Bandarlampung (ANTARA LAMPUNG) - Badan Pusat Statistik Provinsi Lampung menyatakan, salah satu penyebab sering terjadi distorsi informasi dan pemahaman di tingkat masyarakat tentang kemiskinan, karena perbedaan indikator lembaga yang mengeluarkan data tersebut.
Kepala Bidang Statistik Sosial BPS Lampung Muhammad Mukhanif, pada Workshop Jurnalis bertema "Peningkatan Wawasan Statistik untuk Wartawan 2013" yang diselenggarakan BPS Lampung, di Bandarlampung, Selasa (24/12), mengatakan bahwa kebanyakan media massa menyajikan data tentang kemiskinan di suatu wilayah namun mengabaikan indikator variabel yang menentukan adanya data tersebut.
Dia mencontohkan, perbedaan signifikan angka penduduk miskin Indonesia versi BPS dan Bank Dunia, karena menggunakan variabel yang berbeda, sehingga versi Bank Dunia angkanya lebih tinggi dibandingkan versi BPS.
Pada dasarnya, ujar dia, data yang diolah oleh kedua lembaga tersebut adalah data yang sama, namun untuk indikator kemampuan belanja penduduk, keduanya menggunakan variabel berbeda, versi Bank Dunia menggunakan 1 atau 2 dolar per hari, sedangkan BPS setara dengan 1,56 dolar.
"Kursnya bukan menggunakan dolar Amerika Serikat ya, melainkan hasil kesepakatan bersama, saat ini senilai enam ribu rupiah lebih sedikit," katanya.
Mukhanif melanjutkan, kondisi itulah yang menyebabkan angka kemiskinan versi Bank Dunia masih tinggi, jauh lebih tinggi dibandingkan angka yang dikeluarkan BPS.
Menurut dia, wartawan, sebagai penyampai informasi kepada masyarakat, harus memahami perbedaan indikator tersebut untuk mencegah distorsi informasi yang diterima masyarakat.
Dalam penentuan indikator konsep kemiskinan, BPS menggunakan konsep "kemampuan memenuhi kebutuhan dasar (basic needs approach)" yang juga digunakan oleh beberapa negara lain di dunia.
Jenis kemiskinan yang dijadikan objek kajian adalah kemiskinan absolut dengan indikator pendapatan di bawah garis kemiskinan atau tidak cukup untuk memenuhi sandang, pangan, kesehatan, perumahan, dan pendidikan yang diperlukan untuk biaya hidup atau bekerja, kata Mukhanif lagi.
Pengukuran kemiskinan di Indonesia, ujar dia, terdiri atas data kemiskinan makro yang dirilis tiap Januari dan Juli, serta data kemiskinan mikro yang dirilis tiap tiga tahun sekali.
Data kemiskinan makro menunjukkan jumlah penduduk miskin di tiap daerah, sedangkan data kemiskinan mikro memperlihatkan jumlah rumah tangga miskin dan hampir miskin untuk sasaran program bantuan dari pemerintah, kata dia.
Pada pelatihan ini, selain membicarakan angka kemiskinan, juga memberikan ruang diskusi beberapa topik yang biasa menjadi subjek kajian BPS Lampung, di antaranya membedah angka pertumbuhan ekonomi, sensus pertanian, dan pengenalan terhadap inflasi.
Kepala Bidang Statistik Sosial BPS Lampung Muhammad Mukhanif, pada Workshop Jurnalis bertema "Peningkatan Wawasan Statistik untuk Wartawan 2013" yang diselenggarakan BPS Lampung, di Bandarlampung, Selasa (24/12), mengatakan bahwa kebanyakan media massa menyajikan data tentang kemiskinan di suatu wilayah namun mengabaikan indikator variabel yang menentukan adanya data tersebut.
Dia mencontohkan, perbedaan signifikan angka penduduk miskin Indonesia versi BPS dan Bank Dunia, karena menggunakan variabel yang berbeda, sehingga versi Bank Dunia angkanya lebih tinggi dibandingkan versi BPS.
Pada dasarnya, ujar dia, data yang diolah oleh kedua lembaga tersebut adalah data yang sama, namun untuk indikator kemampuan belanja penduduk, keduanya menggunakan variabel berbeda, versi Bank Dunia menggunakan 1 atau 2 dolar per hari, sedangkan BPS setara dengan 1,56 dolar.
"Kursnya bukan menggunakan dolar Amerika Serikat ya, melainkan hasil kesepakatan bersama, saat ini senilai enam ribu rupiah lebih sedikit," katanya.
Mukhanif melanjutkan, kondisi itulah yang menyebabkan angka kemiskinan versi Bank Dunia masih tinggi, jauh lebih tinggi dibandingkan angka yang dikeluarkan BPS.
Menurut dia, wartawan, sebagai penyampai informasi kepada masyarakat, harus memahami perbedaan indikator tersebut untuk mencegah distorsi informasi yang diterima masyarakat.
Dalam penentuan indikator konsep kemiskinan, BPS menggunakan konsep "kemampuan memenuhi kebutuhan dasar (basic needs approach)" yang juga digunakan oleh beberapa negara lain di dunia.
Jenis kemiskinan yang dijadikan objek kajian adalah kemiskinan absolut dengan indikator pendapatan di bawah garis kemiskinan atau tidak cukup untuk memenuhi sandang, pangan, kesehatan, perumahan, dan pendidikan yang diperlukan untuk biaya hidup atau bekerja, kata Mukhanif lagi.
Pengukuran kemiskinan di Indonesia, ujar dia, terdiri atas data kemiskinan makro yang dirilis tiap Januari dan Juli, serta data kemiskinan mikro yang dirilis tiap tiga tahun sekali.
Data kemiskinan makro menunjukkan jumlah penduduk miskin di tiap daerah, sedangkan data kemiskinan mikro memperlihatkan jumlah rumah tangga miskin dan hampir miskin untuk sasaran program bantuan dari pemerintah, kata dia.
Pada pelatihan ini, selain membicarakan angka kemiskinan, juga memberikan ruang diskusi beberapa topik yang biasa menjadi subjek kajian BPS Lampung, di antaranya membedah angka pertumbuhan ekonomi, sensus pertanian, dan pengenalan terhadap inflasi.