Kupang (ANTARA) - Megawati Soekarnoputri yang terlahir dengan nama lengkap Dyah Permata Megawati Setyawati Soekarnoputri, secara aklamasi telah dikukuhkan kembali menjadi Ketua Umum DPP PDI Perjuangan periode 2019-2024 dalam Kongres V partai berlambang banteng gemuk dalam lingkaran itu di Hotel Inna Grand Bali Hotel, Sanur, Kamis (8/8).

Sedikit mengulas, Hotel Inna Grand Sanur Beach di Sanur ini juga punya "kedekatan" tersendiri dengan Megawati, karena hotel ini dibangun oleh Presiden Soekarno pada 1963 dan selesai pembangunannya pada 1966. 

Putri pasangan Ir Soekarno dan Fatmawati yang sempat menjabat sebagai Presiden kelima Indonesia dalam periode 23 Juli 2001 sampai 20 Oktober 2004 itu hanya menyampaikan terima kasih kepada para peserta kongres yang telah mempercayai dia kembali untuk menjadi ketua umum.

"Terima kasih saya telah mendapat tugas berat disuruh lagi menjadi Ketua Umum PDIP. Meskipun berat sekali, tapi karena saya berpikir demi kepentingan bangsa dan negara, maka saya dengan lapang dada dan tangan terbuka menerima tugas ini," kata wanita kelahiran Yogyakarta 23 Januari 1947 itu.

Juga baca: Pengamat nilai regenerasi PDIP belum fokus di pusat

Juga baca: Kelakar Mega minta "jatah" menteri, IndexPolitica: Pertegas posisi

Juga baca: Seloroh pidato Megawati tanda komunikasi antar partai politik cair

Dalam usia 72 tahun, Megawati masih mau menerima tugas dan tanggungjawab yang maha berat itu hingga usianya ke-77 tahun pada 2024, sebagai ketua umum partai sejak 20 tahun lalu.

"Alhamdulillah saya diminta secara aklamasi oleh 34 DPD dan sekarang dengan penuh penghormatan dan kehormatan dipilih oleh utusan partai di dalam bagian AD/ART kita yaitu sebuah institusi tertinggi partai yang namanya kongres partai yang kelima," ucapnya.

Putri Bung Karno ini menjelaskan, dalam rakornas di Jakarta, sebanyak 34 DPD juga telah menyampaikan usulannya meminta dirinya untuk kembali sebagai ketua umum. Dan, Megawati pun dipilih secara aklamasi, dalam sebuah sidang tertutup pada hari pertama Kongres V PDIP di Sanur, Denpasar-Bali, Kamis (8/8) malam.

Ibunda dari Puan Maharani, Muhammad Prananda Prabowo, dan Mohammad Rizki Pramata, ini kemudian menjelaskan kepada media tentang proses pemilihan yang berlangsung secara tertutup itu. "Sebelumnya saya minta maaf karena telah dikonfirmasikan tadinya, bahwa kalau saya dikukuhkan itu akan menjadi sidang terbuka. Tapi ternyata tadi begitu cepatnya," kata Megawati.

Seharusnya, sebelum DPP partai demisioner harus dibacakan pertanggungjawaban terlebih dulu. Namun pada sidang tertutup itu disepakati bahwa pertanggungjawaban tidak perlu dibacakan, dan seluruh utusan kongres yang terdiri dari perwakilan DPD dan DPC PDIP di seluruh Indonesia, semua menyampaikan dapat menerima pengukuhan Megawati sebagai ketua umum secara aklamasi.

"Itu semua berjalan cepat, maka kelihatannya agak terabaikan untuk membuka sidang, karena nanti harus break dulu, baru lalu pengukuhan. Itu saya kira kronologi persidangan pada malam hari ini," katanya sembari menambahkan sedangkan untuk pembentukan struktur DPP partai, Megawati selaku ketua umum diberikan hak prerogratif untuk menyusun strukturnya.

Tak ada jabatan ketua harian dalam struktur kepengurusan partai lima tahun ke depan. Apakah karena situasi dan kondisi politik seperti ini kemudian memberi sebuah legitimasi kepada Megawati sebagai orang yang gagal dalam melakukan restorasi politik dalam internal tubuh PDI Perjuangan?

"Terpilihnya Megawati sebagai Ketua Umum DPP PDIP, merupakan sebuah langkah mundur. Terlihat sangat jelas bahwa kongres kali ini, PDIP mengalami stagnasi berfikir, dan Megawati telah gagal melakukan restorasi politik di internal PDIP," kata analis politik dari Universitas Muhammadiyah Kupang Dr Ahmad Atang MSi.

Megawati gagal
Ia secara terang-terangan menilai Megawati Soekarnoputeri telah gagal melakukan restorasi politik di internal PDI Perjuangan, dan terpilih kembalinya Megawati sebagai Ketua Umum DPP PDIP, merupakan sebuah langkah mundur. "Terlihat jelas kongres kali ini PDIP mengalami stagnasi berfikir," katanya.

Menurut Ahmat Atang tidak ada gagasan pemikiran yang progresif kebangsaan menjelang kongres PDI Perjuangan di Bali, kecuali mempertahan Megawati sebagai ketua umum. Kenyataan ini menunjukkan bahwa, para kader PDI Perjuangan sedang mengalami ketidakberdayaan jika ketua umum partainya diganti figur lain.

"Mestinya, sekarang ini saatnya Megawati membangun sistem untuk alih generasi, agar pendekatan figur yang selama ini menjangkiti internal PDIP harus disudahi, dan Megawati mengawal proses ini hingga 2024," katanya.

Tokoh-tokoh senior di antaranya Amien Rais, Susilo Bambang Yudhoyono, Prabowo Subianto, dan Surya Paloh, telah mengawal proses reformasi selama dua dekade, sehingga sudah saatnya memberikan estafet kepemimpinan kepada kaum milenial yang masih sangat energik untuk memimpin bangsa ini.

Pertarungan kepemimpinan nasional dalam ajang Pemilu Presiden (Pilpres) 2024, menurut Atang, merupakan arenanya kaum milenial. Makanya, tokoh tua yang selama ini mendominasi format politik nasional harus memberikan panggung kepada kaum milenial untuk maju memimpin bangsa ini.

Pengamat politik dari Universitas Katolik Widya Mandira Kupang Mikhael Bataona juga menyadari akan hal itu, namun ia mengatakan bahwa keakraban Megawati Soekarnoputri dengan Prabowo Subianto bukan sesuatu yang kebetulan atau tiba-tiba.

"Saya kira, keakraban Prabowo dan Megawati harus dibaca sebagai sesuatu yang bukan tiba-tiba saja, karena sebelum Pilpres Megawati Soekarnoputri sudah mengutus putrinya Puan Maharani untuk bertemu Prabowo empat mata," kata Bataona.

Pada 2009, Megawati-Prabowo bergandengan tangan dalam pertarungan Pemilu 2009. Saat itu mereka --sebagaimana pasangan-pasangan lain-- kalah dari Susilo Yudhoyono-Jusuf Kalla. Kehadiran Prabowo di Kongres PDI Perjuangan di Sanur, Bali, jelas memberi pesan politik sangat eksplisit dan tegas, bahwa Prabowo merasa nyaman jika pada Pemilu 2024 mereka bisa bertarung dalam satu koalisi.

Formasinya bisa jadi, Prabowo Subianto-Puan Maharani atau Prabowo-Prananda Prabowo. Jadi hubungan kedua tokoh ini harus dibaca sebagai sesuatu yang bukan tiba-tiba, sebab sebelum Pemilu 2019 berlangsung, Megawati sudah mengutus Puan Maharani untuk bertemu Prabowo empat mata.

Dan pada saat itu, pasti sudah terjalin komitmen bahwa Prabowo jika kalah, maka harus siap untuk rekonsiliasi dan membangun kerja sama dengan PDI Perjuangan untuk menghadapi Pemilu 2024. "Jadi apa yang terjadi pascapilpres hingga munculnya Budi Gunawan sebagai mediator pertemuan Jokowi dan Prabowo hingga Megawati dan Prabowo, adalah simbolisme politik yang sangat kuat menjelaskan tentang apa yang akan terjadi pada 2024 mendatang," katanya.

Lunakkan oposisi
Artinya, kehadiran Prabowo Subianto di Kongres V PDIP di Sanur, Bali sebagai tanda yang kelihatan dari rencana politik yang tidak kelihatan, untuk Pilpres 2024. Bukan itu saja, Prabowo pun mendapat tempat duduk sangat terhormat, yaitu di barisan paling depan, di barisan yang sama di mana Megawati dan Presiden Jokowi duduk.

Terlepas dari itu, apakah semua siklus politik yang terjadi saat ini sebagai pertanda bahwa Megawati bisa melunakkan hati pihak oposisi?

Atang menilai Megawati Soekarnoputri dan PDI Perjuangan mampu melunakkan gerbong oposisi yang selama ini selalu berseberangan secara politik dengan pemerintahan yang sedang berkuasa.

"Posisi Prabowo di Kongres PDI Perjuangan di Bali menjadi sangat diistimewakan oleh PDIP dan Megawati, karena memberikan makna bahwa Megawati dan PDI Perjuangan mampu melunakkan gerbong oposisi yang selama ini selalu berseberangan secara politik," katanya.

Jika dilihat dari sudut kelembagaan, maka sebagai ketua partai kehadiran Prabowo bukan hal yang istimewa karena semua ketua partai tentu akan diundang dalam kongres tersebut. Tetapi, di sini posisi Prabowo Subianto sama derajat dengan pimpinan parpol yang lain, yang memenuhi undangan PDI Perjuangan untuk menghadiri kongres di Bali.

Namun, posisi Prabowo menjadi sangat diistimewakan oleh PDI Perjuangan dan Megawati, karena kehadiran Prabowo akan memberikan makna ganda. Makna pertama adalah Megawati dan PDIP mampu melunakkan gerbong oposisi yang selama ini selalu berseberangan secara politik.

Kedua, momentum ini memberi isyarat Megawati dan PDI Perjuangan masih cukup kuat di mata koalisi dalam menentukan agenda politik kekuasaan ke depan. Ketiga, PDI Perjuangan dan Megawati mampu membatasi dominasi kekuatan politik identitas atas diri Prabowo sebagai simbol politik. Keempat, relasi politik antara Megawati dan Prabowo tidak hanya berhenti pada tataran politik seremoni, namun akan berlanjut pada politik substantif, yakni power sharing.

Menurut Atang, Prabowo menyadari betul bahwa Partai Gerindra menjadi besar bukan semata-mata karena figur Prabowo, namun harus ditopang oleh modal yang lain, yakni kekuasaan. Maka inilah saatnya bagi Prabowo untuk lebih merekatkan relasi politik dengan PDI Perjuangan dan kekuatan politik menuju gerbang Pilpres 2024 yang akan datang.

Editor: Ade P Marboen
Copyright © ANTARA 2019