Saya dan masyarakat di sini berterima kasih karena dari usaha sawit ini, setidaknya sudah tidak hidup susah.
Jakarta (ANTARA) - Menyusuri perkebunan kelapa sawit bagi orang awam memang sangat membingungkan. Semua arah dan petunjuk jalan terlihat sama. Sejauh mata memandang, hanya pohon kelapa sawit yang tampak simetris berjajar rapih antarsatu dengan yang lainnya.

Mobil double cabin menjadi kendaraan andalan untuk menjelajah perkebunan sawit milik PT Unggul Widya Teknologi Lestari (UWTL) yang berada di Kecamatan Baras, Pasangkayu, Sulawesi Barat ini.

Setelah lebih jauh lagi berkendara, rumah-rumah penduduk mulai terlihat dengan berbagai bentuk bangunan. Mulai dari rumah dengan aksen atap Tongkonan seperti rumah adat masyarakat Toraja, sampai yang bernuansa Bali dengan ukiran dan furnitur khas yang menghiasi gerbang rumah.

Meski berada di ujung jalan, rumah I Made Gunarta menarik bagi tiap pasang mata yang melihatnya. Gapura besar dengan ukiran khas Bali berwarna perak dan emas dengan pintu kayu jati di tengahnya, menampilkan kesan mewah saat memasuki rumah itu.

Di atas gazebo rumahnya, Made mengenang saat ia berserta 325 orang lainnya mengikuti program transmigrasi pada tahun 1988. Meninggalkan kampung halamannya di Nusa Penida untuk bergabung menjadi petani sawit, nyatanya menjadi keputusan yang mengubah nasib hidupnya 180 derajat.

"Di Bali hidup sudah susah. Minta sepatu ke orang tua saja susah. Akhirnya saya nekad. Ada informasi transmigrasi, daripada pahit di kampung lebih baik saya keluar cari nasib," kata pria berusia 55 tahun tersebut.

Made yang saat itu berusia 25 tahun, bergabung dengan PT UWTL sebagai petani plasma. Melalui program transmigrasi, perusahaan menyediakan lahan seluas dua hektare kepada tiap keluarga untuk ditanami kelapa sawit.

Tahun kelima saat kelapa sawit bisa dipanen, Made bisa mendulang hasil dan keuntungan dari pohon dengan sejuta manfaat tersebut. Jika dulu ia hanya mendapat upah Rp2.000 per bulan, kini paling sedikit Rp50 juta per bulan bisa didapatkan dari hasil tanam sawit.

Setelah tiga puluh tahun, dengan kerja kerasnya dari dua hektare lahan, ia kini telah memiliki kebun seluas 100 hektare dan melakukan ekspansi bisnis sawit di Kalimantan Tengah seluas 120 hektare. Ia juga sudah merambah ke budi daya sarang burung walet dan berencana usaha di sektor batu bara di wilayah Kalimantan.

Di kampung halamannya, Made juga telah membeli rumah di Denpasar, Bali, senilai Rp1,4 miliar. Namun lebih dari kekayaan materiil itu, ia sangat berterima kasih atas program transmigrasi ini. Perannya sebagai ayah dan tulang punggung keluarga dapat terlaksana dengan baik.

Dari bisnis sawit ini, Made yang bahkan tidak sampai mengenyam pendidikan SMA, berhasil menyekolahkan anak-anaknya sampai perguruan tinggi. Putra sulungnya sudah lulus S2 jurusan Ekonomi Bisnis, sementara anak kedua telah menjadi dokter. Anak ketiganya masih menempuh pendidikan tinggi dan anak terakhir masih duduk di bangku SMP.

"Saya dan masyarakat di sini berterima kasih karena dari usaha sawit ini, setidaknya sudah tidak hidup susah. Sekarang tinggal anak-anak kami yang meneruskan usaha," katanya.


Dimulainya peradaban dari kelapa sawit
Tiga dekade lalu, lahan perkebunan UWTL dengan luas HGU 8.939 hektare ini masih berupa hutan belantara. Penduduk asli masih terkonsentrasi di pantai, bekerja sebagai nelayan dengan makanan pokok berupa sagu.

Pola perekonomian pun masih tradisional karena masyarakat masih mengandalkan barter, atau bertukar hasil tangkapan ikan dengan pakaian atau barang lainnya. Tidak ada infrastruktur jalan karena hanya mengandalkan jalur laut untuk menuju Kabupaten Mamuju atau Kota Palu.

Melalui program pembangunan perkebunan kelapa sawit dengan pola PIRTrans (Perkebunan Inti Rakyat), PT UWTL telah siap menyediakan lahan masing-masing dua hektare bagi tiap keluarga transmigran yang bekerja sebagai pekebun plasma, atau bermitra dengan perusahaan.

Kuasa Direksi PT UWTL Mochtar Tanong mengatakan total transmigran yang didatangkan ke perkebunan ini sebanyak 3.070 kepala keluarga (KK), di mana Bali menjadi provinsi dengan transmigran terbanyak.

"Kami sebut mereka dengan miniatur Indonesia, karena semua suku ada, mulai dari Jakarta, Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, Bali, NTB, NTT. Warga lokal juga ada namun hanya sedikit," kata Mochtar.
Sekolah dasar yang dibangun di perkebunan sawit PT Unggul Widya Teknologi Lestari (UWTL) Kecamatan Baras, Pasangkayu, Sulawesi Barat. (ANTARA/Mentari Dwi Gayati)


Adanya industri kelapa sawit kini telah menyerap tenaga kerja lebih dari 17.000 orang dan mampu menciptakan perekonomian di wilayah sekitar, terlihat dari adanya pasar, bengkel dan toko yang dikelola masyarakat.

Infrastruktur seperti jalan telah tersambung hingga 807 kilometer, begitu juga dengan tempat ibadah, yakni masjid di 30 titik, gereja 20 titik dan pura 10 titik. Sementara itu, sarana sosial yang telah dibangun antara lain satu poliklinik, 10 puskesmas, dan 25 sekolah dari TK sampai SMA.


Peran sawit dalam pengentasan kemiskinan
Industri kelapa sawit termasuk dalam industri padat karya karena telah mempekerjakan 16 juta orang di Indonesia, baik petani kecil maupun pemilik lahan besar. Setidaknya 10 juta penduduk keluar dari garis kemiskinan karena ekspansi bisnis sawit.

Pengentasan kemiskinan menjadi tujuan pertama dalam Sasaran Pembangunan Berkelanjutan (Sustainability Development Goals/SDGs) yang dicanangkan Persatuan Bangsa-Bangsa sejak 2015.

"Walau Jawa lebih banyak industri, penurunan tingkat kemiskinan di daerah penghasil minyak kelapa sawit turun lebih cepat. Sangat erat kaitannya dengan SDGs. Pencapaian Indonesia adalah nomor 1, yakni 'No Poverty'," tegas Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution dalam acara Briefing Diskriminasi Uni Eropa (20/3).

Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia mencatat dibukanya perkebunan kelapa sawit di daerah rural, telah meningkatkan taraf penghasilan masyarakat setempat. Sebesar 41 persen perkebunan di Indonesia dimiliki oleh 2,5 juta petani kecil kelapa sawit, yang memperoleh penghasilan 7 kali lebih besar dibandingkan petani komoditas lainnya.

Adanya diskriminasi Uni Eropa terhadap minyak kelapa sawit Indonesia, ini tidak hanya mengancam 16 juta lebih pekerja yang menggantungkan kehidupannya pada industri ini, tetapi juga menghambat Indonesia terhadap target perekonomian pada 2030 mendatang.

Saat ini, Indonesia menjadi penghasil terbesar minyak kelapa sawit di dunia dengan volume sebesar 46 juta ton per tahun. Meski saat ini harga minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) sedang tertekan, nyatanya komoditas ini telah memberikan devisa sebesar 20,54 miliar dolar AS (data GAPKI Tahun 2019)

"Di tahun 2030, Indonesia diproyeksikan menjadi negara dengan perekonomian terbesar kelima di dunia. Bagaimana bisa kita capai kalau sawit terus diserang," kata Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan.

Baca juga: Menko Perekonomian: Indonesia-UE akan bentuk tim bersama terkait sawit
Baca juga: Kementan integrasikan data perizinan sawit lewat "Siperibun"
Baca juga: Perusahaan sawit UWTL replanting 350 ha tahun ini

Editor: M Razi Rahman
Copyright © ANTARA 2019