Jakarta (ANTARA) - Dunia hiburan di Indonesia berduka. Maestro campur sari, Didi Kempot, tutup usia pada 5 Mei 2020 lalu. Kabar duka ini tentu saja mengagetkan sobat ambyar, sebutan para penggemarnya.

Pada 26 Februari 2020 lalu, Billboard Indonesia Music Awards 2020 menganugerahinya penghargaan Lifetime Achievement Award.
Pria yang dijuluki "The Godfather of Broken Heart" kelahiran Surakarta, 31 Desember 1966 ini telah memulai kiprahnya sejak era 1980-an.

Adik pelawak (alm) Mamiek Prakoso ini begitu produktif dengan karyanya, mencapai 700 judul lagu dan berhasil mengemas 23 album studio.

Maestro musik bernama asli Dionisius Prasetyo ini populer dan merakyat dengan lagu bertema patah hati. Permintaan terakhir Didi sebelum meninggal adalah pergi umrah dan ingin melantunkan lagu Islami.

Rekam jejak kehidupannya akan diabadikan melalui film "Sobat Ambyar". Diduga ia meninggal karena terkena serangan jantung.
Selain Didi Kempot, ada beberapa figur publik yang meninggal dunia akibat serangan jantung.

Mereka adalah Ashraf Daniel Muhammad Sinclair, Raden Pandji Chandra Pratomo Samiadji Massaid (Adjie Massaid), Mochammad Syariful Zanah (Cecep Reza), Michael Prabawa Mohede (Mike), Syamsul Effendi (Ade Namnung), Yunisa Widharna binti Denny Widharna (Shasya Yunisha), Bernard Ricky Johannes (Ricky Joe), Hendrik Tanuwijaya (Hendrik Ceper), Nyi Raden Siti Hindarsag Atmadi Koesoemah (Ida Kusumah), Irena Justine. Kematian mereka begitu mendadak sehingga mengagetkan publik.

Baca juga: Pemkab Ngawi berencana gelar konser digital kenang Didi Kempot

Baca juga: Hari patah hati sobat ambyar, selamat jalan Sang Maestro Didi Kempot



Sindrom patah hati

Tulisan ini hendak menguraikan salah satu penyakit yang terkait erat dengan serangan jantung, yaitu sindrom broken heart (SBH) atau sindrom patah hati.

Istilah SBH berarti kumpulan gejala yang ditandai oleh nyeri dada akut, tanda iskemik yang terlihat melalui gambaran elektrokardiografi (EKG), ketidaknormalan mirip balon yang bersifat sementara pada gerakan dinding jantung yang sebagian besar melibatkan apeks ventrikel kiri, peningkatan marker jantung, transien akinesia di ventrikel kiri dan mid ventrikel.

Pada SBH terjadi gangguan fungsi ventrikel yang terkait dengan ketidakcukupan aliran darah melalui aliran pembuluh darah arteri koroner.

Sebutan sindrom patah hati untuk SBH sebenarnya kurang tepat. Di dunia medis, SBH punya banyak sinonim. Contohnya: ampulla cardiomyopathy, neurogenic myocardial stunning, Gebrochenes-Herz-Syndrome, sindrom happy heart, stress cardiomyopathy, Takotsubo cardiomyopathy, transient apical ballooning syndrome.

Meskipun memiliki banyak istilah, penulis lebih memilih SBH agar lebih familiar.

Baca juga: Didi Kempot bicara soal mengatasi patah hati

Baca juga: Risiko kematian COVID-19 tinggi pada pasien ginjal dan jantung



Sejarah

Istilah stress cardiomyopathy pertama kali diperkenalkan oleh Cebelin dan Hirsch pada tahun 1980. Tahun 1990, Hikaru Sato beserta tim memperkenalkan istilah takotsubo-like left ventricular dysfunction untuk menunjukkan bahwa bilik kiri jantung saat fase sistol berbentuk takotsubo. Sekadar diketahui, takotsubo adalah octopus trap, yaitu perangkap octopus (gurita, cumi-cumi), menggambarkan apical ballooning (pembengkakan atau penggelembungan apeks jantung sehingga mirip balon).

Pada tahun 1997, istilah stress cardiomyopathy dihidupkan kembali oleh Pavin dkk. Di tahun 1998, gambaran ventrikulogram kiri di jurnal Circulation menarik perhatian banyak tim medis (termasuk dokter) karena penulis memberikan istilah broken heart.

Peningkatan publikasi kasus SBH terjadi mulai tahun 2000-an. Pada tahun 2005, konsep resmi tentang SBH di bidang kardiologi dan penyakit dalam mulai ditetapkan di negara-negara Barat. Tahun 2006, SBH diklasifikasikan ke dalam kelompok acquired cardiomyopathies.

Tahun 2012, penulis mempublikasikan Broken Heart Syndrome di Cermin Dunia Kedokteran-192, Volume 39, No.4, halaman 256-260. Tahun 2016, SBH tercantum di dalam The Art of Medicine yang diterbitkan oleh Gramedia. Di tahun ini pula, Ghadri JR beserta tim berhasil mengungkapkan bahwa stres emosional positif juga berperan di dalam SBH, sehingga muncullah istilah happy heart syndrome.

Tahun 2018, puluhan ahli dari berbagai negara menghasilkan dokumen konsensus pakar Internasional tentang sindrom Takotsubo. Salah satu hasilnya berupa kriteria diagnostik InterTAK (International Takotsubo Diagnostic Criteria).

Tahun 2020, Brenton Boyd dan Tia Solh menyatakan bahwa inhibitor (penghambat) Angiotensin-converting enzyme (ACE) dan penghambat reseptor angiotensin II (ARB) mengurangi kejadian episode kambuhan. Prognosisnya bagus, dengan tingkat kesembuhan pasien mencapai 95 persen.

Baca juga: Lebih bagus almond basah atau mentah?

Baca juga: Warga Inggris ditemukan meninggal di Bali usai bersepeda



Epidemiologi

Berbagai studi epidemiologi mengungkapkan bahwa SBH dijumpai pada 86-100 persen perempuan berusia 63-67 tahun, sebagian besar adalah wanita setelah masa menopause.

Sekitar 2 persen penderita STEMI akut mengalami SBH. SBH juga ditemukan pada 1,7-2,2 persen pasien dengan sindrom koroner akut. Usia rata-rata onset SBH adalah 58 hingga 75 tahun. Hanya sekitar 3 persen penderita SBH yang berusia kurang dari 50 tahun. Insiden SBH meningkat pada perempuan disebabkan berkurangnya kadar estrogen yang bersifat kardioprotektif setelah menopause.

Di Jepang, terdapat 1-2 persen penderita yang dirawat di RS mengalami SBH. Mereka merasakan sensasi nyeri dada dan dijumpai perubahan gambaran EKG berupa segmen-ST dinamis akut. Di Amerika Serikat, SBH dijumpai pada 2-2,2 persen pasien dengan gambaran klinis STEMI atau unstable angina. Di Indonesia, belum ada data resmi terkait angka kejadian SBH.

Baca juga: Tips aman berpuasa untuk penderita sakit jantung

Baca juga: Olahraga ideal untuk penderita sakit jantung saat puasa



Potret klinis

Gambaran klinis khas penderita SBH adalah nyeri dada onset mendadak, sesak napas, napas pendek, terkadang disertai berkeringat banyak (diaphoresis), gambaran gagal jantung kongestif dengan perubahan EKG menyerupai STEMI akut dinding anterior.

Gejala lain termasuk palpitasi (denyut jantung meningkat), vertigo atau sensasi kepala berputar, batuk, mual, hilang kesadaran sementara (syncope). Hanya sekitar 20 persen SBH diketahui bersamaan dengan gagal jantung. Park dan kawan-kawan melaporkan insiden 28 persen Takotsubo-tipe disfungsi LV pada pasien yang dirujuk ke ICU (Intensive Care Unit) karena penyakit fisik non jantung.

Gangguan fungsi ventrikel kanan dapat dilaporkan pada 26-30 persen kasus SBH. Gagal jantung kongestif yang tiba-tiba, dyspnea, hipotensi juga dijumpai pada sebagian kasus SBH.

Secara umum gejala klinis SBH hampir tidak dapat dibedakan dengan sindrom koroner akut. Inilah yang menyebabkan dokter, internis, neurolog, kardiologis, beserta tim medis sulit segera menegakkan diagnosis SBH. Uniknya, meskipun jarang dijumpai, SBH ternyata dapat kambuh.

Kriteria SBH menurut Mayo Clinic (dimodifikasi tahun 2008) adalah: a). Kondisi hypokinesis, akinesis, dyskinesis sementara di segmen tengah bilik jantung kiri dengan atau tanpa keterlibatan apeks jantung; ketidaknormalan gerakan dinding yang meluas melewati distribusi pembuluh darah di epikardium; adanya faktor pemicu (sering, namun tidak selalu) berupa stres. b). Tidak ada penyakit arteri koroner obstruktif ataupun bukti angiografi yang menunjukkan ruptur plak akut. c). Dijumpai kelainan EKG berupa peningkatan segmen ST dan/atau pembalikan gelombang T yang baru. Kadar troponin jantung di serum meningkat sedang. d). Tidak disertai phaeochromocytoma atau myocarditis. Keempat kriteria ini haruslah ada atau dijumpai pada penderita SBH.

Kriteria Diagnostik InterTAK (2018) mensyaratkan delapan kriteria. Misalnya: gangguan fungsi bagian jantung tertentu, pemicu (emosional, fisik, kombinasi) sebelum berlangsung SBH, dapat dipicu oleh gangguan sistem persarafan, ketidaknormalan EKG, peningkatan kadar biomarker jantung (troponin dan kreatin kinase) serta elevasi brain natriuretic peptide secara signifikan, penyakit arteri koroner bukanlah kontradiksi BHS, pasien tidak terbukti menderita miokarditis infeksius, BHS seringkali dijumpai pada perempuan pascamenopause.

Berbagai gangguan fungsi jantung disertai stres inilah yang membuat BHS pantas mendapatkan julukan penyakit ambyar.

Menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia), ‘ambyar’ bermakna bercerai-berai; berpisah-pisah; tidak terkonsentrasi lagi. Singkatnya, ‘ambyar’ berarti hancur berkeping-keping.

Baca juga: Dokter: Waktu terbaik periksa jantung saat usia 20 tahun

Baca juga: Diet tepat untuk mereka dengan masalah jantung



Penyebab

Penyebab pasti SBH belum diketahui pasti. Meskipun demikian, terdapat beberapa hipotesis antara lain disfungsi mikrovaskuler, wraparound LAD (left anterior descending), cedera miokardial langsung yang dimediasi katekolamin.

Hipotesis disfungsi mikrovaskuler menyatakan keberadaan gangguan fungsi pembuluh darah arteri koroner di tingkat mikrovaskuler yang menyebabkan kelainan otot jantung (cardiomyopathy). Hipotesis inilah yang paling banyak dianut oleh para ahli.

Stresor sebagai faktor pemicu SBH dikelompokkan menjadi stres emosional dan stres fisik, dari hal yang terkecil hingga berat atau traumatis. Setidaknya satu macam stres terdeteksi pada 98 persen penderita.

Stres emosional berupa: kecelakaan, kematian, cedera, luka, sakit berat yang menimpa anggota keluarga, sahabat, atau hewan peliharaan, bencana alam (banjir, tsunami, gempa bumi, puting beliung, tanah longsor), krisis keuangan hingga bangkrut (akibat bisnis atau judi), terlibat dengan perkara hukum, pindah ke rumah atau tempat kerja yang baru, bernyanyi atau berbicara di depan umum atau publik, menerima kabar buruk (kematian, perceraian, diagnosis penyakit), percekcokan hebat, kehilangan pasangan hidup atau seseorang yang amat dicintai, konflik keluarga atau saudara, tekanan atau beban kerja yang berlebihan.

Stres emosional yang bersifat positif juga dapat mencetuskan kejadian SBH, misalnya: pesta ulang tahun, pernikahan anak laki-laki, acara reuni setelah 50 tahun tidak bertemu teman SD/SMP/SMA, menyiapkan pesta/perayaan ulang tahun pernikahan emas, wawancara kerja positif, pernikahan, menjadi nenek, pembukaan perusahaan milik putra tercinta, tim rugby favorit menang tanding, percakapan emosional saat pesta ulang tahun sahabat, merayakan ulang tahun dirinya yang ke-80, pesta keluarga, mengunjungi opera bersama keluarga, kunjungan cucu dari luar negeri.

Stres fisik berupa upaya bunuh diri, penyalahgunaan kokain, prosedur atau operasi selain bedah jantung, ketergantungan obat, pemulihan dari bius umum, penyakit berat (asma, kanker, pneumonia, bronkitis), nyeri berat (akibat patah tulang, kolik ginjal), tirotoksikosis. Perlu diketahui bahwa SBH tidak disebabkan oleh penyakit arteri koroner obstruktif.

Baca juga: Didi Kempot meninggal diduga karena serangan jantung

Baca juga: Dokter: Pengidap jantung dan diabetes berisiko COVID-19 berat



Solusi

Diperlukan sikap-paradigma berpikir luas, arif, bijaksana, komprehensif, dan mutiperspektif. Berpola hidup sehat, seimbang, serasi, selaras, teratur, dan harmonis terutama di dalam makan, minum, berpikir, bertindak, berbicara, dan berperilaku.

Secara awam, bila dijumpai indikator penting berikut ini, yakni nyeri dada, perubahan EKG iskemi, enzim jantung sedikit meningkat, ketidaknormalan gerakan dinding jantung, maka segeralah berkonsultasi ke dokter terdekat, mengingat indikator tersebut mengarah kepada kejadian SBH.

Adapun strategi Islami untuk mengatasi SBH, salah satunya adalah dengan cara beristiqomah di dalam mentadabburi Al Quran. Caranya mudah. Pertama, hendaklah tidak terlalu berduka saat terkena bencana, terlalu bahagia saat menerima karunia-Nya, tidak bersikap sombong dan membanggakan diri. Hal ini sesuai dengan QS Al Hadiid: 22-23.

Kedua, senantiasa mengingat bahwa bila sedang sakit, maka hanya Allah yang dapat menyembuhkan (QS Asy Syu'ara: 80), diikuti berobat ke dokter. Seseorang juga perlu yakin bahwa hanya Allah yang dapat memberinya kemudharatan (penyakit, bencana) dan kebaikan (QS Al An'am: 17).

Ketiga, membiasakan diri membaca QS At Taubah: 129 setiap pagi dan sore, masing-masing sebanyak tujuh kali.

Keempat, membiasakan diri membaca doa: bismillaahi-lladzii laa yadlurru maas mihi syai-un fil-ardhi wa laa fis-samaa-i wa hu was-samiiul aliim, yang artinya, Dengan nama Allah, bersama nama-Nya tiada sesuatu pun di langit dan di bumi yang membahayakan dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.

Doa ini dibaca setiap hari, pagi tiga kali, sore tiga kali. Barangsiapa yang membacanya di pagi hari sebanyak tiga kali, dan di sore hari sebanyak tiga kali, maka tiada sesuatu pun yang dapat mencelakakan atau membahayakan dirinya. Ditakhrij oleh At-Tirmidzi: 5/465, Abu Dawud: 4/323, Ahmad, dan Ibnu Majah. Dapat dilihat di kitab Shahih Ibni Majah: 2/332. Isnadnya dihasankan oleh al-Allamah Ibnu Baz dalam Tuhfatul-Akhyar halaman 39.

Selain mentadabburi Al Quran, berdoa, membiasakan salat sunah terutama Tahajjud, berpuasa sunah (terutama Senin dan Kamis atau puasa Nabi Daud yakni sehari berpuasa sehari tidak), senantiasa mengingat Allah (zikrullah) agar hati menjadi tenteram, memperbanyak bacaan istighfar (astaghfirullaahal adziim), merupakan tatalaksana Islami yang efektif untuk mengatasi sindrom broken heart. Insya Allah.

Baca juga: Puasa perbaiki kondisi penderita jantung koroner

Baca juga: Stetoskop pintar ini bisa periksa detak jantung jarak jauh


*) dr Dito Anurogo MSc adalah dosen tetap di Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Makassar, pengurus Asosiasi Sel Punca Indonesia/ASPI, instruktur literasi baca-tulis tingkat nasional 2019, dokter literasi digital, penulis puluhan buku, pengurus Himpunan Dosen Indonesia Jaya, pengurus FLP Makassar Sulawesi Selatan, pengurus APKKM dan AWMI (Asosiasi Wisata Medis Indonesia), anggota Ikatan Ilmuwan Indonesia Internasional (I-4), Dewan Pembina/Penasihat berbagai komunitas.

Copyright © ANTARA 2020