Rawat bahasa Lampung sebagai bahasa ibu

id Revitalisasi bahasa daerah, bahasa Lampung, bahasa ibu, peningkatan penutur bahasa Oleh Ruth Intan Sozometa Kanafi

Rawat bahasa Lampung sebagai bahasa ibu

Ilustrasi- Penulisan aksara (had) Lampung. ANTARA/Ruth Intan Sozometa Kanafi.

Bandarlampung (ANTARA) - Indonesia memiliki banyak suku bangsa berikut bahasa daerah masing-masing. Tidak sedikit bahasa daerah menjadi bahasa ibu mereka. Bahasa daerah menjadi bahasa pertama, bahasa yang dikuasai saat lahir melalui interaksi dengan anggota masyarakat yang sama bahasanya, seperti keluarga, pengasuh dan lingkungannya.

Saat ini, ada sejumlah bahasa ibu yang secara alami terus digunakan secara turun-temurun sebagai bahasa pergaulan di berbagai tempat. Namun demikian, ada bahasa daerah yang perlahan popularitasnya mulai tenggelam karena bahasa asing, sehingga perlu usaha keras untuk melestarikannya agar tidak punah.

Bahasa ibu selalu dijargonkan sebagai warisan budaya. Faktanya, ternyata tidak lagi seheroik yang terdengar. Di era globalisasi dan berkembangnya pop culture banyak penutur bahasa ibu usia muda yang beralih menggunakan bahasa lainnya dalam keluarga dan pergaulan mereka.

Banyak penutur bahasa ibu telah berubah menjadi penutur bahasa di luar bahasa ibu, atau hanya mampu berbicara dalam bahasa Indonesia dan bahasa asing.

Hal itu selaras dengan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) dalam Long Form Sensus Penduduk 2020 yang menunjukkan persentase penggunaan bahasa ibu di lingkungan keluarga hanyalah 73,87 persen. Sedangkan untuk generasi Z dan Alfa, yang menggunakan bahasa daerah di tengah keluarga berada di kisaran 61-62 persen saja.

Melihat adanya penurunan jumlah penutur muda bahasa ibu membuat para peneliti bahasa daerah mencari penyebab atas permasalahan tersebut. Dari banyak alasan atas ditinggalkannya bahasa ibu, salah satu penyebab yang dominan adalah adanya kemunduran jumlah dan mutu penutur bahasa ibu. Keadaan tersebut serupa dengan eksistensi bahasa Lampung sebagai bahasa ibu di 'Sai Bumi Ruwa Jurai'.

Bahasa Lampung, berdasarkan penelitian Kantor Bahasa Provinsi Lampung bahwa penggunaan bahasa Lampung  sebagai bahasa ibu saat ini masih ada penuturnya dan diperkirakan masih melalui proses panjang untuk punah. Meski demikian, penggunaan bahasa Lampung kini bisa dikategorikan dalam kondisi cukup rentan.

Menurut Kepala Kantor Bahasa Provinsi Lampung, Desi Ari Pressanti, kondisi tersebut terjadi berkenaan dengan terbatasnya penutur bahasa, terutama penutur bahasa usia muda yang menggunakan bahasa Lampung.

Mulai terbatasnya jumlah penutur itu akibat enggannya generasi muda menggunakan bahasa Lampung dengan alasan terlalu kuno dan malu. Hal ini menjadi sebab dan akibat, wilayah penggunaan bahasa Lampung menjadi semakin terbatas.

Dari 9,1 juta penduduk di Provinsi Lampung, penutur bahasa Lampung saat ini diperkirakan hanya 1,5 juta penutur, atau hanya 16 persennya saja dari total penduduk.  Hanya sebagian kecil saja yang berusia muda, dan tidak semuanya aktif menggunakan bahasa tersebut dalam aktivitas keseharian.

Sejumlah persoalan atas minimnya jumlah penutur bahasa Lampung di daerah setempat juga diakui oleh Ronaldo Edo, salah seorang pengajar bahasa Lampung dari Kabupaten Mesuji, yang juga generasi muda asli Lampung dan masih aktif menggunakan bahasa ibunya.

Penggunaan Bahasa Lampung kini kurang diminati oleh generasi muda, terlebih di lingkungan pendidikan seperti sekolah dan perguruan tinggi tempat anak muda berkumpul serta menimba ilmu. Bahasa ibu digunakan hanya sebatas memenuhi kewajiban pembelajaran dan penilaian di rapor. Hal itu yang kemudian membuat anak muda cenderung melupakan bahasa Lampung sebagai bahasa ibu yang aktif digunakan dalam aktivitas sehari-hari.

Tak hanya itu, bahasa Lampung di lingkungan pendidikan juga dinilai sulit berkembang, bukan hanya karena siswa yang kurang mengerti dan asing di telinga,  tapi juga terkait dengan jumlah pendidik dengan lulusan sarjana pendidikan bahasa Lampung yang terus berkurang serta kehilangan peminat.

Alhasil, banyak ditemukan pengajar bahasa Lampung di lingkungan pendidikan justru bukanlah lulusan pendidikan Bahasa dan Sastra Lampung, melainkan guru mata pelajaran yang merangkap mengajarkan bahasa ibu tersebut kepada anak-anak.

Dari persoalan dan kekhawatiran atas punahnya bahasa Lampung, maka berbagai langkah mulai dilakukan secara terintegrasi antarberbagai lembaga dan pihak terkait.

Kantor Bahasa Provinsi Lampung bersama Badan Bahasa Pemerintah Provinsi Lampung, dan berbagai pihak di sektor pendidikan secara masif melakukan revitalisasi penggunaan bahasa Lampung, seperti melatih para pendidik bahasa ibu tersebut agar bisa menciptakan pembelajaran bahasa Lampung di tingkat sekolah dasar hingga sekolah menengah atas dengan menyenangkan, serta tidak hanya untuk memenuhi penilaian semata.

Pembelajaran bahasa Lampung itu akan dihadirkan bersanding dengan program Merdeka Belajar yaitu penggunaannya akan dikenalkan secara perlahan melalui proses bercerita (story telling), berpuisi, berpidato, menulis aksara, hingga stand up comedy. Dengan begitu,  secara tidak langsung akan membentuk siswa di sekolah sebagai penutur muda. Sebanyak 251 orang guru tengah dipersiapkan untuk mengimplementasikan kegiatan belajar tersebut.
 
Ilustrasi- Kegiatan pelatihan bagi guru bahasa daerah oleh Balai Bahasa RI ANTARA/Ruth Intan Sozometa Kanafi.


Penutur muda

Ditinjau dari konteks pendidikan, aktivitas pelestarian bahasa Lampung dengan model seperti itu dikatakan Kepala Pusat Pembinaan Bahasa dan Sastra, Kemendikbud Republik Indonesia, Abdul Khak, sebagai model yang cocok untuk menyatukan siswa dari berbagai tingkatan kelas ke dalam kelas-kelas minat guna mempraktekkan penggunaan bahasa ibu yang sesuai dengan konteks Merdeka Belajar.

Penggunaan bahasa daerah di luar lingkungan keluarga saat ini sangat sulit untuk dijaga. Penggunaan bahasa daerah masih dominan di lingkungan keluarga sehingga perlu diciptakan penutur-penutur muda. Revitalisasi penutur bahasa daerah dari kegiatan atau aktivitas nondialog juga dinilai efektif untuk menjaga bahasa daerah dari kepunahan.

Selain langkah-langkah tersebut, dalam menjaga vitalitas penutur dan menjaga kelestarian bahasa Lampung, Kantor Bahasa Provinsi Lampung memastikan secara perlahan akan ada 300 kosakata Lampung yang diserap ke Bahasa Indonesia dan masuk ke Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI).

Kepastian itu disebutkan Pengkaji Bahasa dan Sastra Lampung, Lusiana Dewi, setelah 300 kosakata bahasa Lampung disepakati terserap menjadi bahasa Indonesia dalam Sidang Komisi Bahasa Daerah (SKBD) 2022.

Kosakata bahasa Lampung yang diserap ke bahasa Indonesia seperti 'jering ojau' yang merupakan sebutan untuk tunas jengkol di Lampung. Kosakata tersebut dinilai sangat otentik dengan budaya dan keseharian orang Lampung.

Jering ojau, biasanya didapatkan dengan membiarkan jengkol yang dibeli di pasar hingga tunas jengkol muncul dengan sendirinya. Beberapa masyarakat Lampung juga tak sedikit yang menghadirkan media tanam agar 'jering ojau' tumbuh lebih cepat. Karena ini hanya ada di Lampung, maka diharapkan bisa diserap menjadi kosakata serapan di dalam bahasa Indonesia.

Selain itu, beberapa kosakata bahasa Lampung yang diserap ke bahasa Indonesia seperti 'sekubal', makanan khas Lampung yang terbuat dari ketan yang diberi santan, lalu dibungkus dan direbus. Kemudian,  'begibang' yang  diartikan sebagai berjalan dengan satu kaki akibat satu kaki lainnya tidak bisa digunakan.

Masuknya kosakata bahasa Lampung ke bahasa Indonesia itu diklaim juga sebagai sarana melestarikan budaya daerah di Lampung. Dengan upaya-upaya tersebut banyak pihak berharap bahasa ibu orang Lampung dapat terus terjaga dan terhindar dari kepunahan. Selain itu, penutur mudanya pun tidak terbelenggu rasa malu untuk menuturkan bahasa ibunya dalam kehidupan keseharian dimanapun mereka berada.