Jakarta (ANTARA News) - Dua dekade pascareformasi bergulir, Indonesia belum mendapatkan momentum perbaikan bidang olah raga menyusul kemerosotan pretasi baik dalam kejuaraan multicabang olahraga maupun kejuaraan tunggal tingkat internasional.

Semangat keterbukaan, akuntabel, dan desentralisasi yang mewarnai seluruh bidang kehidupan masyarakat setelah 32 tahun pemerintahan Orde Baru berkuasa di Bumi Pertiwi tidak lantas mempengaruhi pembinaan pretasi atlet-atlet nasional.

Kalaupun ada prestasi atlet-atlet Merah-Putih dalam kejuaraan tunggal cabang olahraga, misal bulu tangkis, sepak bola, tinju, atau bahkan paralayang, seringkali gelar itu tidak berkesinambungan.

Bidang olah raga bahkan sama sekali tidak menjadi perhatian pemerintahan pasca-Orde Baru. Pemerintahan transisi yang dipimpin Presiden B.J. Habibie belum sempat menyentuh bidang olahraga menyusul pengelolaan ulang seluruh bidang kehidupan nasional setelah Presiden Soeharto mengundurkan diri pada 21 Mei 1998.

Pada pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid, Kementerian Bidang Pemuda dan Olah Raga bahkan dibubarkan. Kondisi itu masih berlanjut pada pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri.

Bidang olah raga mulai mendapatkan tempat lagi saat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memimpin Kabinet Indonesia Bersatu I pada 2004. Kabinet Indonesia Bersatu I menghidupkan lagi Kementerian Pemuda dan Olahraga.

Jika mengacu prestasi multicabang olah raga tingkat regional, capaian kontingen Garuda menampilkan pula hasil yang suram karena tidak ada lagi podium juara umum setelah menjadi tuan rumah SEA Games 1997, kecuali SEA Games 2011 ketika Indonesia kembali menjadi tuan rumah.

Tim Merah-Putih bahkan telah dipecundangi Thailand yang mengumpulkan total medali emas SEA Games 2.162 dibandingkan 1.752 emas yang dikumpulkan Indonesia.

Prestasi yang cukup menggembirakan justru muncul dari atlet-atlet difabel yang mengikuti ASEAN Para Games. Meskipun mengukir peringkat ketiga di tingkat regional, atlet-atlet olahraga disabilitas itu menampilkan geliat prestasi mereka terutama menuju tingkat Asia.

Hingga kini, semangat reformasi seakan belum benar-benar menyentuh bidang olah raga yang dibuktikan dengan peningkatan prestasi pada kejuaraan internasional.

Undang-Undang Nomor 3 tahun 2005 tentang Sistem Keolahragaan Nasional (SKN) pun agaknya belum mengantarkan semangat reformasi yang melahirkan prestasi olah raga dalam kejuaraan tingkat internasional.

Padahal, undang-undang  Sistem Keolahraga Nasional itu mengatur kewenangan bidang olah raga yang tidak hanya milik pemerintah pusat. Pengelolaan olah raga nasional telah dibagi kesejumlah lembaga seperti Komite Olahraga Nasional, Komite Olimpiade Indonesia, induk pengurus cabang olah raga, hingga pemerintah daerah.

Belum lagi federasi olah raga rekreasi, badan olah raga profesional, dan lembaga anti-doping, yang mempunya tugas masing-masing.

Momentum tuan rumah

Tahun ini Indonesia mendapatkan kesempatan istimewa dalam bidang olah raga karena menjadi tuan rumah dua pesta multi-cabang tertinggi di Asia sekaligus, yaitu Asian Games ke-18 dan Asian Para Games ke-3.

Kesempatan istimewa itu layak sebagai momentum kebangkitan olah raga nasional baik secara prestasi maupun  dari sisi industri, pembinaan dan rekreasi.

Sekretaris Kementerian Pemuda dan Olahraga Gatot S. Dewa Broto mengakui reformasi di bidang olahraga memang belum terasa bahkan setelah 20 tahun semangat transparansi, akuntabilitas, dan desentralisasi itu bergulir.

"Saat ini, kami sudah mulai menjalankan reformasi bidang olahraga seperti kesetaraan hak prestasi antara atlet nasional dengan atlet difabel nasional," ujar Gatot tentang langkah Menteri Pemuda dan Olah Raga Imam Nahrawi yang menyamakan bonus bagi atlet umum dan atlet para games.

Pembenahan sistem pengelolaan olahraga juga diwujudkan Kementerian Pemuda dan Olah Raga melalui penghapusan Satuan Pelaksana Program Indonesia Emas (Satlak Prima) yang mengawal pembinaan atlet-atlet senior cabang-cabang olah raga di Indonesia.

Kebijakan pembenahan sistem pengelolaan olah raga itu mendapatkan payung hukum berupa Peraturan Presiden No 95 tahun 2017 tentang Peningkatan Prestasi Olah Raga Nasional. Pasal 5 ayat 1 dan 2 dalam Perpres itu mengatur pengembangan bakat calon atlet berprestasi oleh Induk Organisasi Cabang Olah Raga dan Komite Paralimpiade Nasional (NPC).

Sementara, Komite Olah Raga Nasional Indonesia (KONI) bertugas membantu Menteri Pemuda dan Olah Raga dalam melakukan pengawasan dan pendampingan pelaksanaan pengembangan calon atlet berprestasi dalam Asian Games dan Asian Para Games oleh induk cabang olah raga ataupun NPC.

Kehadiran Perpres 95/2017 juga berarti tanggung jawab prestasi olah raga nasional dalam kejuaraan-kejuaraan internasional tidak hanya dibebankan kepada Menpora sebagai perumus dan penetap kebijakan peningkatan prestasi olah raga nasional. Pengurus induk cabang olah raga, NPC, serta KONI juga akan diminta pertanggungjawaban jika target prestasi tidak sesuai dengan hasil yang dicapai, terutama dalam Asian Games dan Asian Para Games.

Kemenpora selepas keikutsertaan dalam SEA Games Kuala Lumpur 2017 lantas memberikan anggaran pembinaan secara langsung kepada masing-masing pengurus induk cabang olah raga dan NPC, baik anggaran untuk atlet ataupun operasional kepengurusan mereka.

"Kami mendorong adanya transparansi karena esensi reformasi itu adalah transparansi," ujar Gatot tentang kewajiban pelaporan penggunaan anggaran pengurus induk cabang olahraga kepada Kemenpora sebagai penanggung jawab anggaran bidang olah raga.

Infrastruktur dan industri

Selain pemotongan sekat-sekat birokrasi dalam pembinaan olah raga, Kemenpora masih berharap pengelolaan olah raga secara profesional yang melibatkan pihak swasta, terutama dari sisi pendanaan.

"Banyak hal yang belum diatur dalam Undang-Undang Sistem Keolahragaan Nasional seperti infrastruktur dan seberapa jauh keterlibatan swasta dalam bidang olah raga," kata Gatot.

Infrastruktur olah raga, menurut Gatot, masih menjadi tanggung jawab pemerintah pusat dalam konteks itu Kementerian Pemuda dan Olah Raga.

"Jika infrastruktur masih dipegang pemerintah pusat, apa tidak sekalian dilakukan oleh Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat misalnya. Kami bisa titip sekalian saat KemenPUPERA mengerjakan infrastruktur utama seperti bandara, irigasi, atau jalan," ujar Gatot.

Indonesia meraih momentum prasarana olah raga dengan menjadi tuan rumah Asian Games ke-18. Berbagai pembangunan serta renovasi arena olahraga, terutama di komplek olah raga Gelora Bung Karno, Senayan Jakarta dan komplek olahraga Jakabaring, Palembang menjadi modal awal infrastruktur olah raga.

Permintaan keterlibatan pihak ketiga dalam pengelolaan olah raga nasional telah muncul ketika Menpora Imam Nahrawi meminta perusahaan-perusahaan baik badan usaha milik negara maupun swasta menjadi bapak angkat bagi induk cabang olah raga.

Namun, upaya itu hanya berasal dari satu sektor dan belum mendapatkan dukungan dari sektor lain terutama regulasi bidang ekonomi seperti insentif pajak ataupun dukungan promosi.

Wacana revisi Undang-undang Sistem Keolahragaan Nasional juga terus didengungkan Ketua Komite Olimpiade Indonesia Erick Thohir yang juga menjabat sebagai Ketua Panitia Penyelenggara Asian Games 2018 (INASGOC).

"Kami mengajak seluruh pemangku kepentingan untuk mulai membicarakan undang-undang olah raga setelah Asian Games. Kami berharap harmonisasi olah raga menjadi peran penting pembangunan Indonesia," kata Erick.

KONI bahkan telah mewacanakan revisi UU Sistem Keolahragaan Nasional sejak 2013. Ketua Umum KONI Pusat Tono Suratman telah meminta Komisi X DPR RI untuk merevisi UU Sistem Keolahragaan Nasional karena sudah tidak relevan dengan kondisi olah raga di Tanah Air.

Apapun langkahnya, Asian Games serta Asian Para Games 2018 menjadi momentum bagi Indonesia untuk menata ulang pengelolaan dan pembinaan olah raga nasional. Bangsa ini tentu ingin melihat para pahlawan-pahlawan baru olah raga dan bukan sekadar kisah-kisah klasik kejayaan olah raga nasional.

Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2018