Bandarlampung (ANTARA LAMPUNG) - Lembaga Bantuan Hukum Bandarlampung menilai Instruksi Presiden (Inpres) No 2 Tahun 2013 tentang Peningkatan Efektivitas Penanganan Gangguan Keamanan Dalam Negeri hanya akan melanggengkan arogansi kekuasaan di daerah.
Menurut Kepala Operasional LBH Bandarlampung Heri Hidayat SH, mendampingi Direkturnya, Fauzi Silalahi, di Bandarlampung, Rabu, kewenangan kepala daerah mencegah konflik seperti yang disampaikan Presiden dalam Rakernas bisa memicu arogansi kekuasaan di tingkat lokal.
"Seharusnya pemerintah menelaah secara mendalam apa yang menjadi penyebab terjadi konflik di masyarakat, ini bisa berkaitan dengan kondisi ekonomi, sosial maupun budaya, dan dengan jelas kita lihat ketimpangan-ketimpangan pada pemenuhan dan penjaminan atas hak ekonomi, sosial dan budaya tersebut," ujar dia.
Akibatnya, kata Heri, banyak terjadi kecemburuan sosial yang muncul dari ketimpangan di beberapa sektor tersebut yang menyebabkan muncul strata kelas masyarakat makmur dan masyarakat yang termarginalkan.
Kecemburuan berlanjut pada ketidakharmonisan antarkelompok sosial masyarakat yang bermuara pada konflik-konflik masyarakat, meskipun ledakan konflik terkadang dipicu oleh permasalahan yang sangat sepele, kata dia lagi.
Berdasarkan analisis data yang dilakukan LBH Bandarlampung atas beberapa konflik yang ada, ujar dia, menunjukkan bahwa hak atas kebebasan berekspresi sering dikaitkan dengan konflik sosial.
"Penyampaian aspirasi terkadang diartikan sebagai bentuk provokasi yang berujung pada kericuhan hingga konflik sosial," kata dia lagi.
Kondisi tersebut, menurut Heri, terjadi akibat masih rendah pemahaman aparatur negara terhadap hak sipil dan politik, padahal sejatinya Indonesia telah mengadopsi instrumen HAM tersebut dalam UU Nomor 12 Tahun 2005 tentang Ratifikasi Kovenan Hak Sipil dan Politik.
Kovenan tersebut mewajibkan negara untuk dapat menghormati dan menjamin hak untuk berekspresi dan menyampaikan pendapat.
Kekhawatiran masyarakat terhadap pengulangan rezim otoritarian Orde Baru, menurut dia, sangatlah rasional, mengingat di era demokrasi seperti sekarang ini saja masih sering terjadi pembungkaman aspirasi serta pelanggaran-pelanggaran terhadap hak-hak dasar warga negara.
"Bagaimana berbahayanya bila saat ini konsep-konsep rezim Orde Baru kembali diterapkan dalam penanganan konflik di negara ini," kata dia pula.
LBH Bandarlampung, menurut dia, menilai Inpres Nomor 2 Tahun 2013 tentang tentang Peningkatan Efektivitas Penanganan Gangguan Keamanan Dalam Negeri tersebut sebagai isyarat ketidakmampuan pemerintah pusat dalam mengendalikan konflik horizontal secara nasional, sehingga dibebankan kepada kepala daerah masing-masing.
Ini mengindikasikan, upaya "lepas tangan" pemerintah pusat atas tidak kondusif situasi sosial skala daerah.
Namun yang perlu menjadi perhatian khusus, kata Heri, tindakan pencegahan seperti yang diinstruksikan oleh Presiden tersebut justru berpotensi pada tindakan arogansi kekuasaan di tingkat daerah.
Upaya mengaktifkan peran militer dalam penanganan konflik juga dinilai LBH Bandarlampung mencederai perjuangan para pegiat HAM di masa reformasi, mengingat pemisahan Dwi Fungsi ABRI saat itu adalah hal yang sangat urgen dilakukan dalam upaya melepas belenggu kekuasaan serta meminimalkan pelanggaran HAM yang dilakukan aparat keamanan.
Menurut Kepala Operasional LBH Bandarlampung Heri Hidayat SH, mendampingi Direkturnya, Fauzi Silalahi, di Bandarlampung, Rabu, kewenangan kepala daerah mencegah konflik seperti yang disampaikan Presiden dalam Rakernas bisa memicu arogansi kekuasaan di tingkat lokal.
"Seharusnya pemerintah menelaah secara mendalam apa yang menjadi penyebab terjadi konflik di masyarakat, ini bisa berkaitan dengan kondisi ekonomi, sosial maupun budaya, dan dengan jelas kita lihat ketimpangan-ketimpangan pada pemenuhan dan penjaminan atas hak ekonomi, sosial dan budaya tersebut," ujar dia.
Akibatnya, kata Heri, banyak terjadi kecemburuan sosial yang muncul dari ketimpangan di beberapa sektor tersebut yang menyebabkan muncul strata kelas masyarakat makmur dan masyarakat yang termarginalkan.
Kecemburuan berlanjut pada ketidakharmonisan antarkelompok sosial masyarakat yang bermuara pada konflik-konflik masyarakat, meskipun ledakan konflik terkadang dipicu oleh permasalahan yang sangat sepele, kata dia lagi.
Berdasarkan analisis data yang dilakukan LBH Bandarlampung atas beberapa konflik yang ada, ujar dia, menunjukkan bahwa hak atas kebebasan berekspresi sering dikaitkan dengan konflik sosial.
"Penyampaian aspirasi terkadang diartikan sebagai bentuk provokasi yang berujung pada kericuhan hingga konflik sosial," kata dia lagi.
Kondisi tersebut, menurut Heri, terjadi akibat masih rendah pemahaman aparatur negara terhadap hak sipil dan politik, padahal sejatinya Indonesia telah mengadopsi instrumen HAM tersebut dalam UU Nomor 12 Tahun 2005 tentang Ratifikasi Kovenan Hak Sipil dan Politik.
Kovenan tersebut mewajibkan negara untuk dapat menghormati dan menjamin hak untuk berekspresi dan menyampaikan pendapat.
Kekhawatiran masyarakat terhadap pengulangan rezim otoritarian Orde Baru, menurut dia, sangatlah rasional, mengingat di era demokrasi seperti sekarang ini saja masih sering terjadi pembungkaman aspirasi serta pelanggaran-pelanggaran terhadap hak-hak dasar warga negara.
"Bagaimana berbahayanya bila saat ini konsep-konsep rezim Orde Baru kembali diterapkan dalam penanganan konflik di negara ini," kata dia pula.
LBH Bandarlampung, menurut dia, menilai Inpres Nomor 2 Tahun 2013 tentang tentang Peningkatan Efektivitas Penanganan Gangguan Keamanan Dalam Negeri tersebut sebagai isyarat ketidakmampuan pemerintah pusat dalam mengendalikan konflik horizontal secara nasional, sehingga dibebankan kepada kepala daerah masing-masing.
Ini mengindikasikan, upaya "lepas tangan" pemerintah pusat atas tidak kondusif situasi sosial skala daerah.
Namun yang perlu menjadi perhatian khusus, kata Heri, tindakan pencegahan seperti yang diinstruksikan oleh Presiden tersebut justru berpotensi pada tindakan arogansi kekuasaan di tingkat daerah.
Upaya mengaktifkan peran militer dalam penanganan konflik juga dinilai LBH Bandarlampung mencederai perjuangan para pegiat HAM di masa reformasi, mengingat pemisahan Dwi Fungsi ABRI saat itu adalah hal yang sangat urgen dilakukan dalam upaya melepas belenggu kekuasaan serta meminimalkan pelanggaran HAM yang dilakukan aparat keamanan.