Setidak-tidaknya Indonesia bisa berperan menyatukan Hamas dengan Fatah
Jakarta (ANTARA) -
Ketua Umum Partai Gelombang Rakyat (Gelora) Indonesia Anis Matta menyebutkan konflik Palestina-Israel dapat diselesaikan dengan konsep solusi dua negara atau "two state solution", dimana keduanya bisa hidup berdampingan sebagai negara berdaulat.
 
Anis Matta mengatakan solusi konflik Palestina-Israel itu dalam Webinar Moya Institute bertajuk “Indonesia di Tengah Pusaran Konflik Palestina-Israel", Jumat.
 
Hadir sebagai pembicara lainnya, Sekretaris Umum PP Muhammadiyah Prof Abdul Mu’ti, Rektor Universitas Islam Internasional Indonesia Prof Komaruddin Hidayat, Pengamat Politik Internasional Prof Imron Cotan, Aktivis Islam Kapitra Ampera, dan Direktur Eksekutif Moya Institute Hery Sucipto sebagai pengantar diskusi.
 
Anis Matta pun meminta Pemerintah Indonesia mendorong momentum konsep penyelesaian "two-state solution" dalam penyelesaian konflik Israel-Palestina.
 
"Setidak-tidaknya Indonesia bisa berperan menyatukan Hamas dengan Fatah, sehingga menjadi satu front vis-a-vis Israel. Jakarta diharapkan bisa menjadi tuan rumah rekonsiliasi Hamas-Fatah tersebut," katanya dalam siaran persnya.
 
Selain itu, dia menilai pembubaran Israel bisa menjadi solusi atau jalan keluar untuk mengakhiri konflik di Tanah Palestina selama ini, karena berbagai upaya gagal dilakukan.
 
Anis menjelaskan pembubaran suatu negara merupakan hal biasa dan pernah terjadi menimpa Uni Soviet dan Yugoslavia. Setelah bubarnya Uni Soviet misalnya, kemudian muncul Rusia justru menjadi kekuatan baru global.
 
Rektor Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII) Prof Komaruddin Hidayat menilai Indonesia sesuai amanah konstitusi tentu menentang segala penjajahan di muka bumi.
 
Komaruddin menyebut, elite-elite politik Indonesia tidak akan populer kalau membela Israel. Intinya, kata dia, bagaimana membantu menyelesaikan konflik.
 
“Ada satu gagasan bagaimana menjadi penengah, kalau kita tidak bisa merangkul keduanya. Jembatan itu kan harus kakinya terhubung. Terhubung dua kaki, yang satu adalah Palestina, yang satu Israel. Seperti kata Gus Dur, kita nggak mungkin jadi penengah kalau Indonesia tidak bisa bersahabat dengan Israel. Erdogan itu keras sekali. Tapi dalam hal ekonomi dengan Israel kan jalan terus. Saudi Arabia juga berkawan baik dengan Amerika,” ujarnya pula.
 
Bicara Palestina, lanjut dia, ternyata antara bahasa bisnis dan bahasa agama itu berbeda logikanya.
 
Menurutnya, umat Islam Indonesia sangat anti Israel dan sangat pro Hamas, sementara di belakang Hamas, ujar dia lagi, didukung Iran, dan Iran itu Syiah.
 
"Nah Umat Islam Indonesia itu anti Syiah, padahal Syiah di Iran paling konsisten membela Hamas anti Israel. Kita sangat dekat dengan Saudi, sementara Saudi itu bersahabat baik dengan Amerika dan juga Israel. Jadi, logika, emosi agama, logika ekonomi dan politik ini ternyata berbeda-beda. Bagi masyarakat awam kan tidak paham logika ini. Kita agak kacau kalau bicara antara politik dan teologi agama. Karena, secara politik, kalau alasan mereka karena agama, mestinya Arab Saudi investasinya paling besar ke Indonesia karena masyarakat Muslim paling banyak, tapi kita investasi nyatanya dari China yang bukan Islam," katanya lagi.
 
Sedangkan Pengamat Politik Internasional Prof Imron Cotan menanggapi konflik Palestina-Israel dengan pendekatan multilateral.
 
Menurut dia, untuk menyelesaikan konflik dengan prinsip two-state solution dengan mengembalikan perbatasan Israel-Palestina ke tahun 1967 dan menetapkan Yerussalem sebagai ibu kota dari Palestina dan Israel, adalah solusi yang berkeadilan.
 
"Kita tidak bisa memaksakan kehendak karena di belakang Israel ada Amerika Serikat yang diharapkan jadi penengah konflik. Namun nyatanya tidak bisa, karena mereka sudah diikat dengan komitmen dukungan penuh terhadap Israel. Untuk menyelesaikan masalah memang diperlukan penengah yang jujur. Sampai saat ini belum ada. Mudah-mudahan Rusia sebagai penyeimbang bisa berperan, seperti yang terjadi di Syria, sehingga AS dan pendukungnya tidak bisa menjadikan Syria seperti Libya, Afghanistan, dan Irak," ujar Imron.
 
Dia juga setuju kalau Indonesia bisa jadi penengah antara Hamas dan Fatah, sehingga bersatu melawan penjajahan Israel.
 
"Sebagai bagian masyarakat internasional yang bertanggung jawab, kita juga perlu memberikan bantuan solidaritas bagi Palestina. Karena Indonesia sebagai negara juga menerima bantuan internasional, salah satu yang terbesar di dunia. Jadi jangan ada pemikiran untuk tidak bantu-bantu Palestina, mengingat masyarakat kita masih kesusahan," ujarnya lagi.
Baca juga: Palestina lihat sedikit perbedaan pada pemimpin Israel lama dan baru
Baca juga: Indonesia diminta berperan bantu PBB tuntut kejahatan perang Israel

Pewarta: Syaiful Hakim
Editor: Budisantoso Budiman
Copyright © ANTARA 2021