memboikot hasil penghitungan suara tentu bukan bahan pendidikan politik yang ideal
Jakarta (ANTARA) - Ada benang merah antara konsep pendidikan seumur hidup (life-long education) dan sepak terjang tokoh publik, terutama kalangan elite politik.

Dalam konsep pendidikan seumur hidup, belajar dimaknai bukan terbatas pada usia tertentu dalam ruang kelas yang memungkinkan interaksi antara pendidik dan peserta didik, tapi proses sepanjang hayat seseorang dalam meningkatkan pengetahuan dan keterampilan untuk tujuan aktualisasi diri.

Pengetahuan itu salah satunya bisa berasal dari pergumulan kaum elite dengan karier mereka, bisa di ranah kehidupan apa pun, termasuk perpolitikan.

Itu sebabnya tidak mengherankan bila dalam acara tayang bincang di televisi tentang perkara politik akhir-akhir ini, ada narasumber yang mengingatkan lawan bicaranya yang sedang emosional bahwa apa yang mereka percakapkan sedang ditonton, dinilai, dijadikan bahan belajar oleh rakyat.

Pernyataan yang pantas dilontarkan dalam konteks ini adalah: Seberapa banyak tokoh publik yang menyadari bahwa sepak terjang, baik pernyataan maupun aksi mereka dalam mengejar tujuan, mempertimbangkan sisi edukatif untuk kepentingan pendidikan seumur hidup masyarakat?

Tokoh publik atau elite politik masa kini agaknya perlu membaca tulisan-tulisan Bung Hatta, salah satu tokoh proklamator, yang begitu peduli dengan aspek edukatif dalam pergerakan politik kalangan elite.

Hatta bahkan menempatkan prioritas utama pada pendidikan sebelum melangkah lebih jauh membangun kepartaian politik. Itu sebabnya organisasi yang pertama dibangun Hatta adalah Pendidikan Nasional Indonesia.

Dalam esai yang ditulisnya pada 1932 di Daulat Rakyat, Hatta menulis politik di negeri jajahan terutama berarti pendidikan.

Politik menurut pengertian biasa tidak dapat dijalankan kalau rakyat tidak mempunyai keinsyafan dan pengertian, tambah negarawan yang lahir di Bukittinggi, 12 Agustus 1902 itu.

Apa yang dipikirkan Hatta itu agaknya perlu digaungkan kembali saat ini ketika para elite politik sedang memperlihatkan manuver-manuver mereka sebagai politikus yang sesungguhnya sedang menyuguhkan kepada rakyat, terutama yang belum sepenuhnya melek politik, sejenis bahan atau materi pelajaran buat pendidikan seumur hidup.

Tentu ada materi yang sejalan dengan pendidikan etik dan yang bertabrakan atau tak sesuai dengan nilai-nilai etik.

Salah satu bentuk pendidikan paling mudah diresapi atau dihayati dan dipraktikkan oleh awam dalam menjalankan pendidikan seumur hidup adalah keteladanan elite politik.

Untuk konteks politik terkini, yang terkait dengan pengumuman hasil pesta demokrasi 2019, yang akan menjadi bahan belajar kaum awam adalah tentang bagaimana elite politik menyikapi hasil Pemilu 2019 yang diumumkan 22 Mei mendatang oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU).

Atau lebih spesifik lagi, nilai pendidikan politik itu terpantul saat pemenang dalam kontes pemilihan presiden diumumkan oleh pihak berwenang, dalam hal ini Mahkamah Konstitusi (MK) jika terjadi sengketa atas keputusan KPU.

Kebesaran jiwa kontestan dalam pemilihan presiden dengan mengucapkan selamat dari yang kalah kepada yang menang merupakan edukasi politik yang bernilai bagi rakyat.
​​​​​
Sayangnya, prolog menjelang pengumuman pemenang pilpres itu secara umum boleh dibilang bukanlah materi pendidikan seumur hidup yang ideal.

Memang ada tindakan etis untuk tidak memperlihatkan euforia ketika hitung cepat memperlihatkan prediksi pemenang pilpres.

Beberapa materi pendidikan seumur hidup yang tak ideal antara lain tercermin pada pernyataan para politikus yang bernada nihilis seperti tak mempercayai lembaga penyelenggara pemilu dan akan melakukan gerakan unjuk kekuatan rakyat alih-alih mengajukan gugatan ke lembaga yudisial sebagaimana diamanatkan oleh konstitusi.

Yang lebih gawat lagi adalah munculnya pernyataan wakil ketua umum salah satu parpol besar yang memengaruhi politikus di koalisinya untuk memboikot hasil pemilu dan mengajak rakyat pendukungnya untuk tidak membayar pajak selama lima tahun.

Politikus ini memaknai ajakannya sebagai bentuk pembangkangan umum.

Betapa jauhnya dia memaknai gerakan pembangkangan sipil, yang dalam sejarah pernah dilontarkan dan dijalankan bapak bangsa India Mohandas Karamchad Gandhi saat menghadapi kolonialis Inggris.

Menghasut pengikut untuk menerapkan gerakan pembangkangan sipil untuk perkara kekalahan dalam pilpres jelas hanya mendegradasi kualitas atau kadar kemampuan berpolitik sang agitator.

Pemilu secara demokratis sudah dilakukan berkali-kali dan pemilihan presiden secara langsung sudah empat kali terselenggara sejak publik terbebas dari rezim otokratis Orde Baru.

Mestinya para elite politik sudah tak ada lagi yang dalam manuver-manuver berebut kekuasaan menjalankan gaya politik yang anti-akal sehat sekaligus menggaungkan ketakpercayaan ke lembaga-lembaga hukum.

Tampaknya, para elite politik yang mewacanakan aksi turun ke jalan untuk menyikapi dugaan kecurangan dalam penghitungan suara tak menyadari bahwa manuver mereka tak memberikan edukasi dalam memberikan kepercayaan terhadap mekanisme demokrasi yang lazim.

Artinya, setiap kecurangan diselesaikan dengan prosedur yang disediakan sesuai dengan undang-undang yang sebelumnya disepakati oleh para elite politik atau wakilnya sebelum kontes perebutan kekuasaan itu berlangsung.

Mengedepankan agitasi politik dengan mengajak publik pendukung turun ke jalan untuk memboikot hasil penghitungan suara tentu bukan bahan pendidikan politik yang ideal ketika demokrasi berjalan fungsional.

Bahkan dalam perspektif hukum, agitasi semacam itu bisa dikategorikan sebagai awal sebuah makar, sebagaimana yang dipahami pakar hukum tata negara.

Bagi kepentingan pendidikan warga negara, dalam hal ini pendidikan seumur hidup yang materinya ditimba dari pernyataan dan sepak terjang para elite, publik sangat berkepentingan dengan sajian etis dan tawaran berpolitik yang disanggah akal sehat, yang konstruktif dan tak destruktif sehingga dari hari ke hari terjadi pematangan dan pendewasaan politik, terutama bagi kalangan awam yang perlu pencerahan dari tokoh-tokoh yang dikagumi.

Tuntutan terhadap tokoh publik yang memberikan suguhan etik kepada publik agaknya menjadi imperatif yang tak bisa ditunda-tunda bila komitmen berdemokrasi dari elite itu hendak diwujudkan dengan serius.*



Baca juga: KPU: penetapan calon terpilih tiga hari setelah rekapitulasi nasional
Baca juga: Pelaku ekonomi ikut serukan penolakan "people power"


 

Pewarta: Mulyo Sunyoto
Editor: Dewanti Lestari
Copyright © ANTARA 2019