Jakarta (ANTARA) - Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai para pahlawan dan pastinya sesuatu yang besar akan dimulai dari hal-hal yang kecil.

Sebagai bagian kecil dari bangsa ini, Ditjen Imigrasi juga memiliki para pahlawan di antaranya Bapak Yusuf Adiwinata, Bapak Hoegeng Iman Santoso, Bapak Nichlany Soedardjo.

Setiap kita berkewajiban mengambil bagian untuk berkontribusi bagi keberlangsungan bumi Nusantara sesuai dengan potensi yang dimiliki.

Bertepatan dengan bulan lahirnya Pancasila, ditetapkan Peraturan Presiden (Perpres) No.39 Tahun 2019 tentang Satu Data Indonesia.

Jika ditelaah dari segi waktu antara kemerdekaan Indonesia hingga diterbitkannya Perpres, terdapat rentang waktu yang sangat lama.

Tentu dapat menimbulkan pertanyaan mengapa baru tahun 2019 perihal Satu Data Indonesia ditetapkan? Jawabannya tentu saja karena dipandang perlu ditetapkan suatu kepastian hukum dan kesatuan arah untuk mewujudkan Satu Data Indonesia.

Pasalnya, saat ini kita memasuki era "society 5.0", era di mana ketersediaan data yang akurat dan lengkap adalah suatu keniscayaan.

Di samping itu, kebijakan ini dapat dikatakan merupakan perluasan dari tugas Presiden sebagai Kepala Pemerintahan. Kausanya, pada bagian penjelasan ketentuan perundang-undangan tertinggi, tugas Presiden tersebut tidak dideskripsikan secara detail ataupun dikunci dengan uraian tertentu.

Ini mengilustrasikan betapa luasnya cakrawala berpikir The Founding Fathers (bapak bangsa Indonesia) negeri khatulistiwa.

Atau dapat juga dimaknai bahwa pada masa yang akan datang, terbuka peluang adanya inisiasi dari Presiden selaku Kepala Pemerintahan untuk menerbitkan kebijakan terbaru dalam rangka memenuhi kebutuhan publik akan ketersediaan ketentuan teraktual.

Perpres ini menjadi dasar hukum tertinggi bagi instansi Pemerintah dalam melaksanakan pengintegrasian data yang akan bermuara pada Satu Data Indonesia.

Kementerian/Lembaga (K/L) perlu bersinergi dan berkolaborasi secara bertahap dan berkesinambungan karena untuk sampai pada Satu Data Indonesia membutuhkan proses yang panjang dan lama.

Sedikit brainstorming mengenai urgensi data yaitu pada rapat pleno mengenai implementasi Instruksi Presiden No. 4/2022 tentang Percepatan Penghapusan Kemiskinan Ekstrem yang dipimpin Wakil Presiden beberapa waktu yang lalu.

Pada pertemuan tersebut dinyatakan bahwa Pemerintah sedang mempersiapkan pengintegrasian data kemiskinan dari beberapa K/L terkait.

Dalam rapat pleno juga disampaikan bahwa pemerintah masih mengupayakan akurasi data pendukung dan data spesifik terkait kemiskinan ekstrem.

Hal ini juga berarti bahwa ketersediaan data yang ada pada pemangku kepentingan K/L terkait belum akurat dan spesifik.

Dapat dibayangkan berapa juta penduduk miskin ekstrem yang dapat dientaskan bila K/L terkait memiliki data yang akurat pada saat dibutuhkan.

Kausanya, BPS mencatat jumlah penduduk miskin Indonesia per triwulan ketiga 2021 adalah sekitar dua puluh enam juta orang.

Dengan adanya data penduduk dalam kategori kemiskinan ekstrem maka pemerintah dapat memetakan, menyusun program penyaluran bantuan dan membuka akses bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat miskin ekstrem (bukan bermaksud mengangkat kemiskinan untuk kepentingan lain, namun semata-mata ingin mengatakan bahwa ketersediaan data yang berkualitas adalah penting).

Efek ketersediaan data akan berdampak signifikan terhadap kehidupan ekonomi penduduk miskin, korelasinya yaitu mayoritas penduduk miskin belum memiliki NIK (tidak terdaftar pada database), sehingga tidak memperoleh bantuan yang merupakan haknya.

Di sini tergambar secara jelas bahwa ketersediaan data yang akurat, lengkap dan terintegrasi ialah kebutuhan transenden.

Perpres tersebut mendapat respons yang positif dari Pimpinan K/L, Kepala Daerah Tingkat I dan II. Hal ini ditandai dengan dikeluarkannya ketentuan turunan dari Perpres dimaksud oleh Menteri, Pimpinan Lembaga. Gubernur, Bupati dalam kurun waktu antara 2019-2021.

Sekarang timbul pertanyaan, bagaimana caranya menyatukan berbagai data yang tersebar pada sejumlah K/L dan pada provinsi, kabupaten menjadi Satu Data Indonesia ?

Marilah bergotong royong dalam upaya bersolusi walaupun disadari mengejawantahkan Satu Data Indonesia bukanlah hal yang mudah.

Sedikit mengelaborasi yang dilatarbelakangi oleh sejumlah permasalahan yang mencuat di media dan pada Ditjen Imigrasi, tentunya.

Pertama dan utama terkait data adalah data harus memenuhi unsur valid, reliabel dan objektif. Artinya secara ilmiah data harus memenuhi ketiga aspek tersebut, yang tentu saja pengukuran-nya menggunakan kaidah statistik.

Hal ini merupakan pekerjaan rumah bersama karena data yang selama ini tersedia pada K/L belum semuanya tervalidasi, reliabel dan objektif.

Oleh karena itu para pemangku jabatan terkait data, sudah harus mulai berorientasi pada validitas, reliabilitas dan objektivitas data. Sebab bila data valid, reliabel dan objektif maka akan lebih mudah untuk mengintegrasikan dengan data yang dimiliki oleh instansi lain sepanjang sistemnya juga mendukung, pastinya.

Kedua, mengenai aturan tentang data. Faktanya pemerintah menggunakan sekitar 2.700 pusat data dan hanya 3 persen yang berbasis cloud.

Tiap instansi pastinya memiliki aturan tertentu mengenai data dan pada umumnya aturan tersebut terkunci. Dapat dipahami bila aturan mengenai data secara substansi akan dikunci. Artinya data yang dimiliki oleh suatu instansi akan tidak mudah untuk diakses oleh siapa pun karena berkaitan dengan security atau tingkat keamanan data.

Nah, dalam pengintegrasian data hal ini akan menjadi kendala. Oleh karena itu perlu dilakukan diskresi kebijakan oleh pimpinan yang lebih tinggi di instansi tersebut. Misalnya, jika integrasi data dilakukan oleh unit eselon II maka diskresi kebijakan dapat dieksekusi oleh pimpinan unit eselon I, demikian selanjutnya.

Saat ini turunan reglemen Satu Data Indonesia telah ditetapkan pada semua Instansi Pemerintah baik di tingkat pusat maupun daerah. Artinya pada berbagai K/L dan tingkat pemerintahan daerah telah tersedia aturan untuk menopang Perpres dimaksud.

Hal yang mungkin perlu lebih ditingkatkan adalah sosialisasi mengenai pentingnya akselerasi data secara faktual dalam satu K/L, propinsi, kabupaten dan kecamatan.

Ketiga, belum adanya ketentuan mengenai standarisasi data yang berlaku secara nasional. Artinya ketentuan mengenai standarisasi data baru ditetapkan pada tingkat K/L tertentu dan berlaku pada K/L tersebut. Bahkan hanya sebagian kecil K/L yang memiliki standarisasi data.

Standarisasi data penting untuk dirumuskan bila akan menuju pada Satu Data Indonesia kelak. Sebab bila terdapat satu prosedur standarisasi data secara nasional maka data akan mudah dibaca pada level mana pun.

Hal yang cukup rumit dan membutuhkan waktu yang relatif lama untuk dilakukan sinkronisasi data antar-instansi terkait adalah hal kesisteman.

Pada umumnya kesisteman terkait data pada satu instansi memiliki tingkat kesulitan yang tinggi bila akan diintegrasikan dengan kesisteman data pada instansi lainnya karena sistem yang dibangun dan dikembangkan oleh suatu instansi pada umumnya tidak dipersiapkan untuk diintegrasikan dengan sistem di luar instansi tersebut, kecuali sistem yang dibangun adalah dimulai dari adanya kesepakatan antarinstansi terkait. Belum lagi tiap instansi memiliki standar yang berbeda-beda terkait kesisteman.

Namun, bukan berarti tidak mungkin untuk dilakukan akselerasi data terkait kesisteman, bila ditunjang oleh diskresi pimpinan tertinggi instansi tersebut, yang didukung pula oleh para ahli yang berkompeten dalam merumuskan akselerasi tersebut secara teknis.

Hal lain yang dapat dilakukan adalah menetapkan target capaian dalam pengintegrasian data. Sebab dengan adanya target capaian, mau tidak mau para pemangku 'tusi' (tugas dan fungsi) yang terlibat di dalamnya akan terpacu untuk menuntaskan agenda integrasi data, di samping sebagai pengingat tentunya bila ada agenda kerja lain yang harus didahulukan secara skala prioritas.

Sedikit memberikan masukan atas wacana untuk memperkuat status Perpres dimaksud menjadi UU.

Sebagaimana diketahui bahwa Perpres di atas beririsan dengan RUU tentang Perlindungan Data Pribadi dan RUU Ketahanan dan Keamanan Siber, di mana keduanya telah masuk program legislasi nasional prioritas (prolegnas) 2020-2024.

Jika ditelisik secara generik dari sudut substansi maka Perpres Satu Data Indonesia lebih dekat kepada RUU tentang Perlindungan Data Pribadi.

Maksudnya pokok-pokok kaidah mengenai Satu Data Indonesia yang tertuang dalam Perpres, lebih tepat diintegrasikan ke dalam RUU tentang Perlindungan Data Pribadi yang saat ini sedang digodok oleh Badan Keahlian DPR RI.

Dirgahayu negeriku ke-77, semoga Indonesia menjadi bangsa yang selalu dirahmati Allah SWT.

*) Fenny Julita, adalah alumnus Pascasarjana Kebijakan Publik Universitas Indonesia; Analis Keimigrasian Ahli Madya, Ditjen Imigrasi, Kemenkumham.

Copyright © ANTARA 2022