Ini kisah perempuan-perempuan tangguh pilot helikopter pembom air

id Pilot,helikopter,trc,karhutla,app sinar mas

Ini kisah perempuan-perempuan tangguh pilot helikopter pembom air

Velyn Angelica. (ANTARA/HO)

Palembang (ANTARA) - Tak banyak yang mendapatkan kesempatan menjadi pilot, apalagi pilot helikopter ‘waterbombing’ yang tugasnya melakukan pemadaman kebakaran hutan dan lahan (karhutla).

Tapi kesempatan ‘emas’ itu nyatanya menghampiri tiga perempuan tangguh yakni Velyn Angelica (22), Jeanette Febrina (34) dan Indria Pujiastuti (34).

Ketiganya rela melepaskan embel-embel ‘perempuan’ untuk tetap profesional dalam bekerja.

Indri salah satunya. Polwan yang sempat berdinas di Polres Metro Jaya Jakarta ini sebenarnya sudah mengecap karir yang baik saat terpilih menjadi pramugari VIP Polri.

Namun, keinginannya untuk menjadi pilot tak terbendung lantaran menilai menjadi pilot itu jauh lebih menantang dibandingkan sekadar awak kabin.

Setelah diberikan kesempatan untuk menjadi pramugari di maskapai penerbangan swasta, Indri pun mulai mengejar mimpinya itu. Berbekal pundi-pundi uang hasil kerja kerasnya sebagai pramugari, ia pun mengenyam sekolah penerbangan pada 2013.

Kini, ibu satu putra itu bergabung dengan APP Sinar Mas untuk mengamankan daerah-daerah rawan karhutla seperti di Kalimantan dan Sumatera.

“Saya ingat, saat jadi awak kabin sering pura-pura merasa menjadi pilot seperti announce (umumkan) sendiri ke penumpang bahwa saya pilotnya, ternyata ini kesampaian,” kata Indri dalam wawancara secara virtual, Selasa (7/2/22).

Lain pula halnya dengan Jeanette Febrina (34). Jika Indri memiliki latar belakang sebagai polwan, Jeanette merupakan mantan pramugari Garuda Indonesia.

Selama beberapa tahun sebagai awak kabin, ternyata membuat perempuan berkulit sawo matang ini merasa perlu menapaki karir yang lain. Ia tak menyangkal mulai didera kebosanan sehingga memilih beralih profesi menjadi pilot, yang menurutnya lebih menantang.

“Sebenarnya saya yakin saja, yang tidak mungkin itu bisa saja terjadi asal mau berusaha. Tak ada yang menyangka saya bisa jadi pramugari di Garuda karena kulit saya gelap, tapi toh saya bisa,” kata mahasiswa semester 4 jurusan Manajemen Transportasi Universitas Trisakti ini.

Kisah lebih unik lagi justru diungkapkan Velyn Angelica (22). Pilihannya menjadi pilot ini tergolong nekat, hanya karena ingin cepat bekerja dan cepat mandiri (tak tergantung orangtua).

Gadis asal Pontianak, Kalimantan Barat ini selepas lulus SMA, berangkat seorang diri ke Jakarta untuk melamar menjadi siswa di Sekolah Penerbangan Ganesa Dirgantara. Selama proses itu, ia sama sekali tak didampingi keluarga hingga menyelesaikan studi selama 1 tahun dan empat bulan di saat usia masih sangat belia.

Namun, baginya dukungan orangtua sangat luar biasa dalam mengapai keinginannya itu, karena harus mengeluarkan biaya pendidikan yang relatif besar hingga Rp1 miliar.

Usaha pun tak sia-sia. Berselang satu tahun, ia mendapatkan tawaran menerbangkan helikopter waterbombing oleh APP Sinar Mas sehingga mendapatkan kesempatan mengenyam pendidikan lanjutan selama enam bulan lagi atas biaya perusahaan.

“Saya pikir waktu itu, enak ya jadi pilot. Keren. Tapi setelah dijalani ternyata tidak mudah juga, banyak tantangannya,” kata dia.



Helikopter waterbombing

Menerbangkan helikopter pembom air, tak bisa dikatakan mudah. Apalagi, ketiga pilot ini memiliki basic sebagai pilot pesawat bersayap tetap (fixed wing).
Indri Pujiastuti (ANTARA/HO)


Tapi tuntutan tugas membuat para perempuan tangguh ini harus bekerja keras untuk mempelajari teknik menerbangkan pesawat jenis baling-baling (helikopter).

Kepiawaian menjadi keharusan karena saat bertugas, helikopter itu bukan hanya membawa ribuan liter air tapi juga beberapa orang personel Tim Reaksi Cepat (TRC).

Terkadang, pilot dituntut untuk menurunkan personel TRC di titik lokasi tertentu yang berdekatan dengan titik api (hotspot). Lokasi pendaratan juga tak kalah menantang, terkadang media merupakan tanah berawa yang sama sekali tak diperkirakan sebelumnya.

“Saya sempat di fixed wing ikut private lesson, tapi waktu dikonversi ke helikopter benar-benar kesulitan. Setiap pulang training, saya nangis. Harus diapakan heli ini,” kata Indri.

Senada dengan Indri, dua rekannya Jeanette dan Velyn juga merasakan hal yang sama. Bahkan Jeanette sempat kesal karena helikopter memiliki karakter yang sangat berbeda dengan pesawat fixed wing.

Namun, beragam rintangan itu dapat dilalui karena keteguhan hati untuk bekerja secara profesional sebagai pilot.

Dengan helikopter, ketiganya harus melakukan patroli udara untuk memantau lokasi-lokasi yang rawan mengalami karhutla. Terkadang, mereka juga terpaksa melakukan pendaratan di sekitar titik api untuk menurunkan personel Tim Reaksi Cepat (TRC).

Di sinilah tantangannya, karena sangat dibutuhkan ketenangan dan kerja sama dengan personel TRC.

Awalnya, leader TRC akan mengarahkannya melakukan size-up, dan menginformasikan ke Situation Room di Fire Base (pusat kendali) melalui radio komunikasi terkait adanya temuan titik api.

Dalam operasional pemadaman itu tergantung dengan kondisi api dan penilaian dari Ketua Tim TRC, apakah akan ikut dalam operasional pemadaman menggunakan helikopter waterboombing atau hanya memobilisasi Regu Pemadam Kebakaran di pos terdekat.

“Jujur saat pertama bertugas saya ‘grogi’ dan takut. Ada api, asap tebal, belum lagi mata pedas. Tapi karena ikuti standarnya, akhirnya bisa. Saya juga sering ngobrol (belajar) dengan kapten,” kata Jeanette.

Tak berbeda jauh, Indri pun mengaku dirundung rasa takut sangat pertama kali bertugas. Layaknya naluri manusia, seharusnya api dijauhi tapi ini justru didekati.

Akan tetapi, Indri selalu termotivasi untuk berhasil menyelesaikan tugasnya tak lain karena ingin membuat keluarganya yang ditinggal di rumah merasa tenang.



Keluarga vs Karir

Bekerja jauh dari keluarga, terkadang hingga meninggalkan buah hati sampai dua pekan tentunya tak mudah bagi Indri.
Tapi, pekerjaan ini sudah menjadi pilihan walau harus meninggalkan putra kesayangannya yang baru berusia empat tahun.

“Paling sulit itu, saat mau pergi anak rewel. Tentunya, saya sebagai perempuan jadi kepikiran. Tapi Alhamdulillah sudah ada triknya, biasanya saya ajak bicara dulu sebelum berangkat,” kata Indri.

Baginya, keluarga dan karir itu sama pentingnya sehingga ini menjadi tantangan tersendiri bagi perempuan yang bekerja.

Dalam dunia kerja, perempuan juga dituntut profesional sehingga tidak boleh mengharapkan adanya keistimewaan dibandingkan laki-laki.

Terpenting, perempuan harus pintar dalam membagi waktu mengingat fungsi mengandung, menyusui dan menjadi ibu tetap tak bisa digantikan oleh laki-laki.

Jeanette pun demikian. Ia pun bersyukur bahwa keluarganya dapat mengerti ketika terpaksa absen dalam acara keagamaan karena adanya penugasan di luar kota.

Namun terlepas dari sekelumit tantangan yang harus dihadapi para perempuan tangguh ini, tak banyak yang tahu bahwa profesi sebagai pilot itu demikian menyenangkan.

Velyn mengaku dirinya sangat enjoy dengan ritme pekerjaan sebagai pilot. Ia bisa mengecap libur selama 20 hari, setelah menjalani tugas sekitar dua pekan.

Saat di lokasi pekerjaan, Velyn pun mengaku tidak didera kebosanan karena relatif bisa menyesuaikan dengan anggota TRC. Terkadang, ia melakukan aktivitas seperti memasak, karaoke, dan lainnya di saat jeda setelah ‘waterbombing’.

“Selama menunggu jadwal baru, biasanya saya jalan-jalan (liburan). Secara pendapatan juga bisa dikatakan pilot itu sangat menjanjikan,” kata Velyn.

Jika ditanya soal suka-dukanya menjadi pilot, gadis berkulit putih ini pun mengatakan lebih banyak suka dibandingkan duka.

Akan tetapi, di tengah style-nya yang feminim terkadang Velyn tak menyangkal ada pihak yang meragukan kemampuannya dalam menerbangkan helikopter. Apalagi, ukuran tubuhnya yang terbilang mungil terkadang membuat sebagian orang masih tak percaya bahwa ia berprofesi sebagai pilot.

Tapi, Velyn sudah membuktikan seperti saat sukses menjalankan misi pertamanya bersama tim TRC perusahaan mitra pemasok APP Sinar Mas yakni pada Juli 2021 dengan wilayah operasi di kawasan Pekan Baru, Riau dan Sungai Baung, Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan. Ia menjadi co-pilot menerbangkan Helikopter Bell 412.

Selama mengudara ia juga pernah menerbangkan pesawat fixed wing jenis Cessna 172 dan Piper Senneca III, sedangkan untuk helikopter pernah membawa Robinson R44.

Menurutnya, ini menjadi tantangan tersendiri yang harus dibuktikan dengan bekerja secara profesional.

Demikian juga bagi Jeanette. “Saya malah berharapnya, tak ada lagi embel-embel pilot perempuan. Pilot ya pilot saja,” kata perempuan yang berharap nantinya bisa merambah bisnis aviasi ini.