Ternate (ANTARA News) - Pelaksanaan pemilihan kepala daerah (pilkada) dan pemilu legislatif (pileg) di Maluku Utara selama ini selalu diwarnai Pemungutan Suara Ulang (PSU) baik atas Rekomendasi Bawaslu maupun putusan Mahkamah Konstitusi.

Pada Pilkada Maluku Utara (Malut) 2018 misalnya, Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan PSU di tiga daerah, yakni Kecamatan Sanana, Kabupaten Kepulauan Sula, Kecamatan Taliabu, Kabupaten Pulau Taliabu dan di enam desa di Kecamatan Kao Teluk, Kabupaten Halmahera Utara.

Itu lah sebabnya provinsi yang berpenduduk 1,2 juta jiwa ini mendapat julukan sebagai daerah langganan PSU. Julukan yang menggambarkan potret buram pelaksanaan demokrasi.

Selalu terjadinya PSU di Malut dalam pelaksanaan pilkada dan pileg, sesuai pengamatan sejumlah kalangan di Malut, seperti pemerhati politik Safrudin erat kaitannya dengan rendahnya kualitas penyelenggara pemilu, khususnya yang ada di tingkat bawah seperti Panitia Pemungutan Suara (PPS) dan Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK).

Rendahnya kualitas penyelenggara pemilu di tingkat bawah itu, merupakan hasil dari proses rekrutmennya yang terkesan hanya mengendepankan persyaratan adminstrasi tanpa menitikberatkannya pada faktor wawasan pengetahuan dan kapasitas kepribadian.

Kondisi itu diperburuk lagi dengan tidak maksimalnya pelaksanaan sosialisasi dan pelatihan mengenai semua aturan pelaksanaan pemilu, baik Undang-Undang maupun Peraturan KPU yang dilakukan penyelenggara pemilu di tingkat atas kepada mereka.

Tidak jarang pula ada penyelenggara pemilu di tingkat bawah yang merupakan titipan dari peserta pemilu, misalnya dari calon kepala daerah untuk pilkada, sehingga ketika mereka melakukan tugas menghalalkan segala cara untuk kepentingan calon kepala daerah yang bersangkutan.

Safrudin juga melihat rendahnya integritas penyelenggara pemilu juga menjadi faktor penyebab terjadinya PSU, karena mereka dengan mudahnya mau melakukan sesuatu untuk kepentingan pihak tertentu dengan imbalan uang, walaupun harus melanggar aturan.

Dalam penghitungan suara misalnya, penyelenggara pemilu yang tidak memiliki integritas dengan senang hati mau mengubah hasil perhitungan suara, karena ada imbalan uang atau janji lainnya dari pihak yang menginginkan perubahan hasil penghitungan suara itu.

Masyarakat sebagai pemilih memiliki kontribusi pula terhadap terjadinya PSU, misalnya menggunakan hak pilih lebih dari satu kali di Tempat Pemungutan Suara (TPS) yang berbeda di suatu kelurahan/desa atau menggunakan hak pilih padahal tidak memenuhi syarat.

Praktik seperti itu biasanya dilakukan oleh masyarakat yang terlalu fanatik mendukung calon kepala daerah atau calon anggota legislatif tertentu, biasanya karena sebagai pendukung atau karena politik uang.

Faktor lainnya memicu terjadinya PSU adalah ketidaknetralan kepala daerah dan Aparatur Sipil Negara (ASN), yang memanfaatkan kekuasaan dan kewenangan untuk mendukung calon kepala daerah atau calon anggota legislatif tertentu.

Harus Dihilangkan

Julukan Malut sebagai daerah langganan PSU harus dihilangkan, karena selain merusak citra Malut, juga menodai nilai-nilai demokrasi dimana kejujuran dan ketaatan terhadap aturan harus dilaksanakan dengan sungguh-sungguh.

PSU juga dapat memicu terjadinya konflik di masyarakat yang tidak jarang sampai menimbulkan jatuhnya korban jiwa dan kerugian materi yang besar serta bisa mengurangi minat pengusaha untuk datang berinvestasi.

Kerugian lainnya dari adanya PSU adalah pemborosan keuangan negara, karena pelaksanaan PSU membutuhkan dana yang cukup besar, terutama jika PSU Mencakup wilayah yang luas.

Ketua KPU Malut, Syahrani Somadayo, tidak menampik rendahnya kualitas penyelenggara pemilu di tingkat bawah sebagai salah satu pemicu terjadinya PSU dalam pelaksanaan pilkada atau pileg di Malut selama ini.

KPU Malut sebenarnya sudah melakukan sosialisasi dan pelatihan kepada seluruh penyelenggara pemilu di tingkat bawah dalam setiap menghadapi pilkada atau pileg, tetapi mungkin karena kurang maksimal, sehingga hasilnya belum seperti yang diharapkan.

KPU Malut akan mengupayakan pada pelaksanaan pileg dan pilpres tahun 2019 tidak ada lagi PSU di Malut, baik atas Rekomendasi Bawaslu maupun putusan MK, agar daerah ini tidak lagi mendapat julukan daerah langganan PSU.

Untuk mewujudkan itu, KPU akan konsisten menerapkan semua ketentuan yang berlaku, selain itu semua penyelenggara mulai dari tingkat provinsi sampai di tingkat kelurahan/desa harus melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya secara baik.

Syahrani Somadayo mengharapkan dukungan dari semua pihak terkait, khususnya peserta pileg dan pilpres untuk mewujudkan pelaksanaan pileg dan pilpres secara aman dan tertib serta sesuai aturan main, sehingga tidak memungkinkan terjadinya PSU.

Peserta pileg dan pilpres, termasuk pihak terkait lainnya diharapkan tidak berupaya mempengaruhi penyelenggara pemilu untuk melakukan sesuatu yang tidak sesuai dengan ketentuan, apalagi kalau upaya mempengaruhi penyelenggara pemilu itu disertai dengan intimidasi atau tawaran materi.

Para kepala daerah di Malut, terutama dari pengurus partai politik (parpol) atau menjadi tim pemenangan parpol atau pasangan capres/cawapres diharapkan pula untuk tidak memanfaatkan kekuasaan atau kewenangan mereka untuk keuntungan parpol atau pasangan capres/cawapres yang mereka dukung.

Netralitas ASN dan TNI/Polri harus dilaksanakan secara konsisten dalam pelaksanaan pileg dan pilpres, karena kalau mereka tidak netral tidak saja menodai pelaksanaan demokrasi di Malut, juga bisa memicu terjadinya pelanggaran pemilu yang bisa berakhir dengan pelaksanaan PSU.

Pada pelaksanaan pileg dan pilpres yang tinggal lima bulan lagi, Malut diharapkan bisa menghilangkan julukan sebagai daerah langganan PSU, juga bisa menjadi daerah dengan partisipasi pemilih yang tinggi, sebab selama ini partisipasi pemilihnya kurang dari 70 persen.

Baca juga: Menakar representasi caleg perempuan Sulsel
Baca juga: Mempertaruhkan kebenaran faktual dalam politik



 

Pewarta: La Ode Aminuddin
Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2018