Tanggal 2 Desember 2018 bisa dikenang masyarakat Indonesia sebagai salah satu hari yang bermakna karena telah berlangsung Reuni Akbar 21 untuk mengenang jatuhnya gubernur Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok.

Begitu banyaknya warga dari beberapa kota di Tanah Air yang tumpah ke jalan-jalan di ibu kota Jakarta saat itu.

Panitia reuni sebelumnya berulang kali mengaku atau mengklaim bahwa jutaan orang akan menghadiri acara yang dipusatkan di Taman Monumen Nasional alias Monas. Tentu berbagai pihak juga bisa mengaku bahwa "hanya ratusan ribu" orang Indonesia yang menghadiri acara ini.

Apa pun yang terjadi, acara ini berlangsung damai. Tidak ada bentrokan. Tak ada tidak kekerasan akibat ulah kekerasan baik diantara sesama peserta reuni dan bahkan tidak ditemukan adanya penyusup- penyusup yang ingin memancing di "air keruh".

Para peserta yang memaka baju putih-putih khas Islam baik wanita maupun pria semuanya berbaur sehingga benar-benar bersatu. Sejak Sabtu malam (1/12) begitu banyak orang yang datang ke Monas dan juga Mesjid Istiqlal. Mereka membacakan doa sambil mengucapkan ayat-ayat suci Al Qur`an.

Kegiatan ini sering dituduh untuk mengumpulkan suara bagi seorang calon presiden dalam menghadapi Pemilihan Presiden pada tanggal 17 April 2019. Capres tersebut memang datang. Namun, dia tahu diri sehingga tak berkampanye sedikitpun sesuai permintaan panitia agar acara ini tak dijadikan sarana "mencari suara".

Beberapa bulan sebelum acara berlangsung sempat muncul wacana bahwa akan ada kegiatan tandingan terutama yang dilakukan sesama alumni acara pada 2 Desember 2016. Namun, Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia den Kepolisian Daerah Metro Jaya amat sukses membatalkan acara tandingan tersebut.

Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan juga datang ke Monas dan ketika berpidato pada Minggu pagi menyampaikan harapannya agar kegiatan ini berlangsung secara damai dan aman.

Selain Anies sebagai salah satu pihak yang mendukung acara ini maka juga tampak beberapa tokoh masyarakat terutama pimpinan partai politik yang bisa dianggap sebagai "kelompok oposisi" terhadap pemerintah seperti Amien Rais, juga datang tokoh Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Hidayat Nurwahid.

Apa pun komentar orang baik yang bersikap positif maupun yang mengritik Reuni 21 maka betapapun juga panitia patut diacungi jempol karena acara ini berlangsung damai, tertib serta aman. Para peserta mulai membubarkan diri mulai sekitar pukul 11.00 WIB hingga setelah berlangsungnya Shalat Dzuhur yang dimulai sekitar pukul 11.50 WIB.

Ratusan ribu peserta mulai meninggalkan kawasan Monas untuk pulang dengan berjalan kaki, naik motor, mobil hingga bus. Ada juga yang pulang dengan menggunakan kereta api komuter. Bahkan tak sedikit yang pulang dengan menggunakan pesawat udara.

Sekitar 20.000 personel Kepolisian Republik Indonesia ditambah Tentara Nasional Indonesia (TNI) akhirnya bisa menarik napas lega karena setelah melakukan penjagaan ketat -- walaupun tak begitu kentara-- akhirnya massa pulang dengan tertib dan bahasa halusnya " terkendali".

Akhirnya suasana di Jakarta terutama di sekitar Monas dan juga Istana Kepresidenen berlangsung normal kembali. Tak ada tindak kekerasan seperti bentrokan antara kelompok pendukung Reuni Akbar 212 dengan "kelompok lawan".
 
Umat muslim mengikuti aksi reuni 212 di Jalan MH Thamrin, Jakarta, Minggu (2/12/2018). ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan/wsj.


Bermaknakah?
Panitia pasti harus bekerja keras supaya kegiatan ini berlangsung lancar, tertib serta aman. Para pengisi acara pasti sudah diarahkan untuk tidak "aneh-aneh" atau melawan hukum.

Karena acara ini bisa saja dianggap sebagai tindakan oposisi terhadap pemerintah, maka tentu jajaran panitia harus bekerja ekstra keras agar tak terjadi hal-hal yang tak dinginkan misalnya perkelahian atau sediktnya saling melotot.

Suasana damai pun terpancar mulai dari kegiatan persiapan, saat berlangsung hingga saat massa yang mengenakan pakaian putih-putih khas Islam membubarkan diri.

Ternyata sebuah acara akbar bisa juga berlangsung tanpa insiden, tanpa bentrokan apa pun juga. Polri dan TNI memang telah bekerja keras mulai dari melakukan pengamanan secara fisik hingga melancarkan operasi intelijen guna mendeteksi kemungkinan adanya tindak kekerasan.

Aparat keamanan tentu saja berhak menarik lapas lega setelah bekerja tanpa lelah selama 24 jam.

Akan tetapi, paling patut dipuji dan dihargai adalah ratusan ribu bahkan jutaan orang yang datang ke Monas, Mesjid Istiqlal dan sekitarnya. Hampir bisa dipastikan mereka datang dengan sikap damai, tak ingin bentrokan atau tindakan kekerasan lainnya apa pun bentuknya. Mereka datang dengan sikap yang dalam agama Islam disebut tawadhu atau rendah hati.

Sekalipun mungkin ada yang datang hanya untuk "melihat suasana` saja, sikap ini pun patut dipuji karena pasti atau hampir bisa dipastikan mereka tak ingin berkelahi, saling melotot atau apa pun istilahnya.

Niat baik untuk bersilaturahim telah terwujud untuk saling berkenalan dengan ratusan, ribuan, ratusan ribu orang yang sebelumnya tak dikenal sama sekalipun.

Persaudaraan diantara sesama bangsa Indonesia telah terbukti secara nyata. Bahkan beberapa diplomat yang ditanya Antara merasa heran juga bahwa acara yang semula dikhawatirkan akan berakhir dengan lahirnya tindak kekerasan ternyata tetap saja terjadi dengan aman tanpa menimbulkan persoalan keamanan apa pun juga.
 
Umat muslim mengikuti aksi Reuni Akbar 212 di Bundaran Bank Indonesia, Jakarta, Minggu (2/12/2018). ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan/wsj.

Baca juga: Polri apresiasi pelaksanaan Reuni 212 kondusif
Baca juga: Perputaran ekonomi dari "Reuni Akbar 212"


Pemilu Selayaknya Aman
Pada tanggal 17 April 2019 di seluruh Tanah Air akan berlangsung pemilihan presiden dan wakil presiden yang berbarengan dengan pemilihan anggota DPD.RI, DPR.RI hingga DPRD tingkat satu dan dua. Acara berskala "raksasa" ini diperkirakan bakal diikuti sekitar 191 juta pemilih di 34 provinsi dan beberapa juta warga negara indonesia yang sedang tinggal di luar negeri.

Komisi Pemlihan UMum alias KPU ditambah dengan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) beserta Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) diserta Polri dan TNI tentu sudah bekerja keras.

Kementerian Dalam Negeri juga pasti sudah berkeringat habis-habisan untuk mendukung pesta demokrasi lima tahunan ini. Jadi, seluruh jajaran pemerintahan di tingkat pusat dan daerah sudah siap menyukseskan pesta demokrasi ini.

Akan tetapi seperti pada pemilu-pemilu sebelumnya tentu bisa diperkirakan bakal muncul "setumpuk" persoalan mulai dari kurangnya kertas suara, tinta yang amat dibutuhkan dalam proses pencoblosan, kampanye yang berbulan- bulan, saat pencoblosan, penghitungan suara hingga munculnya tuntutan dilakukan pemungutan dan penghitungan suara.

Jadi bisa dibayangkan bakal muncul setumpuk "pekerjaan rumah` menjelang, selama pemungutan suara hingga penghitungan suara. Namun, yang paling perlu diwaspadai adalah masa kampanye yang sudah mulai berlangsung sekarang ini dan berlangsung hingga awal bulan April 2019.

Saat kampanye maka amat besar peluang terjadinya bentrokan di antara para pendukung calon presiden dan wakil presiden hingga calon legislator.

Inilah saat- saat yang mendebarkan hati. Karena masih hampir lima bulan mendatang masa kampanye maka berbagai kemungkinan bentrokan adu otot diantara para pendukung bisa saja muncul. Sampai detik ini, praktis tidak terdengar bentrokan apa pun juga. Namun bisa saja menjelang masa puncak masa kampanye bisa muncul tindak kekerasan bakal muncul diantara para peserta kampanye.
 
Peserta Reuni Akbar 212 melaksanakan Sholat Tahajjud Berjamaah di Lapangan Monas, Minggu dini hari, mulai pukul 03.00 WIB (02/12/2018)/ (Aditya Ramadhan/Antara)


Apa yang harus dilakukan?
Para pimpinan partai politik, calon presiden dan wakil presiden, puluhan ribu calon wakil rakyat tentu bisa belajar dari kegiatan Reuni Akbar 212.

Pengarahan yang jelas dan ketat, pengawasan saat-saat kampanye, detik-detik pencoblosan suara yang diikuti dengan penghitungan suara hingga kemungkinan munculnya tuntutan bagi pemungutan suara ulang bisa saja muncul atau terjadi.

Disinilah pentingnya peran pimpinan partai politik, calon presiden-wapres serta semua pihak terkait untuk mengendalikan massa seperti pada reuni 212.

Jika para pendukung berhasil dikendalikan maka suasana aman hampir bisa dipastikan bisa muncul. Akan tetapi sebaliknya jika suasana aman dan terkendali sulit diwujudkan maka massa sulit sekali untuk diatur.

Karena itu peranan para pemimpin mulai dari tokoh parpol, calon presiden dan wakil presiden, calon- calon- calon wakil rakyat amat dibutuhkan untuk mengendalikan atau mengamankan massanya.

Rakyat pasti tidak menginginkan suasana panas atau hangat bisa muncul dan pemilihan umum mendatang. Para pemimpin harus benar- benar sadar bahwa yang dibutuhkan rakyat adalah cuma bisa mencari nafkah dengan tenang dan aman, memiliki rumah yang memadai, kemudian kehidupan ekonomi dan sosial budaya yang sedang- sedang saja hingga diberantasnya korupsi, kolusi serta nepotisme alias kKN.

Masyarakat tentu sadar bahwa akan ada terus orang kaya serta rakyat yang hidupnya pas- pasan. Kalaupun mereka harus hidup apa adanya tapi kalau terdapat suasana yang tenang maka rakyat pasti tidak akan cerewet atau banyak menuntut kepada para pemimpin ataupun tokoh-tokoh masyarakat.

Rasanya tuntutan hati dan perut rakyat itu tak berlebihan sedikitpun juga. Maka yang patut dijawab oleh semua pemimpin --pada tingkat apa pun juga-- adalah sanggup dan siapkah mereka untuk bersikap tawadhu atau rendah hati?
Baca juga: Reuni Akbar 212 aman, buktikan Indonesia damai
Baca juga: F-PKS apresiasi Reuni 212 berjalan damai

 




 

Pewarta: Arnaz F. Firman
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2018