Saat ini, para ilmuwan China berhasil mendeteksi lebih dari 30 mutasi berbeda, dengan 19 jenis mutasi yang belum pernah diketahui sebelumnya
Jakarta (ANTARA) - Saat ini, lebih dari 2,5 juta jiwa terkonfirmasi virus corona jenis baru (COVID-19) dengan total kematian mencapai 177.200 orang.

Sebagai langkah antisipatif sekaligus solutif, pemerintah Kanada menginvestasikan 27 miliar dolar untuk mendanai 47 proyek riset tentang COVID-19.

Jumlah ini ternyata hanya bagian kecil dari total 275 miliar dolar pendanaan riset untuk menaklukkan COVID-19. Demikian diumumkan oleh Perdana Menteri pada 11 Maret 2020.

Di Indonesia, total anggaran Rp40 miliar telah dipersiapkan oleh Kementerian Riset dan Teknologi/Badan Riset dan Inovasi Nasional untuk mengatasi COVID-19.

Untuk mengatasi COVID-19, diperlukan pendekatan multiperspektif yang komprehensif dan berkelanjutan. Berikut ini diuraikan tentang virus corona serta solusinya dari perspektif virologi dan farmakologi.

                                                         Perspektif virologi
Virus penyebab COVID-19 tergolong RNA untai tunggal, mudah sekali bermutasi. Saat ini, para ilmuwan China berhasil mendeteksi lebih dari 30 mutasi berbeda, dengan 19 jenis mutasi yang belum pernah diketahui sebelumnya.

Virus corona memiliki genom RNA terpanjang, sekitar 27-32 kb. Replikasi virus RNA terjadi di sitoplasma, melalui mekanisme unik, di mana RNA polimerase mengikat sekuens "leader", lalu terlepas, dan melekat kembali di multilokasi, menyebabkan produksi sekumpulan molekul mRNA.

Replikasi virus corona terjadi dengan mengopi material genetiknya menggunakan enzim RNA-dependent RNA polymerase. Genom mengkode beberapa protein struktural, yaitu S, M, N, HE, and E. Mari kita bahas satu per satu.

Protein spike (S) terproyeksikan melalui selubung virus dan membentuk tonjolan berbentuk "mahkota". Protein S memediasi pengikatan reseptor dan penggabungan (fusi) dengan membran sel inang.

Protein ini juga bertindak sebagai antigen utama penstimulasi antibodi penetral dan target penting limfosit sitotoksik. SARS-CoV-2 melekat di sel manusia melalui protein S, lalu terikat pada reseptor ACE2 di sel-sel manusia.

Padatnya struktur protein S ini diduga menyebabkan daya infeksinya lebih ganas dan cepat dibandingkan virus corona penyebab SARS. Protein S juga sering bermutasi sebab perannya sebagai reseptor yang menempel di host.

Protein M (membran) berperan penting dalam proses perakitan virus. Protein N (nukleocapsid) terkait dengan genom RNA untuk membentuk selubung virus, terlibat dalam regulasi sintesis RNA virus dan berinteraksi dengan protein M selama perkembangan (budding) virus.

Nukleokapsid amat diperlukan untuk replikasi virus. Analisis genetik telah menunjukkan bahwa banyak, bahkan perubahan kecil berpengaruh terhadap proses perakitan virus dengan mengganggu kemasan genomik RNA (gRNA) atau pembentukan partikel virus yang menular.

Baca juga: Jubir COVID-19: Kasus sembuh karena faktor imunitas

Protein N berperan di dalam proses infeksi awal. Fungsi utama protein N sebagai pendamping (chaperone) asam nukleat. Maksudnya, protein yang telah diproses memungkinkan asam nukleat untuk mencapai pengaturan paling stabil secara termodinamis, yakni jumlah maksimum pasangan basa.

Hemagglutinin-esterase (HE) adalah glikoprotein pada betacoronavirus, digunakan dalam mekanisme invasi (penyerbuan). HE juga membantu pelekatan dan penghancuran reseptor asam sialat tertentu yang dijumpai di permukaan sel inang.

Gen-gen HE coronavirus memiliki homologi sekuens dengan glikoprotein HE influenza C dan mungkin mencerminkan rekombinasi awal antara kedua virus.

Protein E (envelope) berukuran kecil, merupakan protein membran integral, terlibat dalam beberapa aspek siklus hidup virus, seperti perakitan, pertumbuhan, pembentukan selubung, dan patogenesis.

Riset terbaru telah berkembang pada motif struktural dan topologi, fungsinya sebagai "ion-channelling viroporin" dan interaksinya dengan kedua protein virus corona dan beragam protein sel inang.

Protein E ini juga terlibat di berbagai aspek penting dari siklus hidup virus. Kandidat vaksin diharapkan dapat dikembangkan dari protein E ini.

                                           Perspektif farmakologi
Beberapa target protein yang berpotensi sebagai kandidat obat, misalnya 3CLpro, PLpro, RdRp, protein S, ACE2, AT2.

Aplikasi paten WO2013049382 mengungkapkan struktur dan sintesis persenyawaan (peptidil aldehida, peptidil alfa-ketoamida, garam peptidil bisulfit, dan peptidil heterosiklus), serta komposisi formula tertentu, yang dikembangkan untuk menghambat protease 3C virus atau protease mirip 3C (3CLpro).

Terdapat 12 obat yang berpotensi terapeutik untuk mengatasi COVID-19 beserta mekanisme aksinya (Cynthia Liu, dkk 2020). Pertama, arbidol dengan target S protein atau ACE2.

Mekanisme aksinya, sebagai inhibitor yang mengganggu pengikatan protein selubung virus terhadap sel-sel inang (host) dan mencegah masuknya virus ke sel target. Arbidol adalah antivirus influenza.

Kedua, baricitinib memiliki target JAK kinase. Mekanisme kerjanya, inhibitor JAK mengganggu proses inflamasi (peradangan). Indikasi baricitinib sebelumnya sebagai obat artritis rematoid.

Ketiga, chloroquine dengan target endosome atau ACE2. Mekanisme kerjanya, meningkatkan pH endosom dan mengganggu glikosilasi ACE2. Indikasi chloroquine untuk infeksi parasit malaria.

Keempat, darunavir sebagai obat infeksi HIV. Riset yang dipimpin oleh Sandra De Meyer (2020) dkk menyimpulkan bahwa hingga sekarang belum terdapat data tentang keselamatan dan efektivitas penggunaan DRV/cobicistat untuk tatalaksana COVID-19.

Prezcobix/Rezolsta adalah kombinasi dari 800 mg HIV protease inhibitor darunavir (DRV) dan 150 mg cobicistat, suatu inhibitor CYP3A4, yang diindikasikan dengan agen antiretroviral lainnya untuk manajemen infeksi HIV.

Baca juga: Menkes sebut kecemasan bisa pengaruhi imunitas tubuh

Kelima, galidesivir sebagai antivirus untuk mengatasi hepatitis C, virus Ebola, virus Marburg. Galidesivir dapat secara kuat terikat ke RNA-dependent RNA polymerase (RdRp) dari strain SARS-CoV-2, sehingga berpotensi digunakan mengatasi COVID-19. Hal ini telah dibuktikan oleh Elfiky AA (2020) melalui studi docking molekuler.

Keenam, BCX-4430 (garam dari galidesivir), sebagai antivirus untuk mengatasi hepatitis C, virus Ebola, virus Marburg.

Ketujuh, lopinavir dengan target proteases virus (3CLpro atau PLpro). Mekanisme kerjanya, sebagai inhibitor protease yang dapat menghambat protease virus, yakni 3CLpro atau PLpro. Lopinavir dan ritonavir merupakan kombinasi obat yang disetujui untuk mengatasi infeksi HIV.

Kedelapan, favipiravir (favilavir) dengan target RdRp. Mekanisme kerjanya, nukleoside purin yang bertindak sebagai suatu substrat alternatif yang menyebabkan sintesis RNA virus menjadi tidak akurat. Indikasi favipiravir untuk mengatasi infeksi virus.

Kesembilan, nitazoxanide (C12H9N3O5S) dari golongan thiazolides. Obat ini merupakan agen antivirus spektrum luas karena kemampuannya menghambat ekspresi protein virus serta replikasi beberapa virus RNA dan DNA. Indikasi nitazoxanide untuk mengatasi infeksi cacing, protozoa, diare akibat infeksi virus.

Kesepuluh, remdesivir. Remdesivir adalah obat intravena investigatif dengan aktivitas antivirus luas yang memiliki aktivitas in-vitro melawan SARS-CoV-2 serta aktivitas in-vitro dan in-vivo melawan beta coronavirus lainnya.

Mekanisme kerjanya, analog nukleotida yang berpotensi menghambat sintesis nukleotida virus untuk menghentikan replikasi virus. Terminasi prematur dari transkripsi RNA dapat menghambat replikasi virus.

Remdesivir juga memblok enzim-enzim tertentu (seperti polymerase) yang diperlukan untuk replikasi virus.

Enzim-enzim tersebut mampu menggabungkan remdesivir, yang menyerupai "RNA building block", ke dalam untaian RNA baru. Tak lama setelah menambahkan remdesivir, kemampuan enzim untuk menambahkan lebih banyak subunit RNA menjadi terhenti.

Peristiwa ini menghentikan replikasi genom. Indikasi remdesivir untuk mengatasi infeksi virus Ebola.

Selain beragam kandidat antivirus di atas, para ilmuwan sekarang juga tertarik mengembangkan aptamer sebagai antivirus untuk menaklukkan COVID-19.

                                                                   Aptamer
Aptamer berasal dari terminologi Latin (aptus, to fit, cocok) dan Yunani kuno (meros, part, bagian). Secara harfiah, aptamer bermakna bagian yang cocok menjadi bagian (a part to fit into a part).

Aptamer adalah nukleotida (DNA atau RNA) artifisial berukuran kecil (10-100 nukleotida), untai tunggal, berkemampuan luar biasa untuk mengikat targetnya.

Sasaran aptamer, mencakup berbagai molekul kecil (asam amino, nukleotida, antibiotik), tetapi juga bisa berukuran lebih besar (protein, virus, dan bakteri).

Baca juga: Ikhtiar kalahkan pandemi COVID-19 dengan antivirus Ebola dan Malaria

Metode seleksi aptamer merupakan proses in vitro yang dinamakan SELEX (Systematic Evolution of Ligands by Exponential Enrichment).

Singkatnya, SELEX berbasis pada siklus pengikatan, pemisahan, dan amplifikasi nukleotida yang berulang.

Aptamer berpotensi dikembangkan sebagai antiviral, imunoterapi, agen terapeutik dan diagnostik terhadap kanker, penyakit dan gangguan darah, penyakit sistem persarafan, penyakit mata, artritis, gangguan otot, penyakit kardiovaskuler.

Ada beberapa keuntungan Aptamer sebagai terapeutik. Misalnya daya afinitas tinggi, spesifisitas tinggi, molekulnya sangat kecil sehingga baik untuk penetrasi ke jaringan, secara kimiawi dapat dimodifikasi untuk meningkatkan stabilitas, mengurangi toksisitas, sebagai terapi kombinasi, mudah diproduksi massal, mudah dilakukan scale up, penemuan cepat secara in vitro – SELEX, kurang dari 60 nukleotida.

Selain itu, aptamer lebih unggul dibandingkan dengan antibodi. Pertama, waktu yang diperlukan untuk seleksi aptamer hanya beberapa minggu, sedangkan antibodi memerlukan waktu beberapa bulan. Kedua, dana untuk seleksi lebih murah.

Aptamer perlu sekitar $4.000 dolar untuk rangkaian aptamer individu, sedangkan antibodi monoklonal tikus memerlukan sekitar $8.000, dan $20.000 untuk antibodi monoklonal kelinci.

Ketiga, kepraktisan sintesis dan proses manufaktur. Aptamer secara kimiawi disintesis secara in vitro. Antibodi diproduksi di dalam tubuh hewan, dan melalui metode rekombinan.

Keempat, kemudahan modifikasi. Aptamer mudah dimodifikasi dan terkendali. Antibodi memiliki modifikasi yang terbatas dan tak dapat dikontrol. Kelima, kestabilan. Aptamer stabil di beragam kondisi lingkungan. Antibodi memerlukan kondisi khusus untuk penyimpanan dan perlakuan.

Keenam, variasi "batch-to-batch" pada aptamer sedikit atau tidak ada sama sekali. Pada antibodi, variasi ini sulit dicegah.

Ketujuh, ukuran. Aptamer berukuran kecil, sekitar 525 kDa. Antibodi berukuran lebih besar dari 125 kDa.

Kedelapan, struktur kimiawi. Aptamer tersusun terutama dari asam-asam nukleat. Antibodi tersusun dari protein.

Kesembilan, kisaran target aptamer luas hingga hampir sebagian besar ke apapun, sedangkan target antibodi terbatas pada target antigenik.

Kesepuluh, komplikasi in vivo. Aptamer tidak memicu respons imun intrinsik. Antibodi memicu respons imun. Kesebelas, baik aptamer maupun antibodi sama-sama memiliki spesifisitas dan afinitas tinggi.

Keduabelas, aplikasi klinis aptamer masih belum matang, sedangkan untuk antibodi telah matang. Inilah beberapa alasan pengembangan riset aptamer untuk mengatasi COVID-19.

                                                                         Deteksi virus
Pasangan aptamer/antibodi menunjukkan deteksi terbaik, sebanding dengan immunoassay kapasitif atau impedimetrik dan kit ELISA berbasis antibodi.

ELISA adalah metode diagnostik dasar untuk mendeteksi molekul target kompleks. Pada ELAA (enzyme-linked aptamer assays), aptamer digunakan sebagai substitusi untuk antibodi sebagai transduser atau bioreseptor. ELAA juga dikenal sebagai uji ELASA (enzyme-linked aptasorbent assay), tes ELOSA, atau ELONA (enzyme-linked oligonucleotide adsorption).

ELAA digunakan untuk mendeteksi virus influenza A H5N1 menggunakan aptamer RHA0006, yang menarget protein hemagglutinin (HA). Secara sederhana, HA bermakna kemampuan protein untuk menggumpalkan eritrosit (sel darah merah).

ELAA analog telah digunakan dan berhasil untuk mendeteksi norovirus, virus Zika, dan virus hepatitis C (HCV) pada manusia. Dalam pengembangan ELAA Zika, para ilmuwan telah menguji berbagai pasangan berbeda dari agen penangkap dan agen deteksi.

*) dr Dito Anurogo MSc adalah dosen FKIK Unismuh Makassar, delegasi Indonesia terpilih untuk mengikuti 2020 The Annual Biomedical Exploration Workshop di Taipei Medical University (TMU) Taiwan yang disponsori oleh Kementerian Pendidikan Taiwan, sertifikasi COVID-19 diperoleh dari World Health Organization (WHO) dan St George's University, pengurus Asosiasi Sel Punca Indonesia/ASPI, dokter literasi digital, penulis puluhan buku, pengurus Himpunan Dosen Indonesia Jaya, pengurus FLP Makassar Sulawesi Selatan, pengurus APKKM dan AWMI (Asosiasi Wisata Medis Indonesia), anggota Ikatan Ilmuwan Indonesia Internasional (I-4)

Baca juga: Jambu biji dan senyawa potensial pencegah COVID-19
Baca juga: Rahasia "bahagia" bersama corona

 

Copyright © ANTARA 2020