung, dia menyatakan bahwa krisis air adalah kondisi yang luar biasa karena saat musim hujan terjadi banjir bandang dan ketika musim kemarau tidak ada air.
Menurutnya, perbandingan antara debit maksimum dengan debit minimum sungai-sungai di Lampung cenderung naik, seperti di Sungai (Way) Sekampung, perbandingan antara debit maksimum dengan minimum naik dari sekitar 5 pada tahun 1968 menjadi sekitar 33 pada tahun 2001 (GGWRM, 2003).
Pada tahun 2009, debit air saat musim hujan mencapai 84 liter perdetik, dan di musim kemarau satu liter perdetik dengan kondisi sungai yang masih baik atau perbandingannya kurang dari 20.
Karena itu, menurutnya, dapat diindentifikasi bahwa sejak tahun 1986 mulai terjadi proses degradasi daerah aliran sungai (DAS), sehingga apabila tidak segera dilakukan rehabilitasi DAS diprediksi pada tahun 2020 debit minimumnya akan nol.
Supriyanto, aktivis LSM Mitra Bentala Lampung, menyebutkan pula, luas total hutan di Lampung mencapai 1.004.735 hektar dan luas lahan kritis mencapai 1.271.584,94 hektar (Warsito, 2013).
Kerusakan DAS berakibat pada kondisi kuantitas (debit) air sungai menjadi fluktuatif antara musim hujan dan kemarau.
Selain itu, juga terjadi penurunan cadangan air serta tinggi laju sedimentasi dan erosi.
Dampak akhir yang dirasakan kemudian adalah terjadi banjir bandang di musim hujan dan kekeringan saat kemarau, ujarnya.
Supriyanto melanjutkan, hampir di semua Daerah Irigasi (DI) terjadi defisit air irigasi, seperti DI Way Seputih defisit 3,915 meter kubik perdetik, DI Way Sekampung defisit 1,529 meter kubik perdetik, Punggur Utara defisit 4,003 meter kubik perdetik, Rumbia Barat defisit 1,437 meter kubik perdetik dan Batanghari Utara defisit 0,473 meter kubik perdetik.
Kondisi itu dinilai akan menghambat pencapaian produksi pangan khususnya produksi padi di Provinsi Lampung.
Selain itu, Supriyanto menyebut akses terhadap air minum yang layak merupakan hak dasar yang merupakan bagian dari hak asasi manusia (Ecosoc 2002).
Cakupan layanan air minum layak di Provinsi Lampung baru mencapai 54,16 persen rumah tangga atau di bawah rata-rata nasional 67,73 persen (BPS, 2013).
Artinya, hampir separuh penduduk Provinsi Lampung belum mendapatkan layanan air minum yang layak.
Begitu pula kejadian penyakit tertinggi di Provinsi Lampung disebabkan faktor lingkungan/air yang buruk seperti diare, malaria, disentri dan demam berdarah dengue (DBD).
Setelah mengamati, mencermati kondisi data dan fakta itu, elemen masyarakat dan penggiat lingkungan di Provinsi Lampung mendesak Pemerintah Provinsi Lampung dan pemerintah kabupaten/kota di Provinsi Lampung untuk bersungguh-sungguh memperbaiki kondisi DAS di Lampung, seperti merehabilitasi lahan kritis dan merealisasikan 30 persen ruang terbuka hijau.
Pemerintah daerah di Lampung juga diingatkan untuk bersungguh-sungguh memenuhi layanan air minum yang berkualitas dengan jumlah yang cukup dan tersedia sepanjang waktu bagi seluruh penduduk di Provinsi Lampung paling lambat pada tahun 2019.
Masyarakat di Lampung juga diimbau untuk memperlakukan air secara bijak, seperti melakukan upaya penghematan air, tidak membuang sampah/limbah ke badan air, dan memperbanyak upaya konservasi air, seperti penanaman pohon, pembuatan sumur resapan/lubang biopori.
Kampanye penyelamatan sumberdaya air Lampung dari ancaman krisis air diperkirakan terjadi pada tahun 2020 dipusaktan di Tugu Adipura Bandarlampung itu, merupakan rangkaian kegiatan peringatan Hari Air Sedunia 22 Maret 2015 di Lampung.
Menurut aktivis LSM Mitra Bentala Lampung, Supriyanto, rangkaian peringaran Hari Air itu adalah pada Jumat (20/3) dilakukan pembuatan lubang resapan biopori di sekretariat Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Lampung.
Kegiatan dilanjutkan dengan kampanye publik Hari Air Sedunia pada Minggu, di Tugu Adipura Bandarlampung, pukul 07.00-10.00 WIB.
Dalam kampanye ini melibatkan aktivis LSM, mahasiswa, akademisi, praktisi dan profesional serta berbagai kalangan masyarakat di Lampung, termasuk kader lingkungan se-Bandarlampung, kader biopori, kader sampah pesisir, dan kader kampung hijau, Sekolah Alam Lampung, maupun kalangan jurnalis dan profesional.
Tema yang diusung adalah "Lampung Krisis Air 2020".
Kampanye publik yang dilakukan berupa aksi foto Aku Peduli Air, dan tanda tangan dukungan bagi penyelamatan sumberdaya air di Lampung.
"Perlu dukungan aktif semua pihak dalam upaya perbaikan sumberdaya air dan lingkungan hidup di Lampung, agar dapat terhindar dari krisis air pada 2020 yang saat ini juga sudah mulai dirasakan," ujar Supriyanto pula.
Sejumlah elemen pegiat lingkungan hidup, akademisi dan praktisi di Provinsi Lampung itu menyuarakan imbauan untuk bersama-sama menyelamatkan sumberdaya air, mengingat adanya ancaman terjadi krisis air di Provinsi Lampung pada tahun 2020.
"Momentum Hari Air Sedunia 22 Maret 2015 menjadi saat yang tepat untuk menyuarakan ancaman Lampung Krisis Air 2020, agar mendorong semua pihak menjadi lebih peduli dan kemudian aktif berupaya melindungi sumberdaya air yang tersedia," ujar Bambang Pujiatmoko, aktivis peduli sumberdaya air yang juga Dewan Pembina YKWS Lampung.
Atas nama elemen masyarakat peduli air di Lampung, dia menyatakan bahwa krisis air adalah kondisi yang luar biasa karena saat musim hujan terjadi banjir bandang dan ketika musim kemarau tidak ada air.
Menurutnya, perbandingan antara debit maksimum dengan debit minimum sungai-sungai di Lampung cenderung naik, seperti di Sungai (Way) Sekampung, perbandingan antara debit maksimum dengan minimum naik dari sekitar 5 pada tahun 1968 menjadi sekitar 33 pada tahun 2001 (GGWRM, 2003).
Pada tahun 2009, debit air saat musim hujan mencapai 84 liter perdetik, dan di musim kemarau satu liter perdetik dengan kondisi sungai yang masih baik atau perbandingannya kurang dari 20.
Karena itu, menurutnya, dapat diindentifikasi bahwa sejak tahun 1986 mulai terjadi proses degradasi daerah aliran sungai (DAS), sehingga apabila tidak segera dilakukan rehabilitasi DAS diprediksi pada tahun 2020 debit minimumnya akan nol.
Supriyanto, aktivis LSM Mitra Bentala Lampung, menyebutkan pula, luas total hutan di Lampung mencapai 1.004.735 hektar dan luas lahan kritis mencapai 1.271.584,94 hektar (Warsito, 2013).
Kerusakan DAS berakibat pada kondisi kuantitas (debit) air sungai menjadi fluktuatif antara musim hujan dan kemarau.
Selain itu, juga terjadi penurunan cadangan air serta tinggi laju sedimentasi dan erosi.
Dampak akhir yang dirasakan kemudian adalah terjadi banjir bandang di musim hujan dan kekeringan saat kemarau, ujarnya.
Supriyanto melanjutkan, hampir di semua Daerah Irigasi (DI) terjadi defisit air irigasi, seperti DI Way Seputih defisit 3,915 meter kubik perdetik, DI Way Sekampung defisit 1,529 meter kubik perdetik, Punggur Utara defisit 4,003 meter kubik perdetik, Rumbia Barat defisit 1,437 meter kubik perdetik dan Batanghari Utara defisit 0,473 meter kubik perdetik.
Kondisi itu dinilai akan menghambat pencapaian produksi pangan khususnya produksi padi di Provinsi Lampung.
Selain itu, Supriyanto menyebut akses terhadap air minum yang layak merupakan hak dasar yang merupakan bagian dari hak asasi manusia (Ecosoc 2002).
Cakupan layanan air minum layak di Provinsi Lampung baru mencapai 54,16 persen rumah tangga atau di bawah rata-rata nasional 67,73 persen (BPS, 2013).
Artinya, hampir separuh penduduk Provinsi Lampung belum mendapatkan layanan air minum yang layak.
Begitu pula kejadian penyakit tertinggi di Provinsi Lampung disebabkan faktor lingkungan/air yang buruk seperti diare, malaria, disentri dan demam berdarah dengue (DBD).
Setelah mengamati, mencermati kondisi data dan fakta itu, elemen masyarakat dan penggiat lingkungan di Provinsi Lampung mendesak Pemerintah Provinsi Lampung dan pemerintah kabupaten/kota di Provinsi Lampung untuk bersungguh-sungguh memperbaiki kondisi DAS di Lampung, seperti merehabilitasi lahan kritis dan merealisasikan 30 persen ruang terbuka hijau.
Pemerintah daerah di Lampung juga diingatkan untuk bersungguh-sungguh memenuhi layanan air minum yang berkualitas dengan jumlah yang cukup dan tersedia sepanjang waktu bagi seluruh penduduk di Provinsi Lampung paling lambat pada tahun 2019.
Masyarakat di Lampung juga diimbau untuk memperlakukan air secara bijak, seperti melakukan upaya penghematan air, tidak membuang sampah/limbah ke badan air, dan memperbanyak upaya konservasi air, seperti penanaman pohon, pembuatan sumur resapan/lubang biopori.