Jakarta (ANTARA) - Pemberlakuan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) menjadi kesempatan emas bagi setiap ayah untuk selalu shalat berjamaah bersama anggota keluarga.

Kondisi saat ini sangat jarang terjadi. Pada kondisi normal, khususnya masyarakat kota besar, selalu ada kendala untuk shalat berjamaah bersama keluarga.

Pada kondisi normal, setiap lelaki Muslim sangat dianjurkan untuk shalat fardhu (wajib) berjamaah di masjid, sehingga berjamaah di rumah bersama istri dan anak perempuan tidak bisa dilaksanakan.

Kendala lain, waktu kerja yang panjang. Di kota besar, di Jakarta dan kota satelit lainnya (Depok, Kabupaten dan Kota Bogor, Kabupaten dan Kota Bekasi dan Kabupaten dan Kota Tangerang serta Tengerang Selatan), sudah lumrah dijumpai para pelaju berangkat subuh menuju Jakarta dengan segala moda transportasi.

Sebagian dari mereka, tidak jarang, mungkin bergegas untuk subuh, atau Shalat Subuh di kantor. Lalu, Shalat Zuhur dan Ashar di kantor, bahkan sebagian Shalat Maghrib dan Isya masih di kantor atau di perjalanan.

Kini, kala PSBB, semua aktivitas dilakukan di rumah, kerja, sekolah, beribadah dan bersosialisasi dari rumah.

Kembali ke kesempatan emas menjadi imam shalat berjamaah di rumah, Islam memang mengatur syarat menjadi imam. Di rumah, sudah pasti yang menjadi imam shalat adalah kepala keluarga atau ayah.

Jika, orang tua lelaki (kakek) tinggal serumah, maka secara usia yang layak menjadi imam adalah sang kakek, tetapi jika sudah renta atau sering lupa maka sang ayah yang menjadi imam.


Syarat jadi imam

Syarat menjadi imam shalat, menurut Imam Abu Hanifah, di antaranya orang lebih berilmu dalam hukum agama, lebih baik bacaannya, lebih wara', lebih dahulu masuk Islam, lebih tua usianya, lebih baik akhlaknya, lebih bagus wajahnya, lebih mulia nasabnya, lebih bersih pakaiannya.

Imam Malik, Imam Ahmad Ibn Hanbal dan Imam As-Syafi'i juga menetapkan syarat lainnya. Adapun syarat-syarat itu, di rumah, tak ada pilihan lain, ayah merupakan satu-satunya pilihan menjadi imam shalat.

Konsekuensinya, ayah harus bisa semaksimal mungkin memenuhi syarat-syarat menjadi imam tersebut agar shalat berjamaahnya sah dan lebih afdhal.

Bagi setiap Muslim, menegakkan shalat adalah kewajiban karena shalat adalah tiang agama. Tidak Islam seorang Muslim jika dirinya tidak menegakkan shalat.

Baca juga: MPR minta Kemenag sosialisasikan ajakan Shalat Tarawih di rumah

Artinya, sebagai makmum, seorang Muslim sudah bisa menegakkan shalat sebagaimana yang dilakoni selama ini. Permasalahannya, sebagai imam shalat, seorang ayah harus memperhatikan bacaannya, terutama pada Shalat Subuh, Maghrib, Isya dan Tarawih.

Pada shalat tersebut, seorang imam harus menjahrkan (mengeraskan) bacaannya ketika membaca Al Fatiha dan surat-surat pendek dalam Al Quran (setelah membaca Al Fatiha).

Baca juga: Quraish Shihab: Nabi pernah Shalat Tarawih hanya tiga malam di masjid

Permasalahan umum adalah seseorang tidak hafal banyak surat Al Quran. Misalnya, pada Shalat Tarawih dengan 11 raka'at, maka imam shalat minimal hafal 11 ayat Al Quran, meskipun kalangan ulama menyatakan tidak mengapa mengulang surat tertentu karena sengaja atau karena keterbatasan hafalan.


16 surat pendek

Syaik Abdul Aziz Bin Baz, dalam bukunya Syarah Ad-Durus Al-Muhima, Li Ammah al-Ummah (Pelajaran-pelajaran penting untuk masyarakat awam umat ini) mengatakan surat-surat pendek dari az-Zalzalah hingga an-Nas memadai bagi seseorang untuk menegakkan shalat.

Terdapat 16 surat pendek dari az-Zalzalah hingga an-Nas yang merupakan bagian dari Juz 30 atau biasa dikenal dengan sebutan Juz Amma. Sementara total surat dalam Juz 30 adalah 37, yakni dari an-Naba hingga an-Nas.

Ulama besar Arab Saudi itu menulis, "Seorang laki-laki datang menghadap Rasulullah SAW lalu berkata, Ajari aku membaca Al Quran wahai Rasulullah. Maka Beliau bersabda, 'Bacalah tiga ayat yang diawali dengan Alif lam ra'. Kata orang itu, 'Umurku sudah tua dan hatiku telah berat (untuk menghafal) serta lisanku juga menjadi kasar (sulit)'. Beliau bersabda, 'Kalau begitu, bacalah tiga ayat dari surat yang diawali dengan Ha mim'. Orang itu menimpali, seperti perkataannya sebelumnya. Laki-laki itu lalu berkata, 'Wahai Rasulullah, ajarkanlah aku membaca suatu surat yang mencakup seluruhnya'. Maka Nabi SAW mengajarinya membaca Surat az-Zalzalah hingga selesai darinya. Maka laki-laki itu berkata, 'Demi Tuhan yang telah mengutus engkau dengan membawa kebenaran, aku tidak akan menambahkannya'. Lalu laki-laki itu berbalik dan pergi. Maka Nabi SAW bersabda, 'Beruntung laki-laki kecil itu', Beliau mengulangi dua kali."

Hadits yang diriwayatkan oleh an-Nasa'i di dalam as-Sunan al-Kubra dari hadits riwayat Abdullah bin Amr bin al-Ash itu menjadi rujukan Syaik Bin Baz untuk mengajak pemula menghafal dan melantunkan dengan benar 16 surat terakhir Al Quran tersebut.

Menghafal 16 surat pendek sudah cukup sebagai modal awal bagi pemula melaksanakan shalat fardu, shalat sunnah dan shalat qiyamullail (shalat sunnah malam).

Baca juga: NU harapkan masyarakat lakukan shalat tarawih di rumah selama COVID-19

Ada empat tahapan untuk menghafal 16 surat tersebut, pertama, talqin (mendikte). Seorang qari atau hafizh Al Quran mendiktekan surat-surat pendek tersebut, ayat demi ayat, lalu pembelajar menyimak dan mengulangi ayat pertama beberapa kali hingga ayat-ayat berikutnya.

Kedua, membacakan apa yang telah didengar, dan pengajar membimbing menghafal dan mengoreksi bacaan.

Ketiga, menghafalkannya lalu penghafal menyampaikan hafalannya ke pengajar dengan metode talqin, lalu diulang-ulang hingga kadar yang cukup. Keempat, menjelaskan makna surat yang wajib dipahami kepada sang pemula.

PSBB kali ini memberi kesempatan pada seorang ayah untuk belajar Al Quran lebih dalam lagi sehingga bisa menjadi imam Shalat Tarawih bagi istri dan anak-anaknya.

Editor: Masuki M. Astro
Copyright © ANTARA 2020