Kemajuan teknologi, termasuk komunikasi, yang membuat pelanggaran anggota Polri dapat direkam dan dilaporkan
Jakarta (ANTARA) - Anggota Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) Poengky Indarti mengatakan pengawasan internal yang kuat dan ketegasan sanksi adalah kunci untuk dapat menurunkan angka pelanggaran anggota Polri di lapangan.

"Untuk dapat menurunkan angka pelanggaran, kuncinya adalah dibangunnya sistem pengawasan internal yang kuat, termasuk ketegasan sanksi terhadap pelanggar," kata Poengky saat dikonfirmasi ANTARA di Jakarta, Ahad.

Menurut Poengky, kewenangan pengawasan internal Polri masih belum kuat, terlebih masih ada aturan jika ada pelanggaran, atasanya langsung yang berhak menghukum terlebih dahulu, terkadang proses di atasan tersebut berlangsung lama.

"Ada atasan yang tegas langsung menyerahkan ke Propam. Namun, ada juga atasan yang kurang peduli, jadi prosesnya lama. Ada pula atasan yang masih melindungi bawahan yang salah," kata Poengky, anggota Kompolnas mewakili tokoh masyarakat.

Baca juga: Kompolnas optimistis tilang elektronik disambut positif masyarakat

Pada Rapat Kerja Teknis (Rakernis) Divisi Profesi dan Pengamanan (Propam) Polri pada tahun 2021, Selasa (13/4), Kadiv Propam Polri Brigjen Pol. Ferdy Sambo meminta maaf karena masih tingginya angka pelanggaran yang dilakukan oleh anggota Polri di lapangan, baik secara kualitas maupun kuantitas.

Propam mencatat angka pelanggaran 4 tahun terakhir terjadi peningkatan pelanggaran anggota di lapangan dalam kurun 2 tahun terakhir.

Untuk pelanggaran disiplin terdapat 2.417 kasus pada tahun 2018, sebanyak 2.503 kasus pada tahun 2019 atau naik 3,6 persen, kemudian pada tahun 2020 terdapat 3.304 kasus, berikutnya pada tahun ini dalam periode Januari hingga April sebanyak 536 kasus.

Pelanggaran Kode Etik Profesi Polri (KEPP) pada tahun 2018 tercatat sebanyak 1.203 kasus, pada tahun 2019 tercatat 1.021 kasus atau mengalami penurunan 19 persen, kemudian pada tahun 2020 tedapat 2.081 kasus, dan pada periode Januari hingga awal April 2021 sebanyak 279 kasus.

Pelanggaran pidana terdapat 1.036 kasus pada tahun 2018, sebanyak 627 kasus pada tahun 2019 atau turun 39,4 persen. Pada tahun 2020 terjadi peningkatan pelanggaran pidana dengan angka 1.024 atau naik 53,3 persen, kemudian pada tahun ini dalam kurun waktu Januari hingga awal April 2021 tercatat 147 kasus.

Baca juga: Menkopolhukam dan Kapolri bahas Polri yang presisi

Poengky menyebutkan beberapa faktor yang memengaruhi peningkatan pelanggaran yang saat ini masih diteliti oleh Divisi Propam Polri bersama akademikus.

Menurut dia, jumlah pelanggaran yang makin bisa terdata adalah karena makin banyaknya laporan atau komplain masyarakat melalui saluran-saluran yang ada, yakni mekanisme komplain ke Polri yang dapat diakses masyarakat.

Selanjutnya, pengawasan di internal Polri makin ketat sehingga banyak anggota yang diduga melakukan pelanggaran dapat "terjaring".

Selain itu, adanya pengawas eksternal, seperti Kompolnas, Komnas HAM, Ombudsman, dan Komisi III DPR RI yang mendapatkan pengaduan dari masyarakat.

Masyarakat, menurut dia, makin berani mengkritisi jika melihat ada pelanggaran yang diduga dilakukan anggota, hingga media massa yang juga mengawasi Polri.

"Kemajuan teknologi, termasuk komunikasi, yang membuat pelanggaran anggota dapat direkam dan dilaporkan," kata Poengky.

Baca juga: Kompolnas dukung Polri kejar mafia tanah ke Australia

Terkait dengan pelanggaran yang dipaparkan oleh Kadiv Propam Polri pada Rakernis 2021 Divisi Propam Polri, menurut Poengky, pelanggaran tersebut perlu lebih diperinci tentang apa saja yang dilanggar.

Misalnya, apakah pelanggaran paling banyak terkait dengan konsumsi narkoba, desersi, menggunakan kekerasan berlebihan (excessive use of force), KDRT, atau korupsi/pungli.

Dengan mengetahui jenis-jenis pelanggaran yang dimaksud, lanjut Poengky, akan lebih mudah untuk mencari sebab-sebab dan memberikan solusinya.

Selain itu, pengawasan internal yang ketat dan sanksi yang tegas, kata Poengky, pimpinan Polri juga harus memberikan contoh yang baik dan peduli pada anggota.

"Perlu dilaksanakan reformasi kultural Polri dengan baik, juga akan menurunkan tingkat pelanggaran," ujarnya.

Hal itu mengingat, kata dia, reformasi kultural Polri mengharuskan pimpinan dan seluruh anggota Polri mengubah pola pikir dan budaya agar menjadi Polri yang humanis dan lebih dicintai masyarakat.

Poengky yakin dengan perubahan mindset dan cultureset lebih baik, angka pelanggaran akan menurun drastis.

Baca juga: Kompolnas dukung Kapolri terapkan tilang elektronik secara nasional

"Pelanggaran tidak perlu ditutup-tutupi. Untuk bisa menjadi Presisi, pimpinan dan seluruh anggota Polri benar-benar harus profesional, transparan, dan akuntabel," ujar Poengky.

Poengky menambahkan bahwa pola pikir melindungi anak buah yang salah, harus dikoreksi. Yang benar adalah memberi contoh baik pada anak buah, memberikan perhatian kepada anak buah dan menjatuhkan sanksi tegas jika ada anak buah yang melakukan pelanggaran.

Pewarta: Laily Rahmawaty
Editor: D.Dj. Kliwantoro
Copyright © ANTARA 2021