Tanjungpinang (ANTARA) - Kejaksaan Tinggi Kepulauan Riau akhirnya menetapkan dua orang tersangka kasus dugaan korupsi pemberian izin produksi dan penjualan dalam pertambangan bauksit.

Kepala Seksi Penerangan Umum Kejati Kepri Ali Rahim, di Tanjungpinang, Rabu, mengatakan, dua tersangka itu berinisial AT dan A.

Baca juga: Kejati Kepri melakukan penyidikan kasus pertambangan bauksit Bintan

Namun Ali menolak membeberkan pekerjaan mereka, apakah dari kalangan birokrat atau swasta.

"Karena statusnya tersangka, maka harus inisial, hormati asas praduga tak bersalah. Kami tidak akan membeberkan mereka bekerja di mana," kata Ali.

Ia mengemukakan pemanggilan AT dan A sebagai tersangka belum dijadwalkan penyidik Kejati Kepri yang menangani kasus tersebut.

"Kami belum dapat laporan kapan akan dipanggil lagi," ujarnya.

Ali juga belum dapat memastikan apakah ada tersangka lainnya dalam proses penyidikan ini. "Masih pendalaman," tegasnya.

Baca juga: KLHK serahkan hasil penyelidikan ke Kejati Kepri

Sementara terkait informasi yang beredar di sejumlah media massa bahwa AT merupakan mantan Kadis Penanaman Modal Pelayanan Terpadu Satu Pintu Kepri, dan A pernah menjabat sebagai Kepala Dinas ESDM Kepri, Ali enggan mengomentarinya.

"Silakan saja media membumbuinya, yang jelas kami tidak mengatakan itu," tuturnya.

Sehari sebelum Kejati Kepri menyampaikan kepada publik tersangka kasus dugaan korupsi izin pertambangan bauksit itu, Presiden Mahasiswa Universitas Maritim Raja Ali Haji Rindi Apriadi, mengkritik kinerja penyidik lembaga penegak hukum tersebut.

Rindi mengatakan, kasus pertambangan bauksit ilegal di Bintan mendapat sorotan tajam dari berbagai elemen masyarakat sehingga seharusnya diperhatikan oleh pihak kejaksaan untuk mengambil langkah hukum yang cepat, tepat, efektif dan biaya murah.

Sementara yang terjadi justru belum belum memenuhi keinginan masyarakat, karena proses penyelidikan berlangsung sekitar satu semester.

"Ada kesan proses penyelidikan ini lambat, bahkan tidak transparan," katanya.

Ia mengingatkan Kejati Kepri untuk serius dan profesional dalam menangani kasus itu. Pertambangan bauksit di daratan dan pulau-pulau di Bintan telah merusak lingkungan dan hutan.

Baca juga: KLHK dinilai tidak serius tuntaskan kasus tambang bauksit

"Pertambangan bauksit ini merugikan negara dan masyarakat, sementara tidak ada pemasukan Bintan maupun Kepri dari kegiatan ilegal tersebut," tegasnya.

Rindi mengemukakan pihaknya akan terus mengawasi penyelidikan kasus dugaan korupsi dalam perijinan pertambangan bauksit. "Kami akan mendorong pihak kejaksaan untuk serius menangani kasus itu," tegasnya.

Rindi mengatakan pihak penyidik telah memeriksa banyak pihak yang terlibat dalam kasus itu. Bahkan Kejati Kepri juga sudah mengeluarkan surat perintah penyidikan Print-241/L10/Fd.1/07/2019 pada 4 Juli 2019.​​​

"Berdasarkan informasi yang kami terima, pada 8 Juli 2019 Kejati Kepri menyurati 15 orang yang berhubungan dengan kasus pertambangan bauksit di Bintan, beberapa di antaranya menjabat sebagai direktur perusahaan," ujarnya.

Baca juga: Air kubangan bekas galian bauksit Tanjungpinang diperjualbelikan

Baca juga: KLHK buru sejumlah direktur perusahaan bauksit


Pertambangan bauksit di Bintan terjadi sejak 2018 hingga awal 2019. Pertambangan bauksit yang dilakukan sejumlah perusahaan yang mendapat ijin pengangkutan dan penjualan bauksit terjadi setelah PT GBA mendapat kuota ekspor bauksit sebanyak 1,6 juta ton dari Kementerian Perdagangan berdasarkan rekomendasi Kementerian ESDM.

Perusahaan itu tidak memenuhi ketentuan yang berlaku seperti pembangunan smelter, namun mendapatkan kuota ekspor bauksit dari Kementerian Perdagangan.

"Kami juga mengkritik keras Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang sudah menyegel belasan lokasi pertambangan, namun kasus kerusakan lingkungan terkesan jalan di tempat," katanya.

Baca juga: Pedagang air tambang bauksit menjamur saat krisis air

Pewarta: Nikolas Panama
Editor: Nurul Hayat
Copyright © ANTARA 2019