Urgensi penyelesaian konflik agraria di Jambi

id Jambi

Urgensi penyelesaian konflik agraria di Jambi

Lahan pertanian masyarakat di Kabupaten Batanghari berdampaingan dengan lahan perkebunan milik perusahaan. Urgensi penyelesaian konflik lahan di Jambi yang tak kunjung selesai. (Antara/Muhamad Hanapi)

Jambi (ANTARA) - Pertentangan klaim berkepanjangan mengenai siapa berhak atas akses tanah, sumber daya alam, dan wilayah antara kelompok masyarakat dan badan pengelola tanah dalam bidang produksi, ekstraksi konservasi, dan lainnya di Indonesia, seolah tak ada habis.

Konflik yang biasa disebut konflik agraria itu, seolah-olah telah mengakar di setiap daerah di Nusantara, baik antarmasyarakat, masyarakat dan perusahaan, maupun antarperusahaan.

Begitu pula di Provinsi Jambi, sejak puluhan tahun yang lalu selalu muncul konflik agraria yang seolah tanpa penyelesaian.

Pada 2021 ini, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jambi mencatat konflik agraria yang masih diwariskan hingga saat ini berjumlah 156 konflik lahan, di mana aktor konflik itu, perusahaan, pemerintah daerah, pemerintah pusat, dan masyarakat.

Manajer Kantor Program Pemantauan, Monitoring, dan Evaluasi Walhi Jambi Eko Mulia Utomo mengatakan konflik agraria di Provinsi Jambi terbagi menjadi tiga sektor, yakni pertambangan 95 konflik, hutan tanaman industri (HTI) 57 konflik, dan monokultur 28 konflik.

Dari 156 konflik agraria tersebut, Walhi Jambi memprioritaskan 19 konflik lahan di empat kabupaten, yakni Muaro Jambi, Tebo, Batanghari, dan Tanjung Jabung Barat yang penyelesaiannya harus segera ditindaklanjuti. 

Di Kabupaten Muaro Jambi terdapat empat konflik agraria, yakni satu konflik sektor HTI dan tiga konflik sektor perkebunan kelapa sawit, di Kabupaten Tanjung Jabung Barat 11 konflik, di antaranya 10 konflik sektor HTI dan satu konflik sektor perkebunan kelapa sawit, di Kabupaten Tebo tiga konflik agraria, yakni dua konflik sektor Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Restorasi Ekosistem (IUPHHK-RE) dalam hutan alam dan satu konflik sektor HTI, sedangkan di Kabupaten Batanghari satu konflik agraria sektor HTI.

Dari 19 konflik tersebut, Walhi mengklasifikasikan menjadi tujuh kelompok, yakni penggusuran lahan, pembukaan dan penebangan hutan masyarakat, penyerobotan lahan masyarakat oleh perusahaan dan keterbukaan informasi, kemudian terkait dengan sosialisasi atau persetujuan masyarakat (padiatapa) tidak dilakukan pemerintah atau perusahaan, tata batas lahan dan kemitraan yang tidak terealisasi oleh perusahaan kepada masyarakat.

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Jambi membentuk panitia khusus (pansus) penyelesaian konflik lahan di wilayah itu.

Ketua Pansus Konflik Lahan DPRD Provinsi Jambi Wartono Triyan Kusumo mengatakan pihaknya sudah mengundang sejumlah lembaga swadaya masyarakat di daerah itu untuk berkoordinasi dalam penyelesaian konflik lahan.

Pertemuan tersebut untuk mendata konflik lahan di Provinsi Jambi, karena LSM sudah terlebih dahulu melakukan pendampingan terhadap masyarakat untuk penyelesaian konflik lahan di wilayah itu.

Sejumlah konflik lahan yang sudah diidentifikasi pansus, yakni di Kabupaten Tebo, tepatnya di Daerah Patokan 55, konflik lahan antara masyarakat dan PT Lestari Asri Jaya (LAJ), di Lubuk Madrasah konflik lahan antara masyarakat dan PT Wirakarya Sakti (WKS), serta di Kabupaten Tanjung Jabung Barat dan Tanjung Jabung Timur penyerobotan lahan dengan PTPN VI.

Wartono menjelaskan pembentukan pansus tersebut mempermudah proses koordinasi dalam penyelesaian konflik lahan. Pansus memiliki wewenang memanggil pihak-pihak yang terlibat dalam konflik lahan serta mempertemukan antarpihak yang berkonflik. Pansus mengedepankan pola musyawarah dalam menyelesaikan konflik tersebut.

Meski memiliki wewenang dalam penyelesaian konflik lahan, nampaknya diyakini pansus tersebut tidak dapat menyelesaikan seluruh konflik lahan di Provinsi Jambi karena keterbatasan waktu. Pansus hanya memiliki waktu enam bulan untuk menyelesaikan konflik lahan yang terjadi sejak bertahun-tahun lalu, sedangkan pihak LSM sudah bertahun-tahun mendampingi masyarakat dalam penyelesaian sejumlah konflik lahan di Jambi yang tak kunjung selesai.

Alat politik

Sejumlah konflik agraria di Provinsi Jambi yang tak kunjung selesai, diduga menjadi alat politik bagi kandidat kepala daerah saat berkompetisi dalam pemilihan kepala daerah.

Melalui konflik agraria tersebut, sejumlah calon kepala daerah menjanjikan penyelesaian kepada masyarakat yang terlibat konflik dengan pihak perusahaan, konsesi, dan pemegang izin hak guna usaha. Namun, saat sudah terpilih menjadi kepala daerah, konflik lahan tak kunjung selesai.

Tidak sedikit masyarakat terlibat konflik agraria di Provinsi Jambi. Walhi Jambi mencatat, dari 19 prioritas penyelesaian konflik di wilayah itu, ada sekitar 4.000-5.000 kepala keluarga (KK) terlibat konflik lahan.

Di sektor restorasi sekitar 4.000 KK, seperti Kelompok Tani Sekato Jaya Kabupaten Tebo ada 99 KK terlibat konflik, Desa Rukam 100 KK, Desa Sungsang 300 KK, Desa Sungai Rambai 951 KK, Desa Lumahan 201 KK, Desa Serdang Jaya 666 KK, Sungai Landak 132 KK, dan Desa Suak Samin 320 KK, sedangkan dalam konflik lahan sektor perkebunan sekitar 1.120 KK terlibat konflik lahan dengan pihak perusahaan.

Eko Mulia Utomo mengatakan praktik janji penyelesaian konflik di tahun politik tersebut sudah terjadi di sejumlah daerah, seperti Desa Rukam dan Kumpe, Kabupaten Muaro Jambi yang masyarakatnya terlibat konflik lahan di sektor perkebunan.

Saat sosialisasi dan kampanye, kandidat kepala daerah menjanjikan penyelesaian konflik lahan. Namun setelah terpilih, konflik tersebut tak kunjung selesai, bahkan  bertahan hingga periode tahun politik selanjutnya. Janji-janji penyelesaian konflik tersebut juga disampaikan calon-calon anggota legislatif yang memperebutkan kursi DPRD.

Konflik lahan berdampak terhadap penghidupan masyarakat sekitar perusahaan yang berkonflik, terutama perusahaan perkebunan yang melakukan penyerobotan lahan pertanian milik masyarakat.

Ia mengatakan konflik lahan tersebut erat kaitannya dengan hilangnya sumber-sumber penghidupan masyarakat. Tidak sedikit lahan pertanian masyarakat hilang dan berubah menjadi perkebunan yang dikelola masyarakat. Akibatnya, masyarakat terpaksa bekerja sebagai buruh di perusahaan-perusahaan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.

Sebelum berkonflik, masyarakat menghasilkan sendiri kebutuhan hidup sehari-hari, seperti bercocok tanam sayuran dan tanaman pangan. Namun, setelah terjadi konflik, lahan-lahan pertanian masyarakat tersebut hilang.

Kehadiran Pansus Konflik Lahan DPRD Provinsi Jambi diharapkan dapat melakukan percepatan penyelesaian konflik lahan di wilayah itu.

Terdapat sejumlah kendala dalam penyelesaian konflik lahan tersebut, sehingga situasi bertahan hingga bertahun-tahun.

Dewan Daerah Walhi Jambi Ikuten Barus mengatakan kendala penyelesaian konflik lahan di daerah itu, antara lain akses informasi dari pemerintah yang kurang mendukung, seperti informasi perizinan, luasan lahan yang diberikan izin oleh pemerintah kepada perusahaan, serta informasi lainnya yang dianggap rahasia oleh pemerintah.

Padahal, sebenarnya informasi tersebut data publik yang dapat diketahui masyarakat di sekitar konsesi perusahaan. Hal itu menjadi poin penghambat dalam penyelesaian konflik lahan tersebut.

Kendala lainnya, kurangnya koordinasi antara instansi yang memiliki wewenang dalam penyelesaian konflik lahan, seperti kepala daerah, Dinas Perkebunan, Dinas Kehutanan, Kesbangpol ,dan instansi vertikal lainnya di Provinsi Jambi. Akibatnya, data di masing-masing instansi tidak sinkron.

Selain itu, kendala menyangkut alas hak dan tidak adanya payung hukum berupa peraturan pemerintah di tingkat daerah yang diturunkan dari produk hukum yang lebih tinggi.

Dicontohkan Ikuten Barus, di Provinsi Jambi tidak ada peraturan daerah tentang penyelesaian konflik lahan, sedangkan yang ada hanya peraturan pembentukan tim terpadu dan pansus penyelesaian konflik lahan.

Padahal, dari pemerintah pusat, produk hukum dalam penyelesaian konflik lahan sudah ada, antara lain berbentuk undang-undang, peraturan pemerintah, peraturan presiden, peraturan menteri, peraturan direktorat jenderal perhutanan, peraturan kepala Badan Pertanahan Nasional hingga Surat Edaran Menteri LHK.

Sejumlah produk perundang-undangan itu, di antaranya Peraturan Presiden Nomor 17 tahun 2015 tentang Kementerian Agraria dan Tata Ruang dan Peraturan Presiden Nomor 20 Tahun 2015 tentang Badan Pertanahan Nasional, serta Surat Edaran Menteri LHK Nomor SE.1/Menlhk-II/2015 tentang Penanganan Kasus-Kasus Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

Harapannya, pemerintah daerah mengeluarkan produk hukum turunan dari peraturan yang lebih tinggi sehingga penyelesaian konflik lahan di Provinsi Jambi dapat dilakukan dengan lebih optimal di tingkat daerah.

Dalam kunjungan kerja ke Jambi, Kamis (14/10), Tenaga Ahli Utama Kedeputian Bidang Informasi dan Komunikasi Politik Kantor Staf Presiden (KSP) RI Joanes Joko mengatakan Reforma Agraria salah satu program untuk menyelesaikan konflik lahan di Indonesia.

Melalui sertifikasi lahan milik masyarakat, diharapkan meminimalisasi terjadinya sengketa lahan, baik antarmasyarakat, masyarakat dengan perusahaan, maupun antarperusahaan.

Kunjungan kerja dilakukan pihak KSP ke Provinsi Jambi tersebut, salah satunya untuk mendapatkan informasi dan melakukan evaluasi terhadap perkembangan penyelesaian konflik lahan di daerah itu, karena kasus konflik lahan di Provinsi Jambi cukup tinggi.

Catatan Walhi Jambi ada 156 kasus konflik lahan di Provinsi Jambi yang hingga saat ini belum terselesaikan, bahkan ada kasus konflik lahan yang tidak terselesaikan dalam kurun waktu cukup lama.

Joanes Joko menjelaskan pada tahun ini, pemerintah pusat menargetkan penyelesaian 54 konflik lahan di Provinsi Jambi, salah satu pola yang diterapkan melalui program Reforma Agraria dan pendekatan-pendekatan yang dilakukan melalui instansi terkait.

Uploader : Angga Pramana