oleh Arnaz Firman *)

Lagi-lagi masyarakat harus mendengar kisah sedih tentang nasib penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), setelah petugas lembaga antirasuah ini yang bernama Novel Baswedan dianiaya pada 2017 dan hingga kini kasusnya belum juga terungkap.

Pada Minggu dinihari, 3 Januari 2019, di Jakarta, dua karyawan atau penyidik KPK yang sedang menjalankan tugasnya dianiaya saat sedang menyaksikan kegiatan pejabat pemerintahan daerah yang diduga keras adalah Gubernur Papua Lukas Enembe di sebuah hotel.

Juru Bicara Febri Diansyah mengatakan kedua penyidik KPK itu sedang menjalankan tugas resminya. Tiba-tiba ada beberapa orang yang diperkirakan adalah karyawan Pemda Provinsi Papua mendatangi mereka dengan melancarkan tuduhan memotret Lukas Enembe tanpa izin.

Akan tetapi Febri Diansyah mengatakan bahwa kedua penyidik lembaga antirasuah ini sedang menjalankan tugas resmi sehingga tidak patut dikeroyok dan dianiaya.

KPK kemudian minta Kepolisian Republik Indonesia (Polri) untuk menyelidiki dan menyidik kasus tindak kekerasan tersebut.

Karena itu Kepala Divisi Hubungan Masyarakat Polri Inspektur Jenderal Polisi Muhammad Iqbal menegaskan bahwa pihaknya sudah meneliti kasus penganiayaan ini.

Jenderal berbintang dua ini mengungkapkan bahwa pihaknya sudah mulai bergerak misalnya dengan melakukan gelar perkara guna mengetahui apakah benar telah terjadi penganiayaan atau tidak terhadap penyidik KPK itu yang disebut-sebut sedang memantau gerak-gerik pejabat tinggi Pemda Provinsi ini.

Masyarakat tentu berharap Mabes Polri bergerak cepat untuk mengungkap atau membongkar habis ulah tak bertanggung jawab itu apalagi ini bukan kasus kekerasan yang pertama kalinya yang menimpa petugas lembaga resmi ini.

Rakyat Indonesia tentu dengan mudah bisa berpendapat bahwa tentu ada "sesuatu", sampai-sampai penyidik KPK harus turun tangan memantau kegiatan Gubernur Papua yang sedang menjamu atau dijamu oleh seseorang, apalagi kejadian itu berlangsung pada malam hari atau bahkan dini hari.

Karena peristiwa yang sama sekali tidak mengenakkan itu telah terjadi, di tubuh KPK kemudian muncul kembali gagasan untuk membentuk sebuah satuan kerja khusus, misalnya satu direktorat tersendiri untuk mengawasi kegiatan para penyidik saat sedang menjalankan tugas-tugas resmi mereka.

Jika kembali ke kasus lama yang menimpa penyidik senior Novel Baswedan pada 2017, maka masyarakat tentu akan teringat bahwa dia diserang setelah melaksanakan shalat Subuh di sebuah masjid di dekat rumahnya.

Tiba-tiba Novel Baswedan didatangi oleh beberapa orang yang tak dikenal yang kemudian menyiramkan cairan berbahaya seperti air keras ke matanya.

Gara-gara kejadian kekerasan ini, Novel sampai harus dirawat di sebuah rumah sakit di negara tetangga Singapura dengan harapan matanya bisa disembuhkan. Akan tetapi sampai sekarang rakyat harus menerima kenyataan bahwa kasus kekerasan tak juga terbongkar tuntas.

Beberapa orang yang diduga keras sebagai pelakunya harus dilepas karena diduga tak terkait dengan penyerangan Novel ini.

Yang dilakukan aparat keamanan hingga saat ini hanyalah membentuk sebuah tim yang independen untuk bisa membongkar tindak kekerasan tersebut.

Rakyat tentu berharap musibah yang dialami Novel Baswedan dan juga penyidik-peyidik KPK lainnya bisa dibongkar tuntas oleh aparat penegak hukum.

KPK walau bagaimanapun juga masih menjadi lembaga penegak hukum yang paling dihormati dan disegani oleh rakyat Indonesia, kecuali para koruptor dan pencuri uang negara.

Ratusan orang Indonesia juga pasti akan terus mengingat bahwa ada segelintir wakil rakyat di lembaga negara Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang dengan secara sistematis ingin "mengebiri" atau mengurangi kewenangan lembaga antirasuah ini.

Bahkan ada seorang wakil ketua DPR yang terus lantang berbicara bahwa dia memiliki bukti bahwa KPK adalah sebuah lembaga yang juga memiliki "setumpuk dosa" atau kesalahan sehingga kewenangannya patut untuk dibatasi semaksimal mungkin.



Terbongkarkah?

Penyerangan atau penganiayaan sejumlah penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi merupakan bukti yang amat kentara dan tak bisa dibantah bahwa KPK masih tetap dijadikan lembaga yang paling ditakuti oleh para pencoleng uang rakyat ataupun uang negara.

Mereka pasti akan menempuh segala cara agar "perampokan" uang negara yang mereka lakukan tak terbongkar.

Rakyat Indonesia dari Sabang sampai Merauke tentu sudah melihat berapa banyak gubernur, wali kota, serta bupati yang tega "mencuri" uang rakyat.

Selain itu, ratusan anggota DPR RI, DPD RI hingga DPRD provinsi, kota dan kabupaten, yang telah diseret ke meja hijau karena terbukti secara meyakinkan telah ikut "menikmati" uang rakyat dengan cara tidak benar bersama segelintir pengusaha.

Sebut saja nama mantan Ketua DPD Irman Gusman, mantan Ketua DPR Setya Novanto, mantan Sekjen Partai Golkar yang juga mantan Menteri Sosial Idrus Marham. Belum lagi mantan anggota DPR Angelina Sondakh dan Mohammad Nazaruddin yang telah diseret ke bui.

Masyarakat juga populer dengan nama Eni Saragih, anggota DPR ang terseret kasus pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Riau I. Masih ada setumpuk anggota DPRD dari berbagai daerah seperti DPRD Sumatera Utara yang terbukti secara sah dan meyakinkan oleh KPK ikut "menikmati" hasil korupsi oleh mantan Gubernur Sumut Gatot Pudjo Subroto.

Karena itu, masyarakat tentu sangat berharap kepada Kapolri Jenderal Polisi Tito Karnavian utuk segera membongkar kasus penyerangan terhadap dua penyidik KPK beberapa hari lalu.

Rakyat pasti akan tenang dan senang jika kasus penganiayaan ini terbongkar tuntas terlepas dari dugaan terkait atau tidaknya hal itu dengan Gubernur Papua Lukas Enembe.

Rakyat Indonesia pasti mendambakan suatu saat akan bebas dari tindak pidana korupsi oleh siapa pun dan berapa pun nilainya, sekalipun sulit membayangkan kemungkinan bakal hilang atau hapusnya korupsi uang negara ini.

Di sisi lain, rakyat tentu sangat boleh berharap lembaga antirasuah KPK ini akan terus kokoh berdiri supaya tak terdengar lagi ada pejabat negara yang selama ini dipuja-puji sebagai orang yang terhormat dan baik, namun ternyata akhirnya masuk penjara karena melakukan tindak pidana korupsi.*

*) Penulis adalah wartawan LKBN Antara tahun 1982-2018, pernah meliput acara-acara kepresidenan tahun 1987-2009.


Baca juga: Dua penyelidik KPK dianiaya saat bertugas

 

Pewarta: -
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2019