Jakarta, (ANTARA News) - Perambahan hutan sebagai lahan pemukiman dan perkebunan dinilai sebagai akar permasalahan munculnya konflik antara gajah dan manusia. Pernyataan tersebut dikemukakan oleh Communication Officer World Wide Fund for Nature (WWF) Indonesia Desmarita Murni kepada ANTARA di Jakarta, Kamis (2/3) untuk menanggapi kasus ditemukannya enam gajah mati di Kabupaten Rokan Hulu Pekanbaru, Riau, dengan dugaan diracun. "Ketika hutan tempat tinggal gajah telah dirambah sehingga berubah menjadi pemukiman dan perkebunan maka otomatis sudah tidak ada lagi tersedia makanan sehingga gajah kemudian keluar hutan," katanya. Itulah sebabnya, kata dia, acapkali terdengar ada insiden gajah mengamuk masuk ke kampung. Menurut dia, di Riau ada setidaknya 15 kantung gajah (habitat gajah -red) yang terkelompok-kelompok salah satunya adalah di Hutan Mahato. "Di dekat Hutan Mahato itulah enam gajah tersebut ditemukan mati. Sebenarnya status Hutan Mahato adalah hutan lindung tetapi sekarang kondisinya telah berubah, sudah banyak dibuka pemukiman dan perkebunan," katanya. Dia juga mengatakan bahwa kasus gajah mati dengan dugaan diracun bukan untuk pertama kalinya terjadi di Riau. "Kasus terakhir terjadi di daerah yang sama, Rokan Hulu, yaitu pada November 2004, saat itu ada enam gajah juga yang mati karena racun," katanya. Tim dari WWF bekerjasama dengan BKSDA Riau dan Sumut berencana untuk melakukan otopsi terhadap enam gajah tersebut sehingga dapat diketahui penyebab pasti akan kematiannya sekalipun ada dugaan akibat racun potasium sianida. Menurut Desma, konflik antara manusia dan gajah sebetulnya dapat dihindari jika hutan tetap terjaga. "Tetapi kalau keadaannya sudah seperti sekarang WWF sebenarnya telah meminta agar gajah tersebut jangan dibunuh melainkan cukup dihalau dengan cara-cara tradisonal," katanya. Selama ini, kata dia, kasus gajah diracun muncul karena manusia kemudian menganggap gajah sebagai hama yang dapat mengancam rumah dan kebunnya sehingga harus dibasmi, tidak peduli bahwa gajah tersebut terpaksa keluar hutan karena tempat tinggalnya rusak. Saat ditanya mengenai adanya kemungkinan bahwa gajah tersebut diracun semata-mata hanya untuk diambil gadingnya, Desma menolak kemungkinan itu. "Memang benar saat ditemukan gajah-gajah itu sudah tidak ada gadingnya, tetapi saya kira mungkin karena sudah terlanjur mati maka sekalian mereka masyarakat mengambil gadingnya," katanya. Sementara itu, kata dia, data sensus gajah pada 2004 menyebutkan di Riau terdapat 350-430 gajah liar. Sedangkan menurut Human Elephant Conflict Officier Riau, Samsuardi, keenam gajah yang mati itu, terdiri dari tiga ekor betina dan tiga ekor jantan, seekor di antaranya masih anakan. Bangkai gajah ini, ditemukan di perbatasan hutan lindung Mahato, Riau dengan perkebunan kelapa sawit PT Maduma Alam Indah yang mengklaim berada di kawasan Tapanuli Selatan. Padahal, lokasi itu menurut BPN Riau merupakan bagian dari Kab.Rohul, Riau. Menurut Samsuardi, kematian gajah itu baru diketahui masyarakat 22 Pebuari lalu dengan kondisi mulut berbusa diduga karena menelan racun potasium. Atas penemuan ini masyarakat telah melaporkannya ke Polsek Tambusai, Kab.Rohul. Namun karena wilayahnya berada di Tapanuli Selatan, maka oleh aparat dilaporkan kembali ke Polsek Sosa, Tapsel. Dan karena tidak ada tindaklanjut atas laporan masyarakat tersebut, maka oleh masyarakat akhirnya dilaporkan ke pihak WWF. Kematian gajah di daerah itu, merupakan kejadian berulang di mana pada tahun 2002, sebanyak 17 ekor gajah diketahui mati di lokasi yang sama karena daerah itu merupakan daerah jelajah gajah. "Ada dugaan gajah mati ini merupakan satu rombongan dengan yang mati tahun 2002," ujar Samsuardi seraya menambahkan 17 ekor gajah yang mati tahun 2002 di Tapsel itu hingga kini tidak ada tindaklanjutnya. Karena itu, katanya, pihaknya sangat berharap agar keenam gajah yang mati itu dapat ditindaklanjuti oleh aparat penegak hukum dengan menangkap para pelakunya, sebab sejauh ini belum ada oknum masyarakat yang mengaku sebagai pembunuhnya.(*)

Copyright © ANTARA 2006