Jakarta, (ANTARA Lampung) - Direktur Penyehatan Lingkungan Kementerian Kesehatan Wilfried Hasiholan Purba mengatakan masyarakat membutuhkan pendampingan mengenai sanitasi layak dan kebersihan lingkungan untuk membantu warga mengaplikasikan teori sanitasi dan kebersihan dalam kegiatan sehari-hari.
"Melakukan pendekatan kepada masyarakat bagaimana agar berubah perilakunya, maka perlu edukasi dan pendampingan," kata Wilfried usai peluncuran jejaring Indonesia "Women for Water, Sanitation and Hygiene" (IWWASH), Jakarta, Rabu.
Ia mengatakan pendidikan tentang sanitasi layak harus berkelanjutan dengan disertai pendampingan memadai.
"Tantangan kita itu perubahan perilaku, mereka paham dulu ngerti dulu oh, iya sanitasi, kebersihan memang penting, kalau tidak menjaga kebersihan berisiko penyakit, jorok, malu, dan jijik ternyata yang benar caranya begini," ujarnya.
Perubahan perilaku, lanjutnya, merupakan tantangan terbesar dalam meciptakan masyarakat sadar sanitasi karena membutuhkan waktu yang lama namun dapat memberi pengaruh jangka panjang.
"Merubah perilaku itu jangka panjang dan lama terlihat tetapi membangun sarana tiga bulan sudah terlihat hasilnya, namun engubah perilaku akan memberikan dampak berkelanjutan," tutur dia.
Wilfried mengatakan sanitasi yang layak baru mencapai 61,7 persen atau sekitar 90 juta penduduk Indonesia sedangkan akses air bersih baru mencapai 67 persen sehingga ada sekitar 40 juta penduduk sulit akses air bersih.
Sementara itu, inisiator IWWASH Ernawati Sinaga mengatakan tantangan lainnya dalam membudayakan kebersihan lingkungan dan sadar sanitasi layak di masyarakat adalah fasilitas sanitasi karena biaya yang dibutuhkan tergolong mahal.
Akibat tidak adanya sanitasi layak, lanjutnya, masyarakat terbiasa dengan kebiasaan buruk yang tidak menjaga kebersihan lingkungan seperti menyikat gigi di sungai kotor, dan buang air besar di sungai atau kebun.
"Fasilitas tidak ada sehingga sebagian besar masyarakat terbiasa hidup dengan sanitasi tidak layak," ujarnya.
Selain mendirikan fasilitas sanitasi, katanya, penduduk Indonesia juga memerlukan pendampingan untuk menyiapkan masyarakat peduli sanitasi, kebersihan lingkungan dan konservasi sumber daya air.
"Kalau mereka sudah memilki fasilitas sanitasi layak, tapi kalau tidak dididik perilakunya, masyarakat juga tidak berubah," katanya.
Untuk itu, menurut dia, pembangunan sanitasi layak harus diimbangi dengan pendampingan secara berkala bagi masyarakat agar nilai-nilai sadar sanitasi dan kebersihan lingkungan tetap terus diterapkan masyarakat yang telah mendapat pembinaan.
"Berbarengan antara pendidikan dan aplikasi. Kalau kita dirikan sarana untuk sanitasi layak seperti jamban tapi masyarakat tidak siap maka itu akan sia-sia. Karena itu kita harus mendidik juga," katanya.
Ia berharap melalui jejaring IWWASH, pihaknya akan membangun jaringan dengan sejumlah relasi untuk memperoleh biaya untuk membantu pembangunan sejumlah fasilitas sanitasi sekaligus melaksanakan kegiatan untuk memberikan pemahaman sadar sanitasi kepada masyarakat.
"Kita memiliki sumber daya manusia yang siap andil menyerukan sanitasi layak dan kebersihan lingkungan," ujarnya.
"Melakukan pendekatan kepada masyarakat bagaimana agar berubah perilakunya, maka perlu edukasi dan pendampingan," kata Wilfried usai peluncuran jejaring Indonesia "Women for Water, Sanitation and Hygiene" (IWWASH), Jakarta, Rabu.
Ia mengatakan pendidikan tentang sanitasi layak harus berkelanjutan dengan disertai pendampingan memadai.
"Tantangan kita itu perubahan perilaku, mereka paham dulu ngerti dulu oh, iya sanitasi, kebersihan memang penting, kalau tidak menjaga kebersihan berisiko penyakit, jorok, malu, dan jijik ternyata yang benar caranya begini," ujarnya.
Perubahan perilaku, lanjutnya, merupakan tantangan terbesar dalam meciptakan masyarakat sadar sanitasi karena membutuhkan waktu yang lama namun dapat memberi pengaruh jangka panjang.
"Merubah perilaku itu jangka panjang dan lama terlihat tetapi membangun sarana tiga bulan sudah terlihat hasilnya, namun engubah perilaku akan memberikan dampak berkelanjutan," tutur dia.
Wilfried mengatakan sanitasi yang layak baru mencapai 61,7 persen atau sekitar 90 juta penduduk Indonesia sedangkan akses air bersih baru mencapai 67 persen sehingga ada sekitar 40 juta penduduk sulit akses air bersih.
Sementara itu, inisiator IWWASH Ernawati Sinaga mengatakan tantangan lainnya dalam membudayakan kebersihan lingkungan dan sadar sanitasi layak di masyarakat adalah fasilitas sanitasi karena biaya yang dibutuhkan tergolong mahal.
Akibat tidak adanya sanitasi layak, lanjutnya, masyarakat terbiasa dengan kebiasaan buruk yang tidak menjaga kebersihan lingkungan seperti menyikat gigi di sungai kotor, dan buang air besar di sungai atau kebun.
"Fasilitas tidak ada sehingga sebagian besar masyarakat terbiasa hidup dengan sanitasi tidak layak," ujarnya.
Selain mendirikan fasilitas sanitasi, katanya, penduduk Indonesia juga memerlukan pendampingan untuk menyiapkan masyarakat peduli sanitasi, kebersihan lingkungan dan konservasi sumber daya air.
"Kalau mereka sudah memilki fasilitas sanitasi layak, tapi kalau tidak dididik perilakunya, masyarakat juga tidak berubah," katanya.
Untuk itu, menurut dia, pembangunan sanitasi layak harus diimbangi dengan pendampingan secara berkala bagi masyarakat agar nilai-nilai sadar sanitasi dan kebersihan lingkungan tetap terus diterapkan masyarakat yang telah mendapat pembinaan.
"Berbarengan antara pendidikan dan aplikasi. Kalau kita dirikan sarana untuk sanitasi layak seperti jamban tapi masyarakat tidak siap maka itu akan sia-sia. Karena itu kita harus mendidik juga," katanya.
Ia berharap melalui jejaring IWWASH, pihaknya akan membangun jaringan dengan sejumlah relasi untuk memperoleh biaya untuk membantu pembangunan sejumlah fasilitas sanitasi sekaligus melaksanakan kegiatan untuk memberikan pemahaman sadar sanitasi kepada masyarakat.
"Kita memiliki sumber daya manusia yang siap andil menyerukan sanitasi layak dan kebersihan lingkungan," ujarnya.