Jakarta (ANTARA News) - Indonesia hingga saat ini belum mempunyai skema besar yang jelas dan sistematis untuk menangani terorisme meski sudah lama menjadi salah satu negara suaka besar bagi para pelaku kejahatan ekstrimisme bersenjata di Asia Tenggara, kata seorang peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).

"Sebagian besar kebijakan pemerintah untuk menangani terorisme cenderung reaktif," kata peneliti Amin Mudzakkir dalam sebuah diskusi pemaparan hasil kajian kekerasan ekstremisme oleh LIPI, di Jakarta, Rabu.

Sejak tahun 2000 Indonesia memang sering menjadi target serangan teror dalam bentuk bom maupun senjata api dengan 22 insiden yang tercatat. Artinya lebih dari setahun sekali negara ini mengalami serangan terorisme dengan korban ratusan orang.

Situasi ini tidak membuat pemerintah segera membentuk strategi besar yang komprehensif untuk mencegah berulangnya kejadian tersebut di masa mendatang, katanya.

Ia mencontohkan pengesahan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) No 2 tahun 2017 tentang Organisasi Masyarakat yang ditujukan sebagai dasar hukum untuk membubarkan organisasi radikal.

Menurut dia, Perpu yang baru saja disahkan menjadi undang-undang ini adalah langkah reaktif menghadapi tuntutan masyarakat, alih-alih bagian dari strategi besar penanggulangan terorisme.

"Perpu ini tidak mungkin sah menjadi undang-undang tanpa tekanan dari organisasi Islam terbesar di Indonesia, Nahdlatul Ulama, ini menunjukkan kalau pemerintah reaktif," kata dia.

Akibat dari tidak adanya skema besar ini, sulit bagi warga untuk menilai sejauh mana keberhasilan ataupun kegagalan pemerintah dalam memberantas radikalisme dan kekerasan yang menyertainya.

"Hingga kini kita tidak bisa mengevaluasi kinerja otoritas yang menangani radikalisme seperti Badan Nasional Penanggulangan Terorisme karena ukurannya tidak ada," kata dia.

Menurut Amin, Indonesia bisa mencontoh Inggris yang sejak tahun 2006 lalu punya skema besar anti-terorisme dan anti-radikalisme bernama "Contest" yang memayungi empat program turunan yaitu, Pengejaran, Pencegahan, Perlindungan, dan Persiapan.

Meski relatif tidak berhasil, yang diindikasikan dengan adanya 10 serangan teror sejak "Contest" diberlakukan dengan korban jauh lebih banyak dibandingkan dengan Indonesia, ia mengatakan strategi tersebut tetap penting demi keperluan evaluasi kinerja pemerintah.

Pewarta: GM Nur Lintang Muhammad
Editor: AA Ariwibowo
Copyright © ANTARA 2017