Sanur, Bali (ANTARA News) - Reog Ponorogo, kesenian asli kebanggaan Kabupaten Ponorogo, Jawa Timur, menjadi satu ikon kesenian tradisional tersendiri yang mampu menyedot dan tampil dominan pada hari ketiga Sanur Village Festival 2009, di Pantai Mertasari, Sanur, Bali, Sabtu malam.

Warok-warok bertubuh kekar dengan riasan cambang, brewok, dan bulu-bulu di dada belasan lelaki berkostum hitam-hitam tampil pertama di panggung utama festival yang mempertemukan kesenian dari belahan timur dunia dan barat dunia itu.

Mereka memberi nuansa Jawa Timur yang kental kepada ribuan pengunjung festival internasional, yang kebanyakan adalah turis manca negara. Irama gendang, suling, dan gending berbahasa Jawa menjadi pengiring pembuka persembahan kesenian dari Yayasan Reog Ponorogo itu.

Kuda lumping, yang aslinya dibawakan lelaki "gemblak" dengan pamungkas aksi "jathilan" menyusul lakon yang dalam versi asli berkisah tentang reog dan warok. Yang paling terkenal adalah cerita tentang pemberontakan Ki Ageng Kutu, seorang abdi kerajaan pada masa Bhre Kertabhumi, Raja Majapahit terakhir yang berkuasa pada abad ke-15.

Puncak dari persembahan kesenian tradisional yang dibawakan tim kesenian Kabupaten Ponorogo, dipimpin Luhur Karsanto, adalah saat dua barongan macan dalam balutan bulu merak berukuran besar tampil.

Kedua barongan itu kemudian bergumul satu sama lain, saling menunjukkan kebolehan ilmu kanuragan mereka. Salah satu dari mereka pasti kalah dan keduanya bisa dibinasakan oleh kedigjayaan raja yang menguasai semua kekuatan adiluhung itu.

Nyaris semua penonton, terutama turis manca negara, memandangi setiap gerakan mereka secara seksama. Bahkan, anak-anak turis manca negara itu sampai harus duduk di tepi panggung agar bisa melihat dari dekat seluruh persembahan kesenian tradisional itu.

Malam hari ketiga itu, bisa dikatakan miliknya tim Reog Ponorogo, yang diundang oleh Asia Africa Foundation. "Sayang panggungnya kurang luas, kalau lebih luas lagi kami akan tampil lebih habis-habisan," kata Karsanto setelah pementasan.

"Ini kesempatan yang sangat baik untuk menyatakan kepada dunia bahwa Reog Ponorogo itu milik dan salah satu pusaka Indonesia. Kita bagi kekayaan seni luhur ini melalui persembahan penampilan malam ini" ucap Karsanto.

Dalam lakon Reog Ponoroga yang paling terkenal, terdapat tokoh sakti, Ki Ageng Kutu, yang murka akan pengaruh kuat dari pihak rekan Cina rajanya dalam pemerintahan dan perilaku raja yang korup. Dia juga melihat kekuasaan Kerajaan Majapahit akan berakhir.

Ia lalu meninggalkan raja dan mendirikan perguruan di mana ia mengajar anak-anak muda seni bela diri, ilmu kekebalan diri, dan ilmu kesempurnaan dengan harapan anak-anak muda ini menjadi bibit dari kebangkitan lagi kerajaan Majapahit kelak.

Sadar pasukannya terlalu kecil untuk melawan pasukan kerajaan maka pesan politis Ki Ageng Kutu disampaikan melalui pertunjukan seni reog, yang merupakan "sindiran" kepada Raja Bra Kertabumi dan kerajaannya.

Pagelaran Reog menjadi cara Ki Ageng Kutu membangun perlawanan masyarakat lokal menggunakan kepopuleran Reog.

Dalam pertunjukan Reog ditampilkan topeng berbentuk kepala singa yang dikenal sebagai "Singa Barong" alias raja hutan, yang menjadi simbol untuk Kertabumi, dan di atasnya ditancapkan bulu-bulu merak hingga menyerupai kipas raksasa yang menyimbolkan pengaruh kuat para rekan Cinanya yang mengatur dari atas segala gerak-geriknya.

"Jathilan", yang diperankan kelompok penari "gemblak". Mereka menunggangi kuda-kudaan yang menjadi simbol kekuatan pasukan Kerajaan Majapahit.

Penampilan mereka itu menjadi perbandingan kontras dengan kekuatan warok, yang berada di balik topeng badut merah, atau simbol untuk Ki Ageng Kutu. Sendirian tokoh sakti ini menopang berat topeng singa barong yang mencapai lebih dari 50 kilogram hanya dengan menggunakan giginya.

Kepopuleran Reog Ki Ageng Kutu akhirnya menyebabkan Kertabumi mengambil tindakan dan menyerang perguruannya, pemberontakan oleh warok dengan cepat diatasi, dan perguruan dilarang untuk melanjutkan pengajaran akan warok.(*)

Pewarta:
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2009