Jakarta (ANTARA) - Ombudsman Republik Indonesia dan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) meminta agar pemerintah membentuk Badan Otoritas Reforma Agraria (BORA) sebagai lembaga yang memiliki kewenangan penuh terhadap kebijakan reforma agraria.

Dalam audiensi bersama Ombudsman, KPA menilai bahwa Presiden harus segera membentuk Badan Otoritas Reforma Agraria sebagai konsesus nasional yang bersifat sementara atau "ad-hoc", melibatkan antarsektor lembaga dan kredibel untuk mengoptimalkan reforma agraria, khususnya terkait redistribusi tanah dan penyelesaian konflik pertanahan.

"Lembaga ini harus kredibel dan langsung dipimpin oleh Presiden sendiri. Dengan kewenangannya, masalah-masalah lintas sektoral bisa diambil keputusannya," kata Sekretaris Jenderal KPA Dewi Kartika di Kantor Ombudsman Jakarta, Senin.

Dewi menjelaskan bahwa pelaksanaan reforma agraria tidak bisa hanya diserahkan lembaga kementerian terkait, dalam hal ini Kemenko Perekonomian sebagai leading sector dan Kementerian Agraria dan Tata Ruang sebagai gugus tugas pelaksanaan.

Menurut dia, masalah agraria menyangkut banyak sektoral karena di dalamnya bersinggungan dengan kawasan hutan, tambang, perkebunan, pesisir kelautan, infrastruktur dan properti. Oleh karena itu, lembaga yang dibentuk harus memiliki jangka waktu, yakni bersifat ad-hoc.

Dengan demikian, Badan Otoritas Reforma Agraria juga harus berkoordinasi tidak hanya dengan Kementerian ATR, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan saja, tetapi juga dengan Badan Pemeriksa Keuangan, Kementerian Keuangan, Mahkamah Agung, Kejaksaan Agung, Kepolisian, dan DPR RI.

Senada dengan itu, Anggota Ombudsman RI Alamsyah Saragih, mengatakan BORA sebagai konsesus nasional diperlukan agar agenda reforma agraria dapat terlaksana dengan baik sesuai tujuannya.

"Perlu inisiatif Presiden sebagai pemegang kekuasaan tertinggi untuk membangun konsesus nasional. Di dalamnya ada badan legislati, Mahamah Agung, termasuk OJK. Ini penting karena untuk menjaga iklim usaha," kata Alamsyah.

Selain itu, Ombudsman dan KPA juga mendesak agar pemerintah membuka informasi seluas-luasnya kepada publik dan mengevaluasi konsesi-konsesi perusahaan perkebunan negara maupun swasta (HGU, HGB, ijin lokasi, dsb).

Hal itu berguna mendorong sistem pertanahan yang transparan. Keterbukaan ini juga dapat menjadi jalan bagi pencegahan dan penyelesaian konflik serta rencana mengurangi ketimpangan yang telah terjadi.

"Keterbukaan informasi adalah prasyarat dasar untuk reforma agraria yang akuntabel. Informasi seperti penguasaan lahan konsesi skala besar berupa HGU harus bisa diakses masyarakat," kata Alamsyah.

Baca juga: Ombudsman: reforma agraria belum mampu selesaikan konflik lapangan
Baca juga: Serikat Petani Indonesia dukung Jokowi lanjutkan reforma agraria

Pewarta: Mentari Dwi Gayati
Editor: Subagyo
Copyright © ANTARA 2019