Jakarta (ANTARA) - Konflik kepemimpinan di Dewan Perwakilan Daerah (DPD) masih berlanjut, setelah Oesman Sapta Odang mengucapkan sumpah selaku Ketua DPD RI Periode April 2017 - September 2019.

Kali ini Gusti Kanjeng Ratu Hemas mengajukan permohonan sengketa kewenangan DPD itu ke Mahkamah Konstitusi (MK), untuk mencari penyelesaian masalah dualisme pimpinan lembaga tersebut.

Dalam perkara ini, Hemas bukanlah pemohon tunggal. Dia bersama dengan Farouk Muhammad yang menjabat sebagai Wakil Ketua DPD RI Periode 2014 – 2019, serta Nurmawati Dewi Bantilan yang menjabat sebagai Anggota DPD RI Periode 2014 – 2019, menjadi pemohon untuk perkara Sengketa Kewenangan Lembaga Negara yang teregistrasi dengan nomor 1/SKLN-XVII/2019.

Perkara ini kemudian menjadikan Oesman Sapta selaku Ketua DPD RI Periode April 2017 – September 2019, Nono Sampono selaku Wakil Ketua I DPD RI Periode April 2017 – September 2019, dan Darmawanti Lubis selaku Wakil Ketua II DPD RI Periode April 2017 – September 2019 sebagai termohon.

Hemas berharap MK dapat mengambil putusan siapa yang berhak menjalankan roda kepemimpinan DPD RI, setelah putusan Mahkamah Agung (MA) bernomor MA 20P/HUM/2017 dinilai Hemas belum secara jelas menyatakan siapa pimpinan DPD RI yang sah.


Sidang Pendahuluan

Pada sidang pendahuluan yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Aswanto dengan anggota Arief Hidayat dan Saldi Isra, Hemas dan pemohon lainnya diwakili oleh kuasa hukum Irmanputra Sidin.

Irman menyampaikan Oesman Sapta selaku termohon, sejak 4 April 2017 telah mengambil dan merugikan kewenangan konstitusional para pemohon yang diberikan oleh UUD 1945, khususnya ; Pasal 22C ayat (3), Pasal 22D ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), Pasal 23 ayat (2), Pasal 23E ayat (2), dan Pasal 23F ayat (1).

Irman menjelaskan bahwa DPD RI adalah lembaga negara yang terdiri dari unsur anggota DPD RI yang telah dipilih dari setiap provinsi melalui pemilihan umum.

Melalui proses pemilihan umum tersebut kemudian anggota DPD RI yang terpilih dari tiap provinsi melakukan pemilihan ketua pimpinan dengan mengikuti masa jabatan keanggotaannya, sebagaimana diatur dalam Peraturan Tata Tertib DPD RI Nomor 1 Tahun 2014.

Selanjutnya, dibentuklah alat kelengkapan lain guna mendukung kinerja pimpinan dalam menjalankan lembaga selama lima tahun.

"Sedangkan pihak termohon adalah lembaga DPD dengan pimpinan baru dengan masa jabatan 2,5 tahun, yakni April 2017 – September 2019, dan hal tersebut ditetapkan tanggal 4 April 2017 sebagai pimpinan setelah dikeluarkannya Putusan MA 20P/HUM/2017," ujar Irman.

Menurut Hemas dan pemohon lainnya, hal ini merupakan indikator sederhana bahwa telah terjadi pengambil alihan kewenangan kekuasaan secara tidak sah.

Lebih lanjut, Irman menjabarkan bahwa pengambilalihan ini terkait dengan tidak dapat terpisahkannya antara pimpinan dengan kelembagaan, selama pimpinan belum ditetapkan secara sah, maka lembaga DPD RI pun belum dapat melaksanakan kewenangan konstitusionalnya.

Sebagai pimpinan lembaga majemuk, unsur mutlak yang harus dipenuhi adalah pimpinan yang sah secara hukum, jelas Irman.

Hal ini dikarenakan pimpinan merupakan satu-satunya alat kelengkapan yang bisa memimpin sidang DPD RI dan menyimpulkan hasil sidang untuk diambil keputusan serta menyampaikan laporan kinerja dalam sidang paripurna DPD RI sesuai Pasal 261 UU MD3.

Dengan munculnya Oesman selaku pimpinan DPD, maka menyebabkan terjadinya dua lembaga negara atau kloning sehingga berujung pada sengketa dalam melaksanakan kewenangan antara Hemas dengan Oesman.

Selain itu, Irman menjabarkan bahwa jika kemudian muncul pimpinan lain selain pimpinan yang sah, maka kelembagaan itu otomatis akan terkloning.

Masing-masing pimpinan dapat membawa gerbong keanggotaan kelembagaan untuk melaksanakan kewenangan lembaga yang dapat menentukan barisan terlegitimasi politik diantara kedua kubu pimpinan.

Bagi pimpinan yang berhasil terlegitimasi, maka pimpinan tersebutlah yang akan menjalankan kewenangan konstitusional DPD RI meskipun kursi pimpinan diperolehnya dengan cara yang tidak sah.

Berdasarkan dalil yang dimohonkan, pada petitum, Hemas dan pemohon lainnya meminta supaya Mahkamah menyatakan sah para pemohon sebagai Pimpinan DPD RI Periode 2014 – 2019.

Selain itu, pemohon meminta agar Mahkamah memulihkan hak-hak mereka selaku ketua dan anggota dalam kedudukan dan harkat martabatnya dalam keadaan semula.

"Menyatakan termohon tidak memiliki kewenangan konstitusional untuk menjalankan kewenangan DPD RI serta menyatakan tidak sah dan batal demi hukum Termohon sebagai Pimpinan DPD RI Periode April 2017 – September 2019," ujar Irman.


Tidak Berkedudukan Hukum

Oesman Sapta kemudian angkat bicara ketika diminta menanggapi permohonan Hemas di MK tersebut. Menurut Oesman Hemas dan para pemohon lainnya sudah tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan sengketa kewenangan lembaga negara di MK.

Oesman mengatakan hal ini disebabkan karena Hemas telah diberhentikan untuk sementara waktu dari DPD RI sejak awal Januari 2019, sehingga Hemas dinilai sudah tidak memiliki kekuatan untuk tetap diakui sebagai pimpinan DPD RI.

"Hemas sudah tidak memiliki kedudukan hukum," ujar Oesman.

DPD RI telah memberhentikan Hemas dengan alasan bahwa yang bersangkutan sudah lebih dari tujuh kali tidak mengikuti rapat paripurna DPD RI tanpa memberikan alasan.

Menurut Oesman, pemberhentian Hemas dilakukan sudah sesuai prosedur yang dijalankan oleh Badan Kehormatan DPD RI.

Badan Kehormatan sendiri sudah beberapa kali memanggil Hemas untuk dimintai klarifikasi perihal ketidakhadirannya, namun Hemas tidak pernah memenuhi panggilan Badan Kehormatan.

Di sisi lain Hemas mengakui bahwa pemberhentian dirinya disebabkan karena beberapa kali tidak menghadiri sidang paripurna DPD RI.

"Saya enggan mengikuti Sidang Paripurna, karena takut kalau saya hadir akan dinilai telah mengakui kepemimpinan Pak Oesman," ujar Hemas.

Dualisme kepemimpinan ini masih terus bergulir, padahal pemilihan umum akan segera digelar pada 17 April 2019 sehingga rakyat akan kembali memilih siapa yang akan mewakili mereka untuk menunjuk pimpinan DPD RI yang menjabat untuk periode selanjutnya.

Siapapun yang menjabat sebagai wakil rakyat, hendaknya dia yang dipilih untuk mampu mendengar aspirasi rakyat, mampu melihat kesulitan rakyat, dan mampu memperjuangkan kesejahteraan serta keamanan rakyat.

Pewarta: Maria Rosari Dwi Putri
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2019